Cherreads

Chapter 23 - 23. moral 2

Arvani kembali teringat pada sosok anak perempuan kecil yang ia bunuh begitu sampai di lantai satu menara. Perasaan aneh kembali memenuhi hatinya.

"Yah, lagi-lagi aku harus menahan rasa bersalah."

Perempuan itu mengeluarkan pedangnya. Kucing dengan tentakel ubur-ubur itu mulai menggeram kesal sekaligus waspada. Perlahan-lahan, si kucing mulai bangkit. Di sinilah Arvani dapat melihat jelas bagian perut monster tersebut yang nampak lebih besar.

'Kira-kira dalam satu kehamilan, kucing ini akan melahirkan berapa banyak ya?'

"Rian! Kau bisa bergerak?!"

Rian yang sudah bangkit melirik ke Arvani sekilas lalu mengangguk.

"Bagus, alihkan perhatian kucing itu terutama bagian ekornya. Biar aku yang urus tentakelnya itu."

Bintang putih mengitari kepala Arvani 4 kali dan tubuh perempuan berambut hitam itu pun menghilang sepenuhnya. Monster kucing itu tak punya waktu untuk mencari keberadaan Arvani karena Rian yang sudah bergerak cepat membelakangi dirinya.

Pria berambut pirang itu melumuri pisaunya dengan racun. Meski sekedar racun kelas bawah tapi setidaknya akan menambah rasa sakit dari serangannya.

Arvani tak buru-buru memperpendek jarak dengan si kucing. Dia mengamati bagaimana kecepatan ekor si kucing yang selalu membuat Rian menjaga jarak dari perutnya. Begitu pun dengan tentakelnya yang lebih sering bergerak di sekitar perut, melindungi benih kehidupan di dalam sana.

Bruk!

Suara dentuman kembali terdengar. Ujung mata Arvani melihat bahwa pria berambut pirang itu terlempar hingga menabrak dinding akibat kibasan ekor si kucing.

'Bergerak terlalu berlebihan memang berbahaya bagi ibu hamil.'

Terlihat di kucing berniat menusuk tubuh Rian namun pria itu berhasil membanting badannya ke samping dan melemparkan satu pisau ke wajah si kucing. Ketika ekor berbulu itu bergerak menahan pisau, Rian bangkit dengan cepat, mengambil dua pisau cadangan dan melompat tinggi.

Buuk!

Kali ini, Rian menggunakan kedua pisaunya agar tetap menempel di ekor si kucing. Di sinilah Arvani akan beraksi.

Tubuh perempuan itu menjadi semi transparan ketika berlari mendekati bagian depan tubuh si kucing.

[Teknik pedang Kensei Igarashi: bentuk pertama.]

Tebasan serong ke kanan atas itu berhasil memotong beberapa tentakel yang hendak mengikat tubuh Arvani. Perempuan itu memutar tubuh dan melakukan serangan horizontal.

Begitu beberapa tentakel yang menggangu dipotong perempuan berambut hitam itu melompat tinggi ke kepala si kucing.

Mata hitamnya bertatapan langsung dengan mata hijau zamrud monster kucing yang menunjukkan kemarahan dan keputusasaan.

"Jangan menatapku dengan mata itu dong."

Saat masih berada di udara, Arvani dengan sengaja melemaskan genggaman tangannya pada pedang. Perempuan bermata itu menarik tengan kanannya kebelakang dan.

Buuum!

Arvani memukul kepala kucing itu sekeras yang ia bisa menyebabkan kucing tersebut langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tentu saja, beberapa bagian tentakel yang tersisa langsung melilit area perutnya.

Tangan perempuan itu terangkat perlahan.

"Aku jadi kesulitan membunuhmu tahu."

[Rohwaris.]

"Apa kau ingin aku menyelamatkan hidup bayimu?"

Bola mata kucing itu melebar saat perkataan Arvani dapat dimengerti oleh dirinya. Dia melayangkan tatapan tajam.

"Yah, hewan sepertimu kepintarannya tidak lebih dari manusia jadi aku ubah pertanyaannya jadi lebih simpel. Bayimu atau mati, mana yang kau pilih?"

Monster kucing itu mengerang. Kayril memberitahukan pada Arvani bahwa kucing ini memilih pilihan pertama.

'Itu bagus. Kapan dia lahiran?'

Si monster kucing kembali menggerang, kali ini nada suaranya terdengar lebih menyakitkan.

'Sepertinya sekarang, Master.'

'Apa kau pernah membantu persalinan para hewan?'

'Belum pernah, Master.'

'...'

'...'

"Tuan Arvani, apa yang harus kita lakukan sekarang?!" Teriakan Rian itu berhasil membuyarkan lamunan Arvani.

Bukannya menjawab, Arvani justru bertanya balik. "Apa kau pernah menemaki kucing lahiran?"

Rian termenung keheranan, begitu pun dengan Okalina yang mendengarkan dari kejauhan. Wanita buta itu memiringkan kepalanya seraya memasang senyuman kikuk.

Namun, detik berikutnya ia tertawa terbahak-bahak.

"Ahahaha, anda orang yang baik rupanya."

Arvani mengangkat kedua bahunya seraya tersenyum santai. "Tidak juga, aku hanya mengikuti moralku saja."

Suara kucing itu kembali terdengar, Kayril menerjemahkan bahwa kucing tersebut bisa melahirkan sendiri tanpa bantuan. Arvani hanya perlu membungkus anak kucing (?) yang baru lahir nanti dengan kain bersih.

Mata hitam perempuan itu menatap pada Rian, kemudian Okalina, lalu pada dirinya sendiri.

'Serius cuma aku yang memakai jaket?!'

Rian mengenakan setelan hitam ketat yang biasa digunakan mata-mata. Sedangkan Okalina mengenakan gaun dengan beberapa permata yang jelas tidak akan nyaman jika digunakan sebagai selimut.

Satu-satunya yang tersisa adalah jaket hitam yang dikenakan Arvani. Perempuan itu menghela nafas panjang dan segera melepaskan jaketnya.

'Aku harus beli jaket baru.'

.

.

.

Sekitar 2 jam setelahnya, terlihat Okalina yang dengan sabar menunggu seraya bersandar pada dinding.

Kondisi Rian, ia mengendarai seekor anak kucing yang tubuhnya masih berwarna merah. Tubuh kucing kecil itu diselimuti dengan jaket.

Sementara si pemilik jaket, tangan kanannya memegang pedang panjang yang berlumuran darah. Tangan kirinya memegang koin yang bertuliskan angka 500.

"Ayo lanjutkan. Okalina, pimpin jalannya."

Okalina menjawab dengan nada ringan.

Dalam perjalanan, tak ada satupun yang buka suara. Hanya suara langkah kaki yang terdengar. Sama seperti sebelumnya, tapi kali ini, Okalina dapat merasakan perasaan tak nyaman yang berasal dari Arvani.

"Apa anda menyesal?"

Pertanyaan itu jelas ditujukan pada Arvani meski wanita buta itu tidak menoleh atau menyebutkan namanya.

Arvani termenung sesaat.

"Sedikit," mata hitamnya melirik Rian yang sedang menggendong anak kucing mungil, "harusnya aku membawa jaket tambahan."

Okalina terdiam. Detik berikutnya wanita itu menyibakkan rambutnya ke belakang dengan gusar.

"Astaga, sia-sia saja saya menjaga perasaan anda."

"Eh? Apa maksudmu?"

Wanita itu menoleh ke belakang dengan kedua mata yang tertutup dan alis yang menukik tajam.

"Saya pikir anda sedang berduka loh!"

"Aku kan memang sedang berduka. Lihatlah, jaketku harus dikorbankan untuk monster kecil ini."

Okalina menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir dengan tingkat laku Arvani. Tidak bisa dibilang kejam tapi juga tidak bisa dibilang baik.

"Anda benar-benar tukang cari sensasi."

"..."

.

.

.

Monster ketiga yang dihadapi oleh tim Arvani adalah seekor burung elang raksasa dengan empat sayap yang membuatnya semakin cepat, cakar yang lebih kuat dari baja. Lalu hal terakhir adalah.

"Dasar elang botak! Berhenti menerbangkan diriku!"

Arvani berteriak panik. Rian yang sedang menjaga si anak kucing hanya bisa membantu dari kejauhan dan tidak bisa sering. Pria berambut pirang itu bertugas melemparkan pisau hitam dari kejauhan.

Total jumlah pisau yang Rian miliki adalah 5, dan semua itu sudah menancap di tubuh monster elang tersebut. Akan tetapi, sampai sekarang tidak ada dampak besar apapun dari pisau beracun itu.

Kini giliran Arvani yang harus merespon cepat. Kecepatan terbang elang sekitar 100 km/jam, di tambah dengan ukurannya yang besar serta cakarnya, Arvani tak berani berbuat bodoh dengan menahan serangan elang tersebut secara langsung. Rasanya pasti sakit.

Arvani yang kesulitan melihat pergerakan elang itu pun mulai memfokuskan energinya pada mata dan juga kaki.

Buugh!

Suara tabrakan keras terdengar. Elang itu menyerang Arvani dari titik butanya. Merasa kesal, Arvani menggenggam pedangnya erat. Matanya menatap tajam pada burung raksasa yang terbang di langit-langit.

'Ini akan memakan banyak tenaga, astaga.'

Perempuan itu memusatkan energinya pada kaki kemudian melompat tinggi-tinggi. Berada di udara sama saja dengan menantang maut.

[Rohwaris: Kayril]

"Kemarilah! Dasar botak!"

Monster elang yang dapat memahami teriakan Arvani itu langsung termakan provokasi. Ia menerjang cepat ke arah Arvani yang mulai jatuh kembali. Kali ini, dia akan benar-benar melubangi tubuh manusia arogan itu.

Arvani yang kesulitan memasang kuda-kuda berpedang pun tersenyum tipis.

[Rohwaris: Kensei Igarashi]

'Dasar wanita merepotkan. Jangan salahkan aku kalau tubuhmu tak bisa bergerak setelah ini.'

Arvani tidak mempedulikan peringatan Kensei. Lagi pula keputusan berada di tangan Arvani seutuhnya.

"[Teknik pedang Kensei Igarashi: bentuk keempat]"

More Chapters