Kemunculan monster bunglon yang menyerang beberapa kelompok calon Hunter sedikit membuat Sean selaku Hunter pengawas heran. Padahal di hari pertama pria itu mengeluarkannya, monster ini malah menghilang tanpa jejak dan tak bisa dilacak.
Kini, monster itu muncul, mengamuk dan menelan bulat-bulat calon Hunter yang melawannya.
"Harusnya dia lakukan ini dari awal. Bisa-bisa pelangganku kena getahnya juga."
Pria itu menekan salah satu tombol di mejanya. Dilihat dari layar hologram, muncul beberapa drone dengan mesin mengikat yang melesat menuju bunglon tersebut.
Empat tali emas yang terbuat dari jaring monster laba-laba raksasa muncul dan mengikat sendi pergerakan bunglon tersebut. Bintang putih di kepala bunglon bersinar dan seketika tubuh bunglon tersebut menghilang. Benar-benar menghilang, bukan menjadi transparan seperti biasa.
Namun, bunglon tersebut tak dapat menghapus panas tubuhnya dan drone sisanya menembaki bunglon tersebut dengan puluhan peluru bius.
Si monster bunglon terus berlari menuju pos penjaga seraya menahan rasa kantuk akibat beberapa peluru bius yang mengenai tubuhnya. Begitu mendekati pos penjaga, ia bisa menghancurkan semuanya dan mendapat kedamaian.
Di dalam pon penjaga, seorang pria yang sedang tertidur tiba-tiba membuka matanya dan melesat keluar dari pos, mengejutkan rekan-rekannya yang lain.
"Eh? Ada apa, Aron?!"
"Hei! Kau mau kemana?!"
Hunter yang dipanggil Aron itu tidak memberikan penjelasan pada rekan-rekannya. Ujung matanya melihat beberapa drone pengawas serta dua buah peluru bius yang melayang di udara.
'Oh, monster bunglon ya.'
Segera, pria berbadan kekar itu mengeluarkan senjatanya berupa shotgun hitam dengan peluru khusus.
Dor!
Satu tembakan keras terdengar. Aron memang tidak bisa melihat tubuh monster yang ia lawan, tapi keberadaan drone serta suara yang dihasilkan dari pergerakan monster itu sudah lebih dari cukup untuknya.
Aron memunculkan bola hitam yang melayang di dekatnya dan melakukan sambungan telepon.
"Sean, harus aku apakan hewan peliharaanmu ini?"
<... Bunuh saja, kalau kau bisa.>
Urat kekesalan muncul di dahi Aron ketika Sean langsung mengakhiri panggilan sepihak. "Dasar orang sombong."
Pria itu kembali menembak. Kali ini, tembakannya dapat menggores tubuh bunglon tersebut. Darah hijau mengalir keluar dari luka goresan tersebut dan membuat Arin tanpa sadar tersenyum. Dengan ini, dia bisa mengetahui posisi bunglon tersebut lebih mudah.
Yang tidak terpikirkan oleh pria itu adalah, pada tembakan ketiga bunglon tersebut tidak menghindar dan menerima serangannya dengan senang hati.
"Ini aneh." Aron tak berani mendekat. Dia merasakan firasat buruk.
Dan ternyata, firasat buruk Aron benar. Bintang-bintang putih yang ada di kepala bunglon tersebut menjadi merah dan berubah menjadi semacam cambuk berduri. Wajah Aron menjadi panik, ia pun bergegas melarikan diri menuju pos penjaga.
Detik berikutnya suara cambuk yang membentuk tanah, dinding, serta bebatuan keras bergema di seluruh area tantangan lantai dua.
Gema tersebut juga terdengar oleh Arvani dan Rian yang sedang bertarung dengan beberapa calon Hunter lain. Arvani memanfaatkan celah yang dibuat sang lawan akibat gema yang menarik perhatian dan melakukan serangan beruntun menggunakan teknik berpedang Kensei.
Rian menjadi orang yang membunuh musuh terakhir.
"Selesai juga," gumam Arvani seraya menyeka keringat di lehernya.
"Tuan Arvani, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Hm? Apa lagi? Tentu saja istirahat."
Mimik wajah pria itu seperti hendak mengatakan sesuatu namun Rian memutuskan untuk tetap diam dan mengikuti perintah Arvani.
Perempuan bertopeng kelinci itu memeriksa jumlah poin yang ia miliki.
'Oh ya, aku ingin bertanya tentang pecahan Miracle yang kau maksud tadi, Kayril.'
Arvani kembali berbicara dengan anak buah yang berada dalam alam bawah sadarnya ini.
Kayril pun menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis Miracle yang dapat dipecah oleh si pemilik untuk diberikan kepada orang lain, disimpan sebagai cadangan, dan lain sebagainya. Tindakan ini tentunya dapat melemahkan kekuatan miracle di pemilik sebagai akibatnya.
'Aku penasaran bagaimana cara menggunakan bintang putih ini.'
Telunjuk Arvani menyentuh bintang putih yang melayang di dekatnya. Bintang itu bereaksi dengan memutari kepala Arvani 2 kali searah jarum jam, dan tiba-tiba Arvani menjadi semi transparan.
Rian yang juga melihat perubahan itu juga ikut terkejut. Dia tak menyangka seekor monster mau memberikan pecahan Miraclenya pada manusia.
'Keputusanku mengikuti beliau itu benar.'
.
.
.
Hari terakhir tantangan pun tiba. Tidak seperti perkiraan Rian di mana orang-orang akan saling serang, para calon Hunter terlihat tenang. Satu persatu kelompok atau calon Hunter solo berjalan menuju pos penjaga.
'Mereka calon Hunter yang berasal dari pihak-pihak berpengaruh.'
Arvani langsung mengetahui maksud dari ucapan Kensei itu. Mereka, calon Hunter dari pihak berpengaruh tahu jika bahaya yang harus mereka hadapi ada di lantai atas. Lantai dua ini hanyalah pemanasan kecil.
Ketika Arvani dan Rian mengambil giliran menuju pos penjaga, keduanya sedikit terkejut melihat kawasan di dekat pos penjaga yang mengalami kerusakan ekstrim. Mereka menyadari ini pasti ulah monster bunglon dulu.
Arvani tak ambil pusing dan terus melangkah. Monster itu mati dan sudah membayar makanannya jadi tak ada lagi yang harus dipikirkan Arvani.
Area penginapan.
"Enaknya ke mana dulu, apartemen atau kafetaria?"
"Eh?" Rian yang tiba-tiba mendapat pertanyaan itu kebingungan.
"Anu, eee ... Di kafetaria anda bisa memesan makanan lebih dulu tapi mungkin itu akan menarik perhatian dengan penampilan kita yang masih berantakan. Lalu, untuk apartemen, bisa saja ada orang yang mengikuti anda."
"Aku tidak butuh penjelasan. Kedua pilihan itu memang ada pro dan kontra. Yang aku tanya itu, kau ingin ke mana lebih dulu?"
Rian termenung. Ia memalingkan wajahnya sedikit dan menggaruk tengkuknya gugup.
" ... Apartemen sepertinya lebih baik."
"Bagus."
Segera, bola hitam milik Arvani menunjukkan jalur menuju penginapan terdekat. Setibanya di meja resepsionis ia memesan apartemen kecil dengan dua kamar dan dua kamar mandi dalam. Harganya memang cukup mahal tapi Arvani tidak masalah, lagi pula ia juga meminta poin Rian untuk membayar.
Sebelum pergi ke kamar apartemen, Rian dan Arvani terlebih dulu pergi menuju tempat pertukaran poin.
Dalam perjalanan menuju kamar apartemen yang sudah dipesan. Baik Rian maupun Arvani merasakan seseorang sedang mengikuti mereka.
"Abaikan saja. Calon Hunter dilarang saling membunuh di luar area tantangan. Itu sudah jadi aturan di sini kan. Eh, tapi kalau bertarung sepertinya tidak apa."
Rian mengangguk pelan. Setibanya di kamar. Arvani langsung menuju kamar mandi, memeriksa sekitar untuk memastikan tidak ada kamera perekam lalu melepaskan topengnya.
'Ah, sekarang aku bisa melihat dengan lebih baik.'
Dia mendekati kaca.
'Syukurlah tidak ada bekas belang di wajahku karena memakai topeng ini selama 1 Minggu lebih.'
Perempuan itu menyalakan keran air untuk mengisi bak mandi lalu mulai melepaskan satu persatu pakaiannya. Menggunakan kaca, Arvani mengamati luka di punggungnya yang sudah sembuh namun meninggalkan bekas luka.
'Bodo amatlah.'
Sambil berendam Arvani mencoba menggunakan kemampuan lain dari bintang putih pemberian monster bunglon.
.
.
.
Setibanya di kafetaria, Arvani mengambil semua jenis olahan daging yang telah disediakan. Ia kemudian duduk di meja yang sama dengan Rian yang sudah lebih dulu selesai mengambil makanan.
Sementara tangannya asik memotong daging, Arvani mulai berbicara dengan Kayril melalui ikatan batinnya. Mengingat pria berekor itu adalah seorang Top Tier Hunter, harusnya ia memiliki infomasi yang berguna.
'Mohon maaf tapi saya tidak bisa memberitahu mengenai tantangan di lantai yang akan datang. Setelah mengobrol singkat dengan Kensei, saya menyadari bahwa rentan waktu kematian saya dengan masa kini cukup jauh. Mungkin sekitar 3 dekade.
Hunter Pengawas tiap lantai akan diganti 5 tahun sekali. Otomatis, tantangan yang saya alami berbeda dengan anda. Selagi tantangan lantai berhubungan dengan monster, saya akan membantu anda sekuat tenaga, master.
Lalu, untuk tantangan di lantai 100. Itu hanyalah pertarungan satu lawan satu yang bisa berlangsung 1 sampai 30 hati bergantung pada jumlah calon Hunter yang lulus. Di lantai seratus juta akan diumumkan rangking untuk Hunter baru.'
Perempuan bertopeng kelinci merah itu termenung. Apakah ia akan tetapi menggunakan identitas Kelinci Merah sampai lantai terakhir atau tidak? Jika iya maka Daniel bilang akan memastikan keamanan Arvani sepenuhnya.
'Yah, tidak buruk. Selagi gajiku aman aku akan setuju saja dengan rencananya.'
Ketika Arvani hendak memakan steak daging sapi premium seorang wanita tiba-tiba menghampiri. Fokus utama Arvani tertuju pada dua buah tumpukan lemak wanita itu yang seakan dibiarkan terbuka lebar.
"Permisi, anda adalah Tuan Arvani bukan?"
Suara wanita itu menggoda sekaligus mengancam. Mata hitam Arvani melirik bintang putih yang hanya bisa dilihat olehnya. Bintang putih itu memancarkan sinar berwarna hitam yang berarti wanita ini memiliki niat buruk tapi tidak ingin membunuhnya.
"Apa maumu?" Sang Kelinci Merah balas bertanya dengan nada ketus.
"Ah, aku tidak memiliki niat busuk apapun. Aku hanya ingin membuat penawaran denganmu."
Kalimat pertama jelas merupakan kebohongan, dan untuk yang kedua, itu benar.
Arvani tetap diam sambil memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya, kode agar wanita dengan pakaian ketat dan terbuka itu menjelaskan maksud ucapannya lebih lanjut.
"Begini, kelompokku mendapat bocoran informasi untuk lantai ketiga yang mengharuskan calon Hunter membentuk tim berisi 4 orang. Jadi, daripada membentuk tim dengan orang asing yang bisa jadi beban, bagaimana jika anda bergabung dengan kelompokku. Kami jamin takkan jadi beban."
Wanita itu menunjuk ke meja dengan 2 orang pria berbadan kekar yang merupakan rekan tim wanita itu.
Potongan daging terakhir masuk ke mulut Arvani dan perempuan itu pun berkata.
"Cari orang lain."
Kepanikan terlihat di wajah wanita itu. Ia mulai mencoba membujuk Arvani yang dengan jelas diabaikan oleh perempuan bertopeng itu. Percuma saja jika wanita itu menawarkan tubuhnya, Arvani lebih tertarik pada pria.
Rian yang sedari tadi diam terus mengamati wanita itu. Dari logat serta model pakaiannya, dia jelas bukan dari negara yang sama dengan dirinya.
"Kau akan menyesali keputusanmu ini, dasar buron!"
Itulah kalimat terakhir yang dikeluarkan wanita itu ketika menyadari bahwa Arvani tidak mendengarkan perkataannya.
'Akhirnya kedamaian.'