Tubuh Arvani yang sedang jatuh bebas itu kembali memasang kuda-kuda berpedang tapi yang sekarang, kuda-kudanya dalam posisi paling stabil seolah ia tak sedang berada di udara.
Tepat sesaat sebelum monster elang itu menyerang dengan kedua kaki bercakar besinya. Puluhan bahkan ratusan tebasan pedang muncul bersama dengan aura putih yang membawa hawa membunuh paling mempesona.
Ketika Kensei hendak melakukan gerakan berikutnya pria itu tertegun merasakan punggungnya berbenturan dengan lantai keras.
"Akh! Sakit sekali," gumam Arvani lirih.
Kensei sendiri tidak bisa merasakan sakit sedikit pun namun ia tahu jika tubuh Arvani masih belum sanggup menahan dampak dari serangan beruntun tadi.
'Sial, aku lupa menghitung jarak jatuhnya tadi.'
Bintang putih di dekat Arvani berubah warna menjadi merah. Dengan panik dan menahan rasa nyeri Arvani bangkit dan melompat menjauh dari lokasinya tadi.
Bruuuhg!
Dapat dilihat monster elang itu masih dapat bergerak walau seluruh tubuhnya sudah dipenuhi luka tebasan. Sayangnya, itu semua masih kurang untuk membunuhnya. Arvani menggerutu dalam hati.
Tepat ketika elang itu hendak terbang dan menyerang Arvani suara anak kucing kecil bergema mengalihkan perhatian si elang. Sebuah ide kejam pun muncul dalam kepala Arvani.
"Rian! Berlarilah mengitari ruangan ini sambil membawa kucing itu!"
Bintang putih berputar 4 kali dan tubuh Arvani menjadi tembus pandang. Rian tanpa basa-basi langsung berlari cepat. Perintah Arvani tapi jelas menyuruhnya menjadi umpan.
'Oh, dia tidak sebaik yang saya pikirkan ternyata.'
Okalina dari kejauhan diam-diam tersebut tipis.
Elang itu berteriak dan suaranya dapat membuat siapapun mengumpat dalam hati. Arvani dengan kuda-kuda berpedang mengamati dalam diam. Sekali ia bergerak maka elang itu akan mengetahui keberadaannya.
Perempuan itu juga baru menyadari jika pecahan Miracle yang ia miliki memiliki batas waktu untuk tetap membuat tubuhnya tak terlihat. Di tambah dengan mata elang yang dapat melihat semut berjalan, membuat Arvani kesulitan.
'Tundra, kau bisa melihatnya?'
'Ya, aku bisa. Omong-omong, apa kau pernah pingsan karena kehabisan energi?'
Meski tak dapat bertatapan secara langsung, Arvani bisa merasakan senyuman remeh pria berambut putih panjang yang menyebalkan itu.
Perlahan Arvani menyeringai. "Aku penasaran bagaimana rasanya~"
Ia menghirup nafas panjang lalu berteriak.
"Rian! Lemparkan anak kucing itu ke udara dan ambil kembali!"
Rian yang awalnya ragu tetap menjalankan perintah Arvani. Pria berambut pirang itu melemparkan anak kucing yang terbalut jaket hitam sekuat yang ia bisa ke atas.
Aura berwarna putih kembali memenuhi sekujur tubuh Arvani. Merasa bahwa lawannya masih hidup burung elang itu menoleh kebelakang.
Akan tetapi, monster itu terlambat.
[Teknik pedang Kensei Igarashi: bentuk kedua.]
Perempuan berambut hitam itu melesat dengan seluruh energinya dan melakukan tusukan tepat pada jantung mahluk tersebut. Tak sampai di sana Arvani juga melakukan gerakan kedua dan ketiga, membuat darah monster itu mengotori pakaian dan juga pedangnya.
Sebuah koin mulai terbentuk dari aura jasat elang tersebut, Arvani mengulurkan tangan dan koin itu jatuh tepat ke telapaknya. Koin dengan angka 200.
'Wah, ternyata aku sedang beruntung saat berhadapan dengan kucing bertentakel itu.'
Rian menatap langit-langit seraya bergerak beberapa langkah ke sana-sini, dan pada akhirnya dia berhasil menangkap kembali anak kucing yang menjadi tanggung jawabnya itu dengan selamat. Pria itu kemudian mendengar suara benda jatuh dan melihat orang yang ia layani sedang berada di lantai.
Ketika ia mendekat dan hendak berteriak, Arvani mengangkat tangan kanannya, kode agar Rian menutup mulutnya.
"Aku mau tidur sebentar. Tolong jaga area sekitar." Tangan Arvani kembali turun dan ia perlahan kehilangan kesadarannya.
"..."
Rian tak tahu harus berkomentar apa lagi. Dia sudah terbiasa akan hal ini ketika berada di tantangan lantai dua. Sayangnya ada satu orang yang tidak.
"Apa dia serius?" Okalina bertanya, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Ya, beliau serius."
Mata Rian melihat bahwa anak kucing di pelukannya juga sedang tertidur, seolah lemparan yang dilakukan Rian tadi hanyalah bagian dari mimpi indahnya. Pria itu pun menaruh mahluk itu di dekat Arvani dan mulai mencabuti seluruh pisau hitamnya yang menempel di tubuh monster elang.
"Sekarang anda akan benar-benar menjaga area sekitar sampai dia bangun?"
"Iya."
Okalina mendengus pelan. "Anda benar-benar anjing yang setia ya. Kenapa anda mau mengikutinya?"
Itu adalah kalimat sindiran tapi Rian menyadari tak ada satupun niat jahat di wajah wanita buta itu.
"Kau sendiri kenapa berpura-pura lugu? Aku sudah tahu identitas aslimu. Sang Peramal Licik, Okalina Edsel."
Wanita buta itu menunjukkan senyuman lebar. "Ternyata anda sudah tahu identitasku. Mengapa tidak memberitahukannya?
Pria berambut pirang itu termenung. Dia lalu melirik ke arah Arvani dan berkata.
"Aku sudah beritahu beliau melalui pesan chat dan ia tidak terlalu peduli akan hal itu."
"Itu tindakan yang sedikit bodoh." Perkataan Okalina tertuju pada Arvani.
Obrolan keduanya terhenti karena suara langkah kaki dari banyak orang yang mulai mendekat. Rian segera menyiapkan pisaunya. Okalina sendiri bergerak mendekati tempat Arvani tidur.
"Jumlahnya 12 orang." Wanita buta itu memberitahukan pendengarannya.
Menit berikutnya 4 tim muncul dan saling memandangi kelompok lain dengan waspada. Salah satu anggota mereka menunjuk ke arah Arvani dengan raut muka takut.
"Itu! Itu Sang Kelinci Merah!"
Suara bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa mengira sang Kelinci Merah karena membunuh monster elang dan beberapa lainnya bilang bahwa Kelinci Merah sudah dikhianati anggota timnya sendiri.
Pendapat kedua itu tidak terbukti ketika mereka melihat Rian yang memasang pose seolah sedang melindungi Arvani yang terbaring di lantai.
"Hei, kenapa kau tidak bekerja sama dengan kami? Kau tahu, keluarga Abraham memasang harga yang lumayan untuk kepalanya loh~"
Rian tak bergerak. Matanya mengamati para calon Hunter itu satu-persatu.
Merasa tidak ada gunanya membujuk Rian, pria berbadan besar dengan gada besar di punggung itu melirik ke arah Okalina. Mengetahui bahwa wanita itu buta membuat niatnya urung.
"Baiklah. Kalau begitu biar aku bunuh saja kalian berdua! Baru setelah itu kubunuh si Kelinci Merah!"
Suara tawa pria itu dan kedua rekannya terdengar. Dia suasana yang tegang ini Arvani melakukan gerakan kecil. Dia mengubah posisi tidurnya ke kiri, menghadap anak kucing yang tertidur.
Tentunya hal itu mengejutkan pria yang mengira bahwa Arvani telah mati.
"Dia tidur? Yang benar saja!"
Merasa diremehkan beberapa orang selain perjalanan berbadan besar itu mulai berteriak sembari mengolok-olok Arvani. Mendengar itu membuat Okalina terkekeh kecil.
"Mereka takut pada temanmu itu ya, anjing kecil," ucapnya pada Rian.
"Tentu saja. Itulah kenapa mereka tidak berani mendekat. Yah, aku lebih mewaspadai mereka yang tetap diam dan mengamati."
Detik berikutnya pertarungan pun terjadi.
Rian melawan 6 orang calon Hunter.
Di serangan pertama, pria berambut pirang itu hampir saja tertangkap oleh seorang pemilik miracle yang dapat memanipulasi rambutnya. Itu seorang wanita dengan dandanan menor dan nyentrik. Untungnya rambut wanita itu bisa dengan mudah dipotong menggunakan pisau hitamnya.
Serangan berikutnya datang dari pria berbadan besar yang pertama. Gada yang ia pegang menjadi lebih besar dan jika terkena itu bisa saja menghancurkan tubuh Rian.
Pria berambut pirang itu melompat mundur. Detik berikutnya ia langsung mundur kembali untuk menghindari lemparan pisau. Serangan itu dari pemilik miracle yang dapat menerbangkan senjatanya.
Mata Rian melirik sekolah pada tiga orang lain yang belum menunjukkan miraclenya.
'Sisa tiga lagi.'
Rian melesat cepat menuju tim yang belum menunjukkan Miracle mereka. Ia melemparkan satu pisaunya ke kepala calon Hunter yang terlihat paling lemah.
Pisau itu tertangkap oleh rekan setimnya. Akan tetapi Rian tak berhenti. Pria itu mengambil satu pisau dan hendak menyerang dari belakang.
Melihat Rian yang tiba-tiba bergerak cepat ke belakangnya. Calon Hunter dengan penampilan seperti anak kecil itu terlambat menoleh tapi rekan setimnya yang lain berhasil menahan serangan Rian dengan mengorbankan tangan kirinya.
'Oh. Ternyata mereka berdua dijadikan boneka ya.'
Rian menyadari hal tersebut dari tatapan keduanya, dengan begini dia sudah mengetahui kelemahan yang dimiliki oleh musuh-musuhnya.