Cherreads

Chapter 22 - 22. Moral

Karena sudah menghancurkan salah satu tempat latihan, Arvani diharuskan membayar denda sebesar 150 poin. Kejadian ini selain mengharuskan Arvani menghemat uang makan juga membuat perempuan bertopeng kelinci merah itu makin terkenal di antara calon Hunter.

Ia pun memutuskan untuk segera berangkat ke lantai 3. Rian yang menghadapi keputusan sepihak itu hanya mengangguk patuh.

Keesokan siangnya.

Tidak seperti di lantai sebelumnya. Kali ini Arvani dan Rian dapat masuk secara beriringan. Begitu masuk, pemandangan yang Arvani lihat adalah sebuah ruang tunggu berisi ratusan calon Hunter.

Di arah Utara terdapat 5 lorong yang tidak diketahui menuju ke mana. Sebuah bola hitam melayang di udara dan mengeluarkan semacam speaker yang tertuju ke empat mata angin.

Kalian akan menghadapi beberapa jenis monster yang menjatuhkan koin. Tiap koin juga memiliki nilai tersendiri. Untuk bisa lolos kalian harus memiliki koin dengan total nilai 1.000.

Lalu ... Eee .... Oh, kalian juga bisa merebut koin milik kelompok lain. Kalo mau saling bunuh jangan terlalu berantakan ya. Aku malas yang harus memanggil petugas kebersihan.>

"Hunter pengawas ini ... Dia tidak menyebutkan namanya," gumam Arvani yang dapat didengar oleh Rian.

"Mungkin dia menganggap perkenalkan semacam ini tidak penting. Lagi pula, kalau kita lulus akan selalu ada calon Hunter lain yang datang. Di tambah lagi, kita bisa mencaritahu namanya lewat web Hunter of Tower."

Arvani menatap Rian heran. "Acara seperti ini juga ada web khususnya?"

Rian tersenyum kikuk. "Tentu saja. Selain menampilkan daftar Hunter pengawas, mereka juga akan menampilkan video pertarungan di lantai terakhir."

"Coba lihat."

"Eh?"

Walau bingung, Rian tetap menyerahkan ponselnya pada Arvani. Pria berambut pirang itu memberitahu Arvani cara mengakses web khusus dan cara menonton video pertarungan dari lantai 50 sampai 100.

"Oh, jadi kita bisa dapat uang tambahan dari para donatur begitu mencapai lantai 50. Lumayan juga."

"Benar tapi sebagai gantinya kita harus melakukan apa yang mereka inginkan."

'Kayak jadi pekerja serabutan saja.'

Mata hitam Arvani melihat sekeliling. Sebagai besar kelompok sudah memasuki lorong, menyisakan orang-orang yang sedang mengamati atau mencari kelompok. Sejenak ia melihat wajah yang dikenalnya.

'Oh, wanita bohay itu sedang berdebat dengan rekan satu timnya ya.'

Perempuan berambut hitam itu menyerahkan kembali ponsel Rian.

Arvani meraba saku celananya. Tak menemukan benda yang ia butuhkan, wanita itu pun menggunakan gelang di tangan kirinya sebagai ikat rambut.

"Kau tidak keberatan siapa yang akan jadi anggota terakhir kita kan?"

"Tidak."

"Bagus."

Selesai mengikat rambutnya, Arvani berjalan perlahan menuju seorang wanita di pojok ruangan yang membawa tongkat khusus untuk penderita tunanetra.

"Hei wanita dengan tongkat di sana. Apa kau mau bergabung denganku?"

Wanita dengan mata ungu kosong itu menolehkan wajahnya kepada Arvani.

"Siapa anda?"

"Arvani, dan rekanku ini Rian."

Senyuman meremehkan terbentuk di wajah wanita itu, bukan untuk lawan bicaranya tapi untuk dirinya sendiri. "Apa anda yakin dengan keputusan anda itu?"

"Tidak juga. Kalau kau sudah punya tim, ya aku cari orang lain."

"Bukan itu maksud saya."

"Kau bicara tentang matamu itu? Aku tidak peduli sih. Kau bisa ada di sini berarti kau setidaknya punya kemampuan standar. Jadi mau ikut atau tidak?"

Wanita itu termenung sejenak.

"Baiklah. Saya ikut tapi dengan syarat, saya harus menyentuh wajah anda berdua secara langsung."

Arvani menggaruk kepalanya. "Yah, itu agak sulit untukku. Kita bisa melakukannya saat tidak ada orang lain."

"Tuan Arvani." Rian mencoba memperingatkan bahwa hal ini akan sangat beresiko.

Senyuman kecil terbentuk dari balik lain merah transparan Arvani.

"Tenang saja. Aku tidak peduli identitasku terbongkar kok."

"Apa anda seorang buronan?" Wanita buta itu bersuara.

"Iya, apa kau berubah pikiran."

Di luar dugaan, wanita itu menggeleng dan mengatakan bahwa syarat tadi dibatalkan. Ia juga mengaku bahwa dirinya juga seorang buronan. Sebagai sesama buronan setidaknya harus saling membantu satu kali. Itulah motto yang dimiliki wanita itu, namanya Okalina.

Tim berjumlah 3 orang berhasil terbentuk dan Arvani selaku pemimpin langsung memasuki salah satu lorong.

Lorong itu memiliki banyak sekali jalur yang bercabang, dindingnya terbuat dari baja yang diperkuat serta tidak menghasilkan suara gema bisa terkena benturan. Pencahayaan lorong berasal dari lampu-lampu hologram berwarna biru yang entah bagaimana seolah mampu membuat suasana menjadi lebih dingin.

Arvani menghentikan langkahnya. Sekitar 5 meter di depan sana terdapat segerombolan monster kelinci bermata merah.

"Jumlahnya 20 ekor," Okalina berkata.

Segera Arvani mengeluarkan pedang pemberian Daniel. Ia juga mempercepat tempo aliran energi di seluruh tubuh.

[Teknik pedang Kensei Igarashi: bentuk kedua.]

Perempuan itu melesat cepat menuju kawanan monster kelinci dengan tusukan pedang sebagai gerakan pertama. Dua tebasan ganda serong kiri dan kanan. Lalu gerakan terakhir sekaligus yang sedikit rumit, tebasan beruntung ke segala arah sambil memutar tubuhnya.

Arvani memutar pedangnya dengan cepat untuk membersihkan noda darah merah yang menempel kemudian memasukkan pedang ke sarungnya.

'Aku benar-benar jadi lebih kuat.'

Mata hitam perempuan itu bertatapan dengan mata Rian.

"Bantu aku mengumpulkan koinnya."

Rian mengangguk patuh. Tangan Arvani mengambil satu koin yang ada di dekatnya. Koin emas itu menunjukkan angka 1.

"20 untuk serangan pertama. Entah ini tinggi atau tidak."

"Apa kita mau mencari monster dengan nilai lebih tinggi? Saya bisa membantu."

Akhirnya Okalina membuktikan kegunaannya. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Arvani, tentang jumlah serta kekuatan monster yang ingin dihadapi.

"Cukup 1 atau 2 monster dengan nilai 100 atau diatasnya tapi jangan sampai mendekati nilai 1.000."

Wanita buta itu menutup matanya. Perlahan, darah mulai mengalir dari mata kanan Okalina menuju ujung jarinya. Tangan kanan wanita itu terangkat setinggi dada. Setetes darah jatuh dan mengotori lantai.

Sesaat, bulu kuduk Arvani berdiri akibat hembusan angin dingin yang melewati tubuhnya, begitupun dengan Rian.

Sekarang Rian dapat mengingat siapa identitas asli wanita buta ini.

Okalina Edsel, seorang buron kelas kakap sekaligus anggota organisasi Ningrum yang terkenal bermusuhan dengan 12 keluarga bangsawan agung. Wajar dia mau bekerja sama dengan Arvani yang memakai identitas Kelinci Merah yang sudah membunuh salah satu anggota keluarga bangsawan agung, walau hanya keluarga cabang.

Perlahan darah yang mengalir itu menghilang di udara.

Okalina membuka matanya yang kosong. "Mari ikuti aku."

Kini, giliran wanita buta yang memimpin jalan. Arvani dan Rian mengikuti dari belakang. Setelah melewati beberapa lorong bercabang mereka pun sampai di tempat si monster.

Itu kucing.

Badannya sebesar harimau, punya 4 kaki utama berwarna oranye, 6 kaki lainnya merupakan kaki ubur-ubur yang dapat menyengat. Ekornya satu, dengan ujung tajam layaknya kalajengking.

Meoong~

Astaga, suara mengemaskan itu sama sekali tidak cocok dengan penampilannya.

"Rian, sekarang giliranmu. Kalau susah nanti aku bantu," ujar Arvani santai.

Rian mengambil dua pisau hitamnya dan berjalan mendekati monster kucing yang sedang tertidur di sana. Tepat ketika pria itu berada dalam jarak serangan, mata kucing itu terbuka menampilkan mata berwarna hijau zamrud yang mempesona.

Pupil hitam yang awalnya bulat seketika berubah menjadi tajam begitu melihat senjata di tangan Rian.

Ekor berburu dengan ujung tajam itu melesat cepat, bukan untuk menusuk melainkan menebas tubuh Rian menjadi dua. Beruntung, pria itu lebih cepat menghindar dengan melompat kebelakang.

Tepat ketika kakinya menyentuh lantai Rian langsung meluncur ke bagian leher kucing tersebut. Malang, kaki kanannya lebih dulu terjerat oleh tentakel ubur-ubur berwarna putih semi transparan. Seketika sensasi perih menjalar pada kaki kanan Rian.

"Dia lemah," Okalina berbisik pada Arvani, "tapi cukup berguna."

Segera pria berambut pirang itu memotong tentakel di kakinya dan melemparkan salah satu pisaunya ke arah mata si kucing. Ekor kucing tersebut bergerak cepat melempar Rian menjauh sekaligus menahan pisau tadi.

Pisau hitam itu menusuk tak terlalu dalam dan dapat dikeluarkan dengan mudah oleh si kucing.

Arvani tersenyum kecil. "Yah, dia memang cukup berguna."

Perempuan berambut hitam itu melirik ke arah Kayril yang sedari tadi menonton pertarungan berat sepihak antara Rian dengan si kucing.

'Bagaimana?'

'Kucing itu ... Dia sedang hamil.'

More Chapters