"Aku lapar."
Perlahan, tangan Arvani merogoh saku jaketnya. Di sana ia menemukan sebuah permen rasa mangga. Arvani membuka bungkus, lalu memakan permen tersebut dalam posisi berbaring.
"Pengen makan kepiting Alaska."
Tak berselang lama, Rian pun muncul dengan tas kecil baru entah apa isinya.
"Tuan Arvani, apa anda butuh pertolongan?"
"Matamu buta atau apa?" Perempuan bertopeng kelinci merah itu menghela nafas lelah.
Rian yang hendak membuka kotak p3k mendapatkan perintah lain dari Arvani.
"Jangan pedulikan aku. Ambil semua barang-barang milik mereka." Perempuan berambut hitam itu menunjuk ke arah tubuh kelima orang yang sudah ia bunuh.
Pria berambut pirang itu tidak berkomentar. Ia menaruh kotak p3k di dekat Arvani lalu melaksanakan perintahnya.
Arvani menunggu. Setelah pengelihatannya mulai membaik perempuan itu bangkit secara perlahan, dengan santainya ia menaikkan pakaiannya. Tangan kanannya membuka perban yang sudah kotor akan darah dan tanah.
Sensasi nyeri yang terbentuk akibat terlepasnya perban dari luka di punggung Arvani itu membuatnya meringis sakit. Begitu perban terlepas, Arvani pun mengoleskan salep di sekeliling luka tersebut dan kemudian menutupinya dengan perban yang baru.
"Tuan, ini barang-barang mereka semua."
Rian akhirnya selesai mengerjakan perintah Arvani. Pria berambut pirang itu membawa barang rampasan berupa senjata api lengkap dengan peluru, kotak obat-obatan, kartu pengenal, makanan ringan, serta alat komunikasi.
"Mereka bukan dari negaraku," batin Arvani seraya melihat kartu pengenal dengan tulisan yang tidak ia kenal.
Tanpa perlu diberi perintah, Rian pun memberikan beberapa penjelasan yang ia ketahui.
"Mereka dari Negeri Seribu Pulau, kalau tidak salah salah satu petinggi negara itu merupakan menantu dari keluarga bangsawan agung Abraham. Itu pasti salah satu alasan mereka mengincar anda."
Arvani menatap mata biru Rian dengan lekat. "Kau sendiri berasal dari mana?"
"Saya berasal dari Negari Di Bawah Angin."
"Dari pemerintah atau guild?"
Sejenak, Rian termenung. "Saya ... Hanya disuruh mengikuti saudari saya. Lena, dia berniat bergabung dengan suatu Guild dan saya harus membantunya."
Mendengar itu Arvani bisa menebak apa yang telah dialami oleh Rian. Pria ini mungkin saja memiliki orang tua yang pilih kasih atau mungkin tidak layak disebut sebagai orang tua. Dilihat dari sifat Lena yang sedikit kekanak-kanakan, dia akan menjadi beban bagi Rian untuk dapat berkembang.
Lalu, Negeri di Bawah Angin, itu menjelaskan kenapa Rian dan Lena memiliki sedikit keterampilan militer mengingat negara itu memiliki sistem wajib militer. Walau kemampuan mereka sangat lemah dan jelek bagi standar Kensei.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan?"
"Mari cari tempat lain yang lebih aman."
Tempat aman yang berhasil ditemukan Rian merupakan area pepohonan yang rimbun. Arvani mulai menyadari jika area tantangan di lantai dua ini lebih besar daripada lantai sebelumnya.
Perempuan itu memperhatikan sekitar yang gelap karena tak ada cahaya bulan sebagai penerangan.
"Hanya perlu menunggu sampai hari ke sepuluh ya ... Pasti gak semudah itu," pikir Arvani.
Waktu demi waktu berlalu. Beberapa calon Hunter nampak kesulitan untuk bertahan, terutama untuk mereka yang tidak pandai bertahan hidup di alam liar.
"Sialan! Kita harus segera mencari makanan!"
"Hei, pelankan suaramu. Kau bisa memancing monster datang kemari."
"Masa bodoh! Justru bagus kalau monster-monster itu datang, akan aku makan mereka!"
"Tuan muda, tolong jangan bertindak gegabah."
"Berani sekali pelayan rendahan sepertimu memberiku perintah. Ingat, ayahku membayarmu mahal untuk ini. Cepat buru calon Hunter lain dan rebut makanan mereka!"
"Sial! Kenapa pos penjaga tidak menyediakan makanan sih?!"
"Aku rela membayar berapapun untuk mendapat makanan yang lebih layak dari ini semua!"
Di depan layar hologram raksasa yang menampilkan keadaan para calon Hunter. Sean Faraday duduk di santai seraya meminum anggur merahnya.
"Seperti biasa, beberapa calon Hunter dari keluarga berpengaruh akan kesulitan untuk bertahan."
Sean mengetuk ujung mejanya dengan jari. mata birunya menatap ponselnya yang terus memberitahu jumlah uang yang masuk ke rekeningnya. Seringai tipis terbentuk di wajahnya.
"Wel, wel, aku harus bekerja sesuai bayaran bukan?"
Pria itu memperbaiki posisi duduknya. Ia menekan beberapa tombol. Dalam layar hologram, muncul beberapa monster ganas yang sial menyerang siapapun. Menggunakan teknologi pengusir monster, Sean membuat para monster itu menjauhi para calon Hunter yang keluarganya sudah membayar.
Salah satu layar menampilkan sosok Arvani dari kejauhan yang sedang bersantai.
"Kelinci Merah ya, aku sedikit penasaran dengan wajah di balik topeng norak itu."
Di sisi lain, Arvani yang sudah merasa membaik mulai membolak-balik sate ular yang sedang terbakar di hadapannya.
"Kau punya garam?" Ia bertanya pada Rian yang sedang menguliti ular lainnya.
Pria berambut pirang itu menggeleng sebagai jawaban.
"Ah, sayang sekali sumber air di sini sangat terbatas, padahal aku ingin membuat sup ular dan jamur."
Mendengar itu, Rian hanya bisa terdiam antara kagum dan bingung terhadap tindakan Arvani. Jenis ular yang sedang dirinya kuliti dengan ular yang sedang dibakar Arvani itu berbeda. Entah sengaja atau tidak, Arvani memberikan ular yang tidak berbisa pada Rian.
Arvani mengamati daging ular yang ia bakar. Merasa sudah mencapai tingkat kematangan yang cukup, perempuan itu pun mulai memakannya.
Srak!
Mata hitam perempuan itu menoleh ke batang pohon yang retak. Bola matanya membesar melihat penampakan seekor monster bunglon berukuran sebesar motor dengan kulit semi transparan dengan beberapa kelap-kelip bintang di sekitar kepalanya.
Mata besar monster itu menatap Arvani dan Rian yang diam membeku.
Perlahan, tangan kiri Arvani memegang pedang pemberian Daniel. Wanita itu sudah siap untuk melarikan diri.
Kelap-kelip bintang yang melayang di kelapa mahluk itu mulai redup. Perlahan, keempat kakinya melangkah tanpa suara mendekati Arvani. Lebih tepatnya pada api unggun kecil yang dibuat perempuan itu.
Detik berikutnya monster bunglon itu merebahkan tubuhnya di atas tanah.
Mata hitam Arvani memperhatikan dengan seksama mimik wajah monster bunglon tersebut kemudian menghela nafas lega setelah berhasil membacanya.
Ia melirik ke arah Rian yang masih waspada.
"Tenang saja, monster ini hanya mau tidur di tempat hangat."
Rian yang mendengar kabar baik itu tidak langsung bertindak bodoh. Dia masih mewaspadai keberadaan monster tersebut.
Di pihak monster bunglon, ia menatap Arvani dengan seksama. Kelap-kelip bintang di kepalanya tidak menunjukkan tanda bahaya yang biasa aktif saat bertemu calon Hunter.
Bunglon tersebut juga memperhatikan gelang pada tangan kiri Arvani. Samar-samar, terasa aura menenangkan dalam gelang tersebut.
'Kensei, aku sudah memutuskan. Akan aku gunakan mata kananku untuk memanggil jiwa Kayril.'
'Huh? Kenapa tiba-tiba?'
Arvani menatap sate ular di tangannya. 'Karena kemampuan top tier Hunter itu akan berguna kedepannya. Aku tidak ingin membunuh monster yang tidak layak dibunuh.'
Suara tawa meremehkan dari Kensei terdengar dalam kepala Arvani. 'Wanita bodoh, pada jaman sekarang perasaan naif dan simpatimu itu tidak berguna.'
'Siapa yang naif? Aku hanya malas kalau dipaksa bertarung dengan monster yang juga terpaksa bertarung. Seperti sekarang, daripada membunuh monster lebih baik aku gunakan mereka untuk menjagaku ... Lalu, aku juga tidak terlalu memikirkan tentang anak perempuan setengah kucing itu kok.'
'... Aku tidak sedang membicarakannya.'