Makhluk berkepala dua itu akhirnya mulai bergerak menjauh, disusul oleh barisan Dread yang mengekor seperti bayangan kelam. Suara seret kaki dan desahan aneh dari mereka perlahan memudar seiring langkah yang membawa mereka lebih dalam ke gelapnya padang rumput.
Izagiri menunggu beberapa detik dalam keheningan yang terasa menyesakkan, hanya napas mereka yang terdengar di antara desir angin malam. Dengan perlahan, ia mengintip dari balik mobil rusak, memastikan bahwa tidak ada satu pun yang tertinggal. Sorot matanya tajam, penuh kehati-hatian, dan matanya yang biru terlihat mencerminkan cahaya remang bulan yang mulai menembus celah awan.
"Sepertinya mereka sudah pergi," bisiknya pelan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menurunkan ketegangan di dadanya, lalu menoleh pada Feona yang masih menggenggam lututnya, matanya lebar penuh ketakutan. Tanpa berkata apapun, Izagiri mengulurkan tangan.
Feona menatapnya sebentar, ragu, namun akhirnya menyambut tangan itu. Telapak tangan mereka bersentuhan—kecil, dingin, namun erat. Izagiri membantu Feona berdiri, menggenggam tangannya dengan tegas namun lembut.
"Ayo," ucapnya singkat.
Dan dalam sunyi yang menggantung, mereka kembali melanjutkan perjalanan, tangan mereka masih tergenggam, seolah menyatukan sisa-sisa keberanian yang mereka punya untuk menghadapi malam berikutnya yang tak pernah menjanjikan harapan.
Saat kaki Feona menginjak sesuatu, tubuhnya sempat oleng dan—krach!
Sebuah botol beling pecah menghantam aspal keras, suaranya menggaung tajam dan menusuk keheningan seperti lonceng kematian. Dunia seolah membeku satu detik, dan kemudian…
RRRAAARGHHHH!!
Suara geraman dan gemuruh langkah yang berat terdengar membelah kesunyian malam.
Izagiri langsung menoleh, matanya melebar. “Gawat,” desisnya cepat. “Ayo lari, Feona!”
Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan gadis itu dan mulai berlari. Nafas mereka memburu, sepatu mereka menjejak keras di aspal basah, menggema liar di tengah lorong jalanan terbuka. Di belakang mereka, suara langkah kaki yang menghentak—ratusan Dread yang berhamburan dalam gerakan liar dan mematikan. Suara desahan, pekikan, dan benturan tubuh dengan benda-benda di sekitar semakin mendekat.
Mereka tidak berani melihat ke belakang.
Hanya ada satu tujuan: bertahan hidup.
Dan di tengah malam yang penuh kengerian itu, dua anak kecil berlari seolah dunia menggantung di ujung napas mereka, dikejar oleh kematian yang tak pernah tidur.
Monster mutasi itu—Anomalies, begitu mereka dikenal—bergerak dengan kecepatan tak masuk akal. Meski tubuhnya merangkak, gerakannya tak kalah buas dari predator paling mematikan di bumi. Kakinya menjulur panjang seperti laba-laba, namun dipadukan dengan otot-otot binatang buas yang terus membengkak karena mutasi liar. Kepala bercabang dua itu terhuyung ke kiri dan kanan, mengeluarkan geraman garau yang seolah membelah udara malam.
Izagiri menoleh sesaat, cukup untuk melihat bagaimana Anomalies itu melibas bangkai mobil di belakang mereka hanya dengan satu gerakan brutal. Ia tahu mereka tak punya waktu.
Mereka melintasi jembatan sempit yang rapuh, dibawahnya sungai deras mengalir liar membawa puing-puing kota yang hancur. Tanpa ragu, Izagiri membuka tas selempangnya dan menarik sebuah botol kaca berisi cairan kental berwarna kuning keemasan. Bensin. Di mulut botol itu menjuntai seutas tali kain kusut—molotov rakitan.
Dengan tangan gemetar tapi mata penuh tekad, Izagiri menyalakan korek kecil yang sudah usang. Api menari di ujungnya, menggoyang-goyang seakan menantang kehancuran.
“Ikuti aba-abaku… dan jangan panik.” ucap Izagiri pelan namun tegas, pandangannya masih tertuju pada kawanan Dread yang mulai mendekat diikuti si monster raksasa yang terus menggeram.
Feona mengangguk cepat, tak mampu berkata-kata—matanya membulat, tubuhnya menggigil.
Ketika makhluk-makhluk itu hampir mencapai tepi jembatan, saat suara kaki mereka yang kasar dan nyaring mulai menggema lebih keras dari gemuruh sungai, Izagiri melempar molotov itu sekuat tenaga ke arah mereka.
BRAAAKHHH!!!
Botol itu menghantam tanah dan meledak dalam kobaran api. Api menyambar liar ke arah mobil-mobil terbengkalai yang penuh bensin. Dalam hitungan detik, nyala api membentuk gelombang panas yang menderu. Dread dan Anomalies menggeram, beberapa terbakar, tapi mereka tetap berusaha maju, gila dan haus darah.
Tanpa menunggu ledakan berikutnya, Izagiri memeluk Feona erat dan berkata pelan, “Pegangan.”
Lalu mereka melompat.
Tubuh mereka menghantam permukaan sungai yang dingin dan deras, tenggelam dalam arus yang menggila. Di atas sana, kobaran api menari seperti neraka yang terbuka, dan suara ledakan besar menghancurkan jembatan tua, mengubur semua jejak pengejar itu dalam lautan api dan puing.
Namun, dari balik kobaran api yang menggila dan puing-puing besi yang mencair, makhluk itu muncul kembali. Anomalies itu, terbakar di beberapa bagian tubuhnya, namun tidak melambat. Dengan dua kepala yang meraung parau dan tubuh yang sudah tak lagi terikat logika anatomi makhluk hidup, ia mengerahkan tenaga terakhirnya dan melompat dari jembatan, menembus udara malam seperti proyektil kengerian.
Insting predatornya menjerit. Di balik derasnya arus dan gelapnya malam, ia merasakan mangsanya. Tak melalui penglihatan atau pendengaran, tetapi dengan naluri kebinatangan yang telah dikuatkan oleh mutasi: bau ketakutan, jejak panas tubuh, dan sisa energi kehidupan yang tertinggal dalam pusaran air.
Sungai itu bukan penghalang. Tubuhnya yang menjijikkan dan kuat menghantam air, lalu mulai menyelam dan berenang, meski bentuknya tak dirancang untuk itu. Gerakannya tak beraturan namun tetap mengarah, seperti makhluk yang tidak mengenal lelah atau rasa sakit.
Arus yang deras menggoyangkan tubuh Izagiri dan Feona yang berusaha tetap mengambang. Nafas mereka tersengal, dingin menggigit, dan suara ledakan masih menggema samar dari kejauhan. Tapi suara suara geraman pelan, seperti cakar yang menyeret di dalam air, membuat bulu kuduk mereka meremang.
Izagiri membuka matanya, dan dalam air yang keruh ia melihat bayangan besar itu mendekat.
“Feona… jangan lihat ke belakang.” bisiknya pelan dengan nada nyaris putus asa. Air bukan tempat aman. Tidak lagi. Dan malam ini, mimpi buruk itu belum selesai.
Arus sungai membawa mereka hingga ke tepian sebuah air terjun yang tinggi, dan tanpa bisa menghindar, tubuh kecil mereka terhempas bersama derasnya aliran air. Cahaya bulan menyinari tubuh mereka yang melayang sejenak di udara, sebelum terjun bebas ke bawah, menghantam air dengan keras.
Tubuh Izagiri dan Feona terbanting ke bebatuan sungai yang dangkal. Rasa sakit membakar tulang mereka, namun Izagiri segera bangkit, menahan nyeri di sisi tubuhnya dan menyeret Feona ke tepian, ke tanah yang relatif aman di balik semak belukar.
Ia baru saja duduk, menarik nafas dalam-dalam, ketika sebuah suara mendesing dari balik kegelapan, diiringi derak ranting dan cipratan air yang keras.
Anomalies itu belum mati. Dari balik dinding air terjun, tubuhnya yang mengerikan muncul—terbungkus luka bakar, air sungai yang menetes dari pori-porinya yang terbuka, dan napasnya yang mendesis seperti binatang kelaparan.
Monster itu menerkam Izagiri. Cakar dan lengannya yang panjang menghantam, memaksa Izagiri jatuh ke tanah dan menahan serangan dengan kedua tangannya yang gemetar. Gigi tajam dari dua kepala itu meneteskan liur, begitu dekat hingga bisa mencium bau busuk dari tubuh makhluk itu.
"LARI, FEONA!!" teriak Izagiri dengan suara tertahan, menggertakkan giginya sambil menahan tangan makhluk itu agar tak menyayat wajahnya.
Feona berdiri membeku. Tangannya gemetar, tubuhnya menolak bergerak. Dalam pandangannya, waktu terasa melambat, suara raungan Anomalies itu bercampur dengan suara jeritan lama, suara ibunya yang dulu, saat mereka dibantai di depan matanya.
Matanya melebar. Air mata mulai jatuh. Kengerian hari ini telah membangkitkan kembali semua trauma yang belum sembuh. Ia melihat Izagiri, bocah seumurannya, yang rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya.
Tapi kakinya tak mau bergerak. Ia tidak ingin lari. Tidak seperti waktu itu. Tidak kali ini.
Izagiri menyeringai meskipun tubuhnya hampir remuk. "Bodoh sekali gadis ini!" gumamnya, setengah kesal, setengah kagum. Ia tahu Feona harusnya lari, menyelamatkan diri. Tapi dia kembali, menolak membiarkan dirinya menjadi penonton lagi dari tragedi.
Dengan kekuatan yang tersisa, Izagiri menghimpun tenaga dan mulai menendang perut makhluk itu—berulang kali. Tendangan itu tidak menghentikan Anomalies, tapi cukup mengganggu fokusnya. Kepala berkepala dua itu meraung, satu mengarah pada Izagiri, satu lagi mencari arah gangguan baru.
Dan saat itu juga—Feona muncul dari balik semak dengan mata yang gemetar tapi tekad membara. Ia menggenggam pisau kecilnya begitu erat hingga tangannya memutih. Dalam satu hentakan putus asa, dia berlari dan menusukkan pisau itu ke sisi leher Anomalies, tepat di bawah salah satu kepala yang berdenyut.
Jeritan makhluk itu mengguncang udara. Darah hitam memercik seperti kabut, lengket dan bau busuk menusuk hidung. Anomalies mengangkat tubuhnya, mengamuk liar, mencoba meraih Feona, tapi tusukan itu membuatnya kehilangan keseimbangan.
Feona menatapnya dengan napas memburu, matanya berlinang. Tapi dia tak mundur.
Izagiri melihat celah, dan dengan satu gerakan cepat, mengambil batu besar di sampingnya lalu menghantamkan ke sisi kepala makhluk itu.
Terdengar suara tulang retak. Anomalies itu meraung kesakitan dan terhuyung, lalu terjerembab ke tanah, menggelepar dalam kepanikan liar sebelum akhirnya diam.
Sunyi. Hanya suara air sungai, napas berat dua anak itu, dan bau kematian yang tertinggal di udara malam.
“Kukira kau akan melarikan diri,” ucap Izagiri dengan nada menggoda, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya di balik senyum tipis.
Feona tidak langsung menjawab. Ia mendekat, lalu memukuli pelan kepala Izagiri dengan kepalan kecilnya. “Bodoh… bodoh. Jangan sok jadi pahlawan, padahal kau masih cebol…” katanya dengan suara bergetar. Matanya memerah, berkaca-kaca, penuh kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Izagiri membeku sejenak. Ucapan Feona bukan sekadar omelan—itu adalah jeritan ketakutan, ketakutan akan kehilangan. Ia menatap wajah gadis itu, bingung, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Tenang saja aku—aduh, aduh duh sakit!” Izagiri mendadak meringis kesakitan, tangan kirinya langsung memegangi bahunya yang terasa nyeri dan mungkin terkilir.
Feona langsung terkejut. “Kau terluka! Kenapa nggak bilang dari tadi!?”
“Aku cuma… nggak mau kau tambah khawatir…” jawab Izagiri lirih, sedikit malu.
Feona mendesah kesal, tapi jelas raut wajahnya jauh dari marah. Ia jongkok di samping Izagiri, tangan gemetar saat hendak memeriksa luka itu. “Kalau kau mati… aku sendiri lagi…”
Izagiri tersenyum tipis, menatapnya lemah. “Aku nggak akan mati. Aku janji.”
Feona mengaitkan tangan Izagiri ke pundaknya, menopangnya perlahan sambil berjalan menyusuri aliran sungai yang dingin dan berbatu. Keduanya basah kuyup, tubuh mereka menggigil, namun langkah kaki terus melaju karena tak ada pilihan lain.
“Bantuan…” gumam Izagiri dengan suara serak, menahan nyeri di bahunya. “Nggak ada yang bisa diharapkan lagi ya… Bahkan militer menembak sipil sekarang.”
Feona menunduk, suaranya pelan tapi tajam. “Ya… tetanggaku juga… mereka ditembak. Waktu mereka berusaha lari, tentara bilang mereka terinfeksi.”
Sejenak hanya suara air sungai yang mengalir dan desiran angin malam yang terdengar.
Izagiri mengepalkan tangannya. “Padahal mereka cuma ingin hidup. Sekarang, semua yang tersisa cuma kita dan… ketakutan.”
Feona mengangguk pelan, matanya kosong namun basah. “Tapi… selama kita masih bisa bergerak, masih bisa berpikir… kita belum kalah, kan?”
Izagiri menoleh, tersenyum meski lelah. “Iya. Kita belum kalah. Dan aku nggak akan biarin kau sendirian di dunia yang udah gila ini.”
Feona menoleh cepat, menatap wajah Izagiri dalam diam. Ada harapan kecil di sana, yang menyala pelan… tapi cukup untuk membuat mereka terus melangkah.
Feona menoleh pelan, menatap wajah Izagiri dari samping yang pucat diterpa cahaya bulan samar. Napas mereka masih berat setelah pelarian panjang tadi, namun langkah kaki terus berjalan.
"Omong-omong... wajahmu seperti orang Asia. Kenapa kamu bisa di Eropa?" tanya Feona, suaranya terdengar ringan, tapi ada rasa ingin tahu yang tulus di baliknya.
Izagiri terdiam sejenak, seolah mengingat kembali sesuatu yang dalam. "Aku ikut kakekku," jawabnya pelan. "Ayahku meninggal saat dia jadi relawan militer. Dia nggak pernah pulang. Dan... ibuku meninggal waktu melahirkan aku."
Feona melirik cepat, tatapannya melembut. “Maaf…”
Izagiri hanya mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski samar. “Nggak apa-apa. Aku bahkan nggak sempat mengenal mereka. Tapi kakek selalu bilang… ayahku orang hebat. Dan ibuku, wanita paling kuat yang pernah dia kenal.”
Feona menggenggam lengan Izagiri lebih erat, diam-diam menguatkan genggaman itu seolah ingin berkata: Kamu nggak sendiri sekarang.
“Aku yakin mereka bangga padamu,” katanya lirih.
Izagiri menatapnya sekilas, lalu memandang ke depan. “Aku harap begitu… dan sekarang aku cuma ingin bertahan hidup. Kalau bisa… aku ingin membuat dunia ini sedikit lebih baik, meski cuma untuk satu orang.”
Feona tersenyum tipis, dan di tengah kehancuran dunia, percakapan kecil itu terasa seperti pelindung… yang menjaga mereka agar tetap waras.
Izagiri menatap Feona dengan penuh perhatian, langkahnya kini terasa lebih pelan, seperti sedang mencoba memahami kisah yang baru saja dibagikan. Pertanyaan berikutnya keluar begitu saja, lebih karena rasa ingin tahu daripada sekadar mencari percakapan.
"Kalau orang tuamu sendiri, asli Jerman?" tanya Izagiri, suaranya sedikit lebih rendah.
Feona mengangguk pelan, matanya menerawang ke depan, seperti kembali mengingat masa lalu yang gelap. "Ya, orang tuaku asli Jerman," jawabnya dengan suara yang mulai bergetar. "Saat aku sedang pergi menonton layar lebar di halaman, tragedi itu terjadi."
Izagiri memperlambat langkahnya, merasakan kepedihan dalam kata-kata Feona. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan lembut, berusaha tidak terlalu memaksa, meskipun rasa ingin tahunya besar.
Feona menatap tanah sejenak, berusaha mengontrol emosinya. "Saat itu, semuanya tiba-tiba kacau. Hujan deras, dan tiba-tiba suara teriakan, lalu ledakan. Aku hanya bisa berlari, tapi... semuanya sudah terlambat. Orang tuaku..." Ia berhenti sejenak, menghela napas. "Mereka tak sempat selamat."
Izagiri bisa merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata Feona, dan meskipun dirinya pun memiliki luka yang belum sembuh, ia tahu, dalam situasi seperti ini, kadang yang dibutuhkan hanyalah seseorang untuk mendengarkan.
"Sangat berat," ucap Izagiri, meresapi cerita itu. "Tapi kamu masih bertahan. Itu artinya, kamu lebih kuat dari yang kamu kira."
Feona hanya mengangguk, tak bisa menahan emosinya lebih lama. "Aku berusaha," jawabnya pelan. "Aku berusaha agar semua ini nggak sia-sia. Untuk mereka."
Izagiri tersenyum tipis, meskipun rasa sakit di tubuhnya belum hilang, ia merasa sedikit lebih ringan mendengar kata-kata itu. "Aku akan bertahan juga," katanya. "Bersama-sama."
Mereka terus berjalan, melintasi jalanan yang kosong, dengan satu tujuan: bertahan hidup, dengan harapan masih ada tempat di dunia yang bisa menyambut mereka suatu hari nanti.
Suasana yang semula tenang tiba-tiba terpecah oleh suara yang cukup keras—keroncongan perut Feona. Suaranya terdengar jelas di tengah keheningan, membuat gadis itu langsung menunduk, wajahnya memerah seperti tomat.
Izagiri, yang awalnya terkejut, tak bisa menahan tawa kecil. "Sepertinya perutmu juga nggak tahan sama keadaan ini, ya?" ujarnya sambil tersenyum.
Feona menundukkan kepala, memegang perutnya dengan canggung. "Sial, kenapa sekarang malah kayak gini..." gumamnya, mencoba menutupi rasa malunya.
Izagiri hanya tersenyum lebar, lalu mengedipkan matanya. "Tenang aja, aku punya makanan di tas." Ia merogoh tas selempangnya dengan sigap, mencari persediaan yang ia bawa.
Feona mendongak, sedikit terkejut. "Makanan?" tanyanya, matanya langsung bersinar. "Apa yang kamu bawa?"
Izagiri mengeluarkan beberapa bungkus makanan kaleng dan roti kering dari tasnya. "Nggak banyak, tapi cukup untuk bertahan beberapa waktu," jawabnya sambil memberikan satu bungkus kepada Feona.
Feona langsung menerima bungkus itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Izagiri," ucapnya, masih dengan wajah merah, tapi kali ini senyum di bibirnya sedikit terlihat.
Izagiri menyeringai. "Nggak masalah, aku juga lapar kok." Dia membuka bungkus makanan lainnya dan mulai makan dengan lahap. "Ini hanya sementara, kita harus terus bergerak."
Feona mengangguk, memulai untuk makan juga. Meskipun kondisi mereka tak pasti, setidaknya untuk saat ini, makanan itu memberi sedikit kenyamanan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, hal-hal kecil seperti ini menjadi lebih berarti.
Kemudian, dari celah pepohonan dan kabut yang mulai tersingkap, Izagiri melihat cahaya redup di kejauhan. Itu adalah cahaya kota—atau lebih tepatnya, puing-puing kota yang dulunya hidup dan penuh warna. Sekarang hanya menyisakan reruntuhan dan asap tipis yang membumbung ke langit pagi.
Fajar menyingsing perlahan, langit mulai menunjukkan semburat jingga dan merah muda. Di atas ketinggian bukit tempat mereka berdiri, keduanya bisa melihat panorama yang indah, namun menyimpan luka yang dalam. Sebuah pemandangan yang memadukan keindahan alam dan kehancuran buatan manusia.
"Sepertinya..." ujar Izagiri perlahan, matanya tajam menatap horizon, "bahkan sampai kita dewasa, kita akan menghadapi ini."
Feona menoleh, lalu kembali memandangi kota hancur itu. "Ya... kamu benar..."
Mereka tak berkata banyak. Dunia telah berubah, dan mereka pun mulai berubah. Tapi satu hal yang tak berubah, adalah kenyataan bahwa mereka masih anak-anak—yang dipaksa tumbuh dalam dunia yang sudah tak memberi ruang untuk masa kecil.
Perlahan, Izagiri mengulurkan tangannya. Feona menatapnya sejenak, sebelum menggenggam tangan itu erat. Tak ada janji yang terucap, tapi genggaman itu lebih kuat dari kata-kata manapun.
Dengan langkah pelan namun pasti, mereka melangkah menyusuri jalan setapak, menuruni bukit yang menuju ke masa depan yang tak pasti. Neraka di dunia ini belum usai, dan mereka tahu itu.
Namun, di umur mereka yang masih muda, mereka memilih untuk terus berjalan, terus hidup dan di sanalah kisah mereka bermula.
Sebuah kisah tentang luka, tentang harapan, tentang pilihan-pilihan yang akan mereka buat, dan tentang keberanian kecil yang tumbuh menjadi kekuatan besar. Dan siapa tahu... mungkin, suatu hari nanti, merekalah yang akan mengubah dunia ini.