Auralis kembali berguncang.
Retakan yang sempat menyatu kini pecah kembali—lebih cepat, lebih dalam, lebih liar. Bayangan Keempat, setelah terpukul oleh cahaya kenangan Rania dan Nazer, tak lenyap.
Ia berubah.
Menjadi sesuatu yang tak lagi menyerupai sosok luar…
Tapi cermin dari dalam.
---
Rania berdiri di pelataran utama, tangannya masih digenggam Arven, tapi tubuhnya terasa seperti terbelah dua. Bukan oleh serangan. Tapi oleh panggilan dari dirinya sendiri.
Dan ketika Bayangan Keempat muncul lagi, ia tak lagi bermata banyak.
Ia bermata satu.
Matanya adalah mata Rania.
Wujudnya menyerupai tubuh Rania—rambutnya, sorot matanya, bahkan cara ia berdiri. Tapi ada yang berbeda: warna kulitnya kelabu, dan sorotnya tak bersinar. Seolah seluruh harapan dalam hidup Rania telah dikeringkan dan dipaksa berjalan.
Rania bergeming.
“Siapa kau?”
Bayangan itu tersenyum.
> “Aku… adalah kau yang terluka.”
> “Aku adalah kau… yang pernah memilih menyerah.”
---
Reina, Elvaron, bahkan Nazer tak bisa bergerak. Aura gelap dari makhluk itu seperti menyelimuti seluruh waktu dan ruang, membekukan sihir dan menyumbat oksigen.
Hanya Rania… yang tetap berdiri.
Arven mencoba mendekat, tapi Rania menahan dengan satu gerakan tangan.
> “Biarkan aku… berbicara denganku sendiri.”
---
Rania dan bayangannya kini berdiri berhadapan di tengah lingkaran waktu. Dunia di sekeliling mereka menghilang. Tinggal mereka berdua. Dua sisi dari satu jiwa.
“Kenapa kau meniru wajahku?” tanya Rania lirih.
Bayangan menjawab tanpa ragu.
> “Karena wajahmu… adalah topeng pertama dari semua kebohongan.”
> “Kau berpura-pura kuat. Padahal kau lelah.”
> “Kau memilih untuk tetap berdiri… padahal jiwamu sudah hancur.”
> “Kau mencintai Arven, tapi takut kehilangan lagi seperti kehilangan Kael.”
> “Dan yang paling parah… kau memaafkan semua orang, tapi tak pernah memaafkan dirimu sendiri.”
Rania menutup mata, air matanya jatuh.
“Karena aku manusia…”
Bayangan tertawa.
> “Tidak, kau bukan manusia biasa. Kau waktu yang diberi hati. Dan hati yang tak pernah sembuh… hanya akan menyebar luka.”
---
Lalu Bayangan menyerang.
Tapi bukan dengan sihir.
Melainkan dengan kata-kata.
“Apakah kau ingat saat ibumu meninggalkanmu di tepi sungai waktu?”
“Apakah kau ingat hari kau memilih Kael… dan kemudian mendorongnya ke kegelapan?”
“Apakah kau ingat bagaimana kau membiarkan dirimu terus merasa tak layak dicintai?”
Rania terjatuh ke lutut. Gemetar.
Tapi suara lain datang.
> “Aku ingat.”
Itu suara Nazer.
Ia masuk ke tengah lingkaran, meski tubuhnya mulai remuk oleh tekanan energi waktu.
“Aku ingat… ibuku bangkit lagi dan lagi, meski dunia menjatuhkannya.”
“Aku ingat… dia memilih cinta walau takut kehilangan.”
“Aku ingat… dia melindungiku, bahkan ketika dia sendiri tidak yakin layak hidup.”
Rania mendongak. Menatap anaknya.
Dan ia berdiri kembali.
> “Aku mungkin pernah terluka…”
> “Tapi aku bukan luka itu.”
> “Aku mungkin pernah jatuh…”
> “Tapi aku bukan kejatuhanku.”
> “Aku adalah pilihan yang tetap memilih terang… bahkan dalam kehancuran.”
---
Rania menatap bayangannya sendiri dan mendekat.
Lalu ia memeluknya.
Bayangan terkejut. Tubuhnya mulai retak. Sorot matanya berubah.
“Kenapa kau memelukku?” tanya bayangan itu.
“Karena kaulah aku… yang selama ini kutinggalkan.”
“Dan aku tak ingin meninggalkan diriku sendiri lagi.”
Cahaya keluar dari tubuh Rania, membungkus bayangan gelap itu. Dan dengan satu tarikan napas…
Bayangan meleleh menjadi butiran cahaya.
Menghilang. Tanpa suara.
Dan waktu pun… diam kembali.
---
Langit Auralis kembali biru.
Tak ada getaran. Tak ada retakan.
Hanya keheningan, seperti akhir babak sebuah perang panjang.
Rania menatap tangannya. Lalu Arven. Lalu Nazer.
Ia tersenyum.
“Sudah selesai.”
Tapi dalam hatinya, ia tahu…
> Perang melawan waktu paling panjang… adalah perang dengan diri sendiri.
Dan hari ini, ia menang.