Pagi itu, Auralis kembali berkabut.
Bukan kabut biasa. Tapi kabut waktu, partikel halus berwarna perak yang hanya muncul saat dimensi lain mulai menyentuh dunia ini.
Dari puncak Menara Chronos, terlihat garis cahaya membentuk Pintu Kelima — sebuah gerbang transparan yang bergoyang seperti cermin cair. Tapi tak ada yang bisa menyentuhnya.
Bahkan sihir Rania pun terpental.
---
“Gerbang ini hanya bisa dibuka dengan ‘tukar kenangan’,” jelas Alendra.
Ia berdiri di depan gerbang, jubah kelabunya berkibar pelan oleh angin tak terlihat.
Reina memeriksa peta. “Tukar kenangan… maksudnya?”
Alendra menoleh, tatapannya kini mulai memperlihatkan kedewasaan yang jauh melampaui usianya.
> “Pintu Kelima akan menolak siapa pun yang belum melepaskan satu kenangan terindahnya. Tapi jika kenangan itu dikorbankan, pintu akan terbuka… dan membawa kita ke jalur waktu terbalik.”
Arven menatap Rania dengan cemas. “Berarti kita harus… melupakan sesuatu yang paling kita sayangi?”
Rania menelan ludah. Matanya perlahan memandang liontin setengah bulan di lehernya.
“Kenangan bukan hanya milik masa lalu,” gumamnya. “Kadang, kenangan adalah jangkar yang membuat kita tetap utuh…”
“Dan melepaskannya, bisa berarti kehilangan siapa diri kita sebenarnya.”
---
Satu per satu, mereka berdiri di hadapan pintu.
Reina mencoba lebih dulu, melepaskan ingatan tentang hari pertama ia dipercaya menjaga Auralis.
Tapi pintu hanya bergetar… lalu kembali diam.
Elvaron menyerahkan kenangan tentang ibunya yang dulu mengajarkan musik sihir.
Tak ada hasil.
Giliran Arven. Ia menutup mata, menggenggam liontin kecil yang dulu diberi ibunya sebelum beliau meninggal.
“Kalau ini cukup…” katanya pelan.
Tapi lagi-lagi, pintu tak bergerak.
Lalu tibalah giliran Rania.
Ia menggenggam liontin bulan peninggalan Kael. Air matanya jatuh—tak karena luka, tapi karena ragu.
“Apa aku harus kehilanganmu lagi, Kael?” bisiknya.
Dan ketika ia melangkah, siap menyerahkan kenangan tentang malam pengakuan Kael—pintu mulai menyala.
Tapi tiba-tiba…
Alendra melangkah maju dan menghentikannya.
> “Jangan.”
> “Biarkan aku saja.”
---
Semua menoleh.
“Alendra?” Rania menatap heran. “Tapi kau belum tahu siapa ayahmu. Kenanganmu mungkin satu-satunya petunjuk…”
Alendra menatap Rania, mata ungunya bersinar.
> “Justru itu. Aku ingin berhenti bertanya tentang masa lalu. Aku ingin jadi bagian dari masa depan yang kupilih, bukan yang diwariskan padaku.”
> “Aku akan menyerahkan kenangan tentang… saat ibuku memelukku untuk terakhir kalinya.”
“Alendra, kau masih sangat muda. Ingatan itu—”
> “—akan selalu ada di hati. Tapi tidak harus membelenggu langkahku.”
Lalu Alendra melangkah ke depan pintu.
Tangannya memegang liontin kecil berbentuk bintang, lalu meletakkannya di udara tepat di hadapan cermin cair.
Cahaya ungu keluar dari liontin itu. Dan saat kenangan itu terlepas…
Pintu Kelima terbuka.
Dan waktu pun… berbalik arah.
---
Di balik pintu, bukan dunia yang mereka kenal.
Langitnya berwarna abu-abu pucat, pohon-pohon tumbuh terbalik dari langit ke tanah. Sungai mengalir ke hulu. Burung-burung terbang mundur. Dan jam besar di langit… berdetak mundur setiap sepuluh detik.
“Aku tidak yakin tubuh kita akan bertahan lama di sini,” kata Reina.
“Berapa waktu maksimal?” tanya Rania.
Elvaron menjawab, “Dua belas jam. Setelah itu, kita akan terhisap ke dalam spiral waktu permanen.”
Rania menarik napas panjang.
“Kalau begitu… kita cari asal mula kutukan waktu ini. Dan jika perlu, kita tulis ulang sejarah.”
---
Di tengah dimensi waktu terbalik itu, mereka menemukan jejak: patahan kecil di lantai dimensi, seperti bekas benda jatuh dari langit.
Alendra menunduk dan menyentuh patahan itu.
Tiba-tiba, bayangan muncul—bukan dari tanah, tapi dari atas langit.
> Seorang lelaki dengan jubah hitam… membawa bayi kecil.
> Di belakangnya, seorang wanita berambut ungu berteriak, “Kau tak bisa menyembunyikannya, Kael!”
> Lelaki itu menoleh, lalu menghilang di balik bayangan portal.
Dan dalam bisikan samar, terdengar:
> “Dia… anakku. Tapi dunia tak boleh tahu.”
Alendra menegang.
Tangannya gemetar. “Itu…”
Rania menatapnya. “Itu ayahmu?”
Alendra hanya bisa mengangguk, perlahan.
---
“Jadi Kael menyembunyikan anaknya dari dunia… bahkan dari ibunya sendiri?” tanya Reina tak percaya.
“Dan membawa anak itu ke dimensi jam pasir terbalik?” gumam Arven.
“Kalau begitu…” Rania menyimpulkan pelan, “…kita tak hanya harus menyelamatkan dunia dari kutukan waktu. Tapi juga menyelamatkan kebenaran yang telah diputarbalikkan.”
---
Jam pasir di tangan Alendra mulai bersinar merah. Waktu mereka tersisa tiga jam.
Dan di kejauhan, di balik kabut ungu dimensi itu…
Seseorang menunggu mereka.
Seseorang yang menyamar selama ini.
Seseorang… yang memakai wajah Kael.