Hujan turun tanpa aba-aba, membasahi trotoar dan tubuh Rania yang sedang berlari kecil menuju halte. Jaket hoodie abu-abunya sudah tak mampu menahan derasnya air yang mengguyur dari langit kelabu. Di tangannya, sebuah kotak kecil berisi jam antik yang baru saja ia beli dari toko barang bekas langganannya.
“Kenapa tiba-tiba hujan sih?” gerutunya sambil mempercepat langkah.
Ia berhenti di bawah pohon besar di taman kota, napasnya terengah. Matanya menatap benda di tangannya. Jam antik itu berbentuk bulat, dengan penutup kaca dan tali kulit usang. Tapi yang membuatnya tertarik adalah ukiran berbentuk simbol aneh di belakangnya—seperti matahari dan bulan menyatu dalam lingkaran.
Saat ia menekan bagian tengah jam, terdengar bunyi klik.
Dan dunia... tiba-tiba hening.
Petir menyambar, cahayanya membutakan. Rania menutup mata dan jatuh ke tanah. Tapi saat ia membuka matanya, tanah itu bukan lagi rumput taman kota. Ia berbaring di lantai batu yang dingin, di tengah aula luas berarsitektur seperti kastil Eropa kuno.
“Apa aku pingsan? Ini mimpi?” bisiknya.
Langkah-langkah tergesa menggema. Sekelompok pria bersenjata datang menghampirinya, mengenakan baju besi lengkap. Di antara mereka, seorang pria muda dengan jubah biru gelap melangkah mendekat, matanya tajam, penuh curiga.
“Siapa kau, wanita asing? Bagaimana bisa kau berada di ruang singgasana?” tanyanya.
Rania berdiri perlahan, matanya menyapu ruangan megah itu. Langit-langit tinggi, kaca patri berwarna biru keemasan, dan lukisan-lukisan raja-raja masa lalu menggantung di dinding. Semua terlalu nyata.
“Aku... aku juga nggak tahu. Aku cuma... dari taman. Tadi hujan, lalu... jam ini...”
Pria itu memperhatikan jam di tangannya. Wajahnya seketika berubah pucat.
“Gelang Waktu...”
Salah satu prajurit berbisik, “Yang diprediksi ramalan tua itu... perempuan dengan jam dari langit...”
“Bawa dia ke Menara Tengah,” perintah pria berwibawa itu. “Jangan sampai ia melarikan diri.”
“Hei! Aku bukan penjahat!” teriak Rania, tapi tak ada yang mendengarkan. Dalam hitungan menit, ia dibawa melewati lorong-lorong batu, menuruni tangga melingkar, hingga sampai di ruangan dengan dinding kaca dan lambang bintang di tengah lantainya.
Pangeran—begitu ia akhirnya tahu nama pria itu, Arven—menatapnya penuh selidik.
“Kau bilang kau dari taman. Taman mana? Di wilayah utara? Selatan?”
“Aku dari Jakarta! Tahun 2025! Aku... ini aneh. Tolong jangan bercanda. Tolong jangan culik aku juga.”
Arven menyipitkan mata. “Apa itu Ja-ka-rta? Negeri mana? Tidak ada kerajaan itu di peta Auralis.”
“Auralis?”
“Kerajaan ini,” jawabnya singkat. “Dan jika benar kau berasal dari masa depan... maka kau lebih berbahaya dari yang kukira.”
Rania menghela napas berat. “Tolong... kembalikan aku. Aku cuma salah pencet jam ini…”
Namun jam itu, benda yang tadi bersinar, kini gelap dan mati. Seolah waktu telah berhenti.
Dan Rania sadar, ia tak sekadar tersesat di istana asing.
Ia tersesat... di dalam takdir yang belum pernah ia kenal.