Dalam keheningan malam, Izagiri menarik Feona ke dalam pelukannya. Keduanya larut dalam kehangatan, bibir mereka bertaut, dan lidah mereka bermain penuh kerinduan. Udara di sekitar mereka terasa manis, seakan waktu berhenti sejenak hanya untuk mereka.
Feona, dengan rambut pirang pendek sebahu yang berkilauan di bawah cahaya redup, mendekatkan diri lebih dalam. Matanya yang hijau bersinar lembut, penuh dengan perasaan yang tak terucap. Sementara itu, Izagiri, dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, memandangnya dengan sorot mata biru yang dalam, seolah tak ingin melewatkan sedetik pun momen ini.
Malam itu menjadi saksi keintiman mereka, sebuah detik di mana dunia seolah hanya milik berdua.
Udara malam terasa hangat, seakan ikut bernafas bersama mereka. Izagiri menatap Feona dengan mata birunya yang gelap, penuh dengan hasrat yang tak lagi bisa dibendung. Jari-jarinya yang kasar namun lembut menyelusup di antara helai rambut pirang Feona, menariknya lebih dekat, seakan tak ingin ada celah sekalipun yang memisahkan mereka.
Feona membalasnya dengan desahan ringan, tangannya meraba punggung Izagiri, merasakan setiap otot yang tegang karena menahan diri terlalu lama. "Aku sudah menunggu ini," bisiknya di antara ciuman yang semakin dalam, suaranya serak oleh keinginan yang tak terbantahkan.
Tubuh mereka saling mempelajari, setiap sentuhan seperti percakapan tanpa kata—sebuah bahasa yang hanya mereka pahami. Izagiri tidak terburu-buru; setiap jilatan, gigitan lembut, atau genggaman di pinggang Feona terasa seperti pengakuan. Ini bukan hanya nafsu, pikirnya. Ini tentang semua rasa yang terpendam, semua momen di mana mereka hampir menyerah, hampir menyentuh, tapi akhirnya menahan diri.
Dan malam ini, mereka tidak menahan diri.
Feona mengalun pelan di bawahnya, kulitnya bersentuhan dengan Izagiri dalam gerakan yang sempurna. Setiap tarikan nafas, setiap erangan yang terlepas, adalah pelepasan. Mereka saling mengisi, saling mengklaim bukan sebagai kepemilikan, tapi sebagai pengakuan bahwa inilah tempat mereka seharusnya berada.
Ketika puncak itu tiba, Izagiri menatap mata hijau Feona, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa utuh.
Malam terus bergulir dalam keheningan yang hanya diisi oleh napas mereka berdua. Dalam pelukan yang begitu erat, tubuh mereka bersatu, bukan hanya secara fisik, tapi juga jiwa dan rasa. Feona menggenggam Izagiri lebih erat, seolah tak ingin membiarkannya pergi, seakan malam itu harus menjadi milik mereka sepenuhnya.
Tatapan matanya yang bersinar di bawah cahaya remang-remang begitu dalam, pipinya masih merona, dan di leher serta bahu Izagiri tampak jejak-jejak kecil dari cinta yang penuh gairah.
“Kau harus bertanggung jawab,” ucap Feona sambil tersenyum lembut, suaranya pelan namun penuh makna. Ia menyembunyikan wajahnya di dada Izagiri, merasakan hangatnya denyut jantung pria yang ia cintai.
Izagiri hanya mengelus rambutnya, tak berkata apa-apa, namun tatapan matanya menegaskan satu hal, ia memang akan bertanggung jawab, tidak karena terpaksa… tetapi karena ia memang mencintainya sepenuhnya.
Pagi itu terasa hangat, meski udara masih menggigit dingin sisa malam. Izagiri perlahan membuka matanya, duduk perlahan di atas kasur, menggosok kedua mata dengan malas. Rambut hitamnya berantakan, sebagian menjuntai ke dahinya, menambah kesan baru bangun yang jelas terlihat dari sorot mata birunya yang redup.
Ia menoleh ke arah cermin kecil di sudut kamar, lalu mengamati pantulan dirinya. Lehernya dipenuhi tanda-tanda kemesraan semalam—bekas gigitan cinta yang terlihat jelas di kulit pucatnya. Ia mengangkat bahunya sedikit, mendekatkan wajahnya ke cermin sambil mengusap bekas-bekas itu pelan dengan jemari.
“Feona benar-benar memberikanku banyak gigitan cinta,” gumamnya pelan, nada suaranya setengah geli, setengah pasrah.
Di sampingnya, Feona masih tertidur lelap. Selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya, sementara rambut pirang keemasannya berantakan, terurai di atas bantal dan sebagian lagi menutupi wajahnya. Nafasnya teratur, damai, seolah tak terganggu oleh dunia.
Izagiri menoleh padanya, tersenyum kecil.
“Jahat sekali kau, membuatku seperti ini…” bisiknya lirih, lalu dengan hati-hati ia menarik selimut sedikit menutupi tubuh Feona, sebelum kembali bersandar dan menikmati pagi yang masih malas itu.
Suara pintu kamar yang terbuka perlahan memecah keheningan pagi.
Cklek...
Cessia masuk dengan ekspresi serius, membawa map misi di tangan, bersiap menyampaikan sesuatu yang penting. Namun langkahnya terhenti mendadak di ambang pintu, dan mata ungunya membelalak kaget.
Apa yang dia lihat benar-benar membuatnya membeku sesaat.
Izagiri duduk di atas ranjang, hanya berselimut seadanya, rambutnya masih berantakan, dan tubuhnya dipenuhi tanda-tanda... bekas cinta. Sementara di sampingnya, Feona masih tertidur, juga dalam kondisi yang sama—kacau, acak-acakan, dan hanya tertutup sebagian selimut.
Seluruh atmosfer kamar memancarkan aroma yang... jelas bukan dari parfum biasa.
Cessia tercekat. Wajahnya memerah seketika, campuran syok, jengkel, dan—entah kenapa—sedikit iri mulai naik ke wajahnya. "A-Aku... Aku pikir ini urusan misi penting..." katanya terbata-bata, mencoba tidak menatap langsung tapi jelas sudah terlambat.
Izagiri mengangkat alis santai, menoleh setengah lesu, lalu menyunggingkan senyum malas.
"Ah... pagi, Cessia. Kau datang lebih pagi dari dugaan."
Cessia memalingkan wajahnya buru-buru. "K-Kenapa kalian... dan di jam segini... AARGH! Sudah, aku tunggu kalian di ruang misi! Pakai baju kalian!"
Dengan cepat dia menutup pintu keras-keras dan langkah sepatunya menjauh cepat, meninggalkan keheningan yang kembali turun di kamar.
Izagiri menghela napas, lalu melirik Feona yang mulai terbangun dengan wajah bingung, rambutnya menutupi sebagian mata.
“Ada apa?” gumam Feona setengah sadar.
“Cessia,” jawab Izagiri singkat. “Dan dia melihat semuanya.”
Feona mendesah pelan. “Yah... setidaknya sekarang dia tahu siapa yang paling mencintaimu.”
Pagi itu, mentari menembus celah tirai jendela dan menyapa kamar mereka dengan kehangatan lembut. Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian santai, Izagiri dan Feona memulai pagi dengan suasana yang begitu tenang dan penuh kedekatan.
Feona mengenakan atasan ringan berwarna krem dan celana pendek yang nyaman, rambut pirangnya masih agak basah namun terlihat cantik terurai ke belakang. Ia berdiri di dapur kecil mereka, sibuk menyiapkan sarapan sederhana, beberapa telur, roti panggang, dan susu jahe hangat, favoritnya. Aroma kentang goreng yang baru saja digoreng pun memenuhi ruangan, membuat udara pagi menjadi lebih akrab dan menghangatkan hati.
Sementara itu, Izagiri, yang mengenakan kaus longgar dan celana hitam santai, hanya memperhatikannya dari belakang selama beberapa saat. Pandangannya lembut, mata birunya sedikit menyipit karena sisa kantuk, namun senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia berjalan perlahan dan kemudian, tanpa berkata sepatah kata pun, memeluk Feona dari belakang.
Pelukan itu tenang, tidak tergesa. Tangan Izagiri melingkari perut Feona, menariknya lebih dekat seakan tak ingin melepaskannya. Feona sempat terkejut sedikit, namun langsung mengendurkan bahunya dan tersenyum, membiarkan dirinya bersandar ke tubuh hangat Izagiri.
“Pagi,” gumam Izagiri dengan suara serak khas bangun tidur, wajahnya menyentuh bahu Feona.
“Pagi juga, hmm... kau suka sarapan buatan putri tidurmu?” jawab Feona sambil tetap fokus membalik roti di wajan, senyum lembutnya muncul dari nada suaranya.
“Kalau kau yang buat, rasanya pasti seperti sarapan di surga para dewa,” bisik Izagiri sambil mempererat pelukannya.
Dan pagi itu, meski dunia di luar sana keras dan penuh ketidakpastian, di dalam ruangan kecil itu, hanya ada ketenangan, kehangatan, dan dua hati yang saling terikat tanpa harus mengucapkan banyak kata.
Setelah sarapan yang hangat dan penuh tawa kecil, Izagiri dan Feona berangkat menuju pusat komando di markas GCO. Jalanan pagi masih tenang, beberapa prajurit dan staf terlihat lalu lalang, namun suasananya jauh dari hiruk pikuk. Udara sejuk menyelimuti kota markas, dan langkah mereka terasa ringan.
Setibanya di kantor Cessia, mereka langsung masuk tanpa basa-basi, seperti sudah terbiasa. Ruangan itu masih sama seperti biasanya—rapi, dipenuhi berkas-berkas tertata rapi di rak, dan aroma kopi yang entah mengapa selalu tercium tiap kali mereka datang.
Izagiri, seperti kebiasaannya yang khas dan penuh percaya diri, langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang di sisi tamu dan mengangkat salah satu kakinya ke atas meja tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tatapannya malas namun tajam, seolah berkata: “Apa kali ini lagi yang kau punya untukku, Cessia?”
Feona, dengan anggun, duduk di samping Izagiri. Tidak seperti pria di sebelahnya, Feona duduk dengan sopan, kaki disilangkan rapi, kedua tangannya berada di pangkuan. Meskipun sikapnya terlihat manis, mata emasnya tetap waspada, memperhatikan setiap gerak dan situasi.
Cessia, yang saat itu sedang menata dokumen, melirik ke arah mereka dari balik meja kerjanya. Tatapannya penuh campuran antara lelah dan pasrah, ia sudah terbiasa dengan gaya Izagiri yang tidak pernah benar-benar menunjukkan rasa hormat pada protokol, namun entah kenapa, itu juga yang membuatnya sulit memarahinya.
"Jadi," gumam Cessia sambil menutup map terakhir dan menyandarkan punggung ke kursinya. "Kalian sudah siap menerima misi baru, atau masih dalam mode bulan madu?"
Izagiri hanya tersenyum malas. Feona menggigit ujung bibirnya, menahan tawa, sementara suasana dalam ruangan itu dipenuhi dinamika khas mereka, nyantai tapi tajam, seperti keluarga aneh yang saling memahami dengan cara mereka sendiri.
Setelah meneliti peta lebih rinci, mereka menyadari bahwa pulau tersebut bukan hanya sekadar daratan kosong. Ada beberapa desa terpencil tersebar di dalamnya, tampak sepi namun masih utuh dari udara. Jalur utama menuju lokasi bunker berada di sisi selatan pulau, namun ada dua pilihan untuk masuk: lewat laut atau melalui jalur darat dari salah satu desa.
Namun, badai besar sedang melanda perairan di sekitar pulau. Ombak menggulung setinggi bangunan, dan kapal mana pun yang mencoba mendekat akan dihancurkan dalam hitungan menit. Melalui laut adalah misi bunuh diri.
"Jadi jalur laut bukan pilihan," gumam Izagiri sambil menyipitkan mata ke arah bagian bawah peta yang menggambarkan pantai berbatu.
Feona menunjuk ke desa terdekat di sisi timur laut. “Kalau kita masuk dari desa ini, kita bisa menyamar. Setidaknya sampai kita tahu siapa yang mengendalikan tempat ini sekarang.”
Izagiri mengangguk. Lalu, ia menoleh ke arah Cessia.
“Berapa orang yang akan ikut kami?” tanyanya datar, seperti sedang bersiap menerima daftar nama panjang.
Namun Cessia hanya menatap mereka tanpa ekspresi, lalu menjawab tenang, “Hanya kalian berdua.”
Feona melirik Cessia, seakan ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Tidak ada pasukan? Tidak ada pengawalan?”
Cessia menutup map dan menyilangkan tangan. “Semakin sedikit orang yang tahu, semakin besar peluang kalian bertahan hidup. Ini bukan misi invasi. Ini penyelidikan rahasia. Kalian masuk, temukan dokumennya, dan keluar tanpa membuat keributan.”
Izagiri menghela napas, lalu menyeringai. “Seperti biasa... kita berdua lagi yang ditugasi mengurus urusan dunia, ya?”
Feona tersenyum kecil. “Ya, tapi kalau kita hanya berdua, berarti tidak perlu berbagi makanan.”
Cessia menahan tawa kecil, lalu memberikan kunci dan akses data di dalam drive kecil. “Berangkatlah saat matahari tenggelam. Dan Izagiri... Feona... hati-hati. Jika desa itu masih hidup, kemungkinan besar... mereka tidak akan suka dikunjungi orang luar.”
Langit malam akan menjadi tirai misi baru mereka. Dengan hanya satu sama lain untuk diandalkan, mereka akan melangkah ke pulau yang bisa mengungkap, atau menghancurkan, kebenaran dunia.
Saat malam akhirnya menelan langit dan cahaya bulan menyelinap di balik awan, Izagiri melangkah keluar dari barak dengan langkah ringan namun penuh kewaspadaan. Ia mengenakan kaos hitam lengan panjang yang pas di tubuh, celananya dilengkapi dengan banyak saku taktikal. Beberapa perlengkapan vital tergantung di pinggangnya—granat asap mini, pelacak frekuensi rendah, dan alat peredam suara tubuh, teknologi canggih yang mereka gunakan untuk mengecoh deteksi Dread dan Anomalies yang sensitif terhadap getaran dan suara.
Feona menyusul beberapa menit kemudian, mengenakan atasan lengan pendek yang dilindungi jaket kulit tebal berwarna cokelat gelap. Meski ringan dan fleksibel, jaket itu dibuat khusus dengan bahan anti-gores dan tahan suhu ekstrem. Sama seperti Izagiri, ia membawa perlengkapan taktis yang tergantung rapi di sabuk pinggang—alat komunikasi senyap, pisau lipat berdampak kejut, dan satu unit kecil yang dapat mengacaukan sinyal makhluk berbasis bioenergi.
Keduanya berjalan beriringan, langkah mereka tidak terburu-buru tapi terlatih, menyatu dengan kesunyian malam. Lampu-lampu landasan helikopter berkedip pelan di kejauhan, dan suara baling-baling yang mulai berputar lembut menjadi nada latar saat mereka mendekat.
Pilot yang sudah menunggu hanya memberi anggukan singkat. Pintu samping terbuka dan terpaan angin dingin menyambut mereka.
Izagiri menaiki helikopter terlebih dahulu, menaruh ransel taktisnya dan duduk di samping jendela. Feona menyusul, duduk di sampingnya tanpa berkata-kata, hanya menatap langit malam dengan sorot mata penuh kesiapan.
Cahaya di dalam helikopter redup. Ketika mesin mulai meraung dan baling-baling memecah keheningan malam, Izagiri menoleh pada Feona, senyumnya tipis namun hangat.
"Sudah siap untuk menghadapi pulau kematian?"
Feona menyeringai kecil, matanya tajam menatap ke depan. "Selama bersamamu, aku selalu siap."
Dan helikopter pun lepas landas, membawa mereka menembus langit malam menuju misteri besar yang tersembunyi di pulau Amerika yang telah lama terlupakan.
Setelah delapan belas jam terbang melintasi samudra dan badai elektromagnetik yang samar, helikopter mereka akhirnya melambatkan laju di atas kawasan perbukitan pinggiran pulau yang dikelilingi oleh kabut tipis dan hawa mencekam. Langit sudah mulai gelap, menandakan malam kedua segera datang.
Rotor helikopter berputar cepat, tetap melayang rendah tanpa benar-benar menyentuh tanah. Tanah terlalu tidak stabil dan berbahaya untuk pendaratan, ditambah vegetasi di bawah terlalu rapat dan bisa mengganggu mesin. Pilot memberi isyarat dengan gerakan tangan cepat — waktu mereka untuk turun hanya sekitar tiga puluh detik.
Izagiri bangkit terlebih dulu, memasang kembali masker taktisnya, lalu meraih tali pengaman yang sudah disiapkan di sisi pintu. Dengan satu lompatan sigap, ia menuruni tali dan mendarat mulus di tanah berlumut.
Feona mengikuti tanpa ragu. Rambut pirangnya berkibar tertiup angin baling-baling saat dia turun, jaket kulitnya berderak halus saat tubuhnya mendarat tepat di sebelah Izagiri. Mereka saling bertukar pandang sejenak, kemudian menatap ke arah hutan lebat yang terbentang di depan mereka—tempat desa awal yang harus mereka lewati tersembunyi di balik vegetasi misterius itu.
Helikopter mulai naik kembali, suara mesinnya perlahan menjauh dan menghilang di balik awan. Kini, hanya suara burung malam dan desir angin yang menyambut mereka. Sunyi. Namun terasa tidak alami.
Feona menyesuaikan sarung senjatanya, lalu menatap ke arah Izagiri. "Kita benar-benar sendiri sekarang."
Izagiri mengangguk pelan, matanya mengawasi lingkungan sekitar. "Dan itu berarti, tidak ada tempat untuk salah langkah."
Mereka mulai bergerak maju, menyusuri jalan setapak samar yang nyaris tersembunyi oleh semak dan akar pohon tua. Di balik keheningan malam, pulau itu seakan mengamati mereka diam, namun penuh rahasia.
Langkah kaki mereka menyusuri tanah becek yang dipenuhi dedaunan basah. Udara dingin menggigit kulit, dan aroma tanah lembap bercampur samar dengan bau asap kayu. Di tengah hutan yang senyap, mereka melihat sebuah rumah kayu besar berdiri seperti penjaga tua di tengah kesunyian. Dari balik jendela, cahaya lampu menyala temaram, berkelap-kelip seperti nyala api yang lelah.
Izagiri mengangkat tangan dan mengetuk pintu depan—pelan, namun tegas. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan dari dalam. Hanya gemerisik pepohonan dan detak jantung yang terasa lambat namun berat.
Dengan isyarat kepala, Izagiri dan Feona bergerak perlahan masuk, menyelinap melewati pintu yang tak terkunci. Suasana di dalam rumah terasa hampa dan berat. Lantai kayu yang mereka pijak berderit, dan dinding-dindingnya penuh debu serta bercak hitam yang tampak seperti bekas jelaga.
Di ruang utama, terlihat seorang wanita berdiri membelakangi mereka, tepat di depan api unggun kecil yang menyala dalam tungku batu. Bayangannya menari-nari liar di dinding, mengikuti irama nyala api.
"Hei, nyonya... apa kau pemilik rumah ini?" tanya Izagiri pelan, mendekat beberapa langkah.
Wanita itu perlahan menoleh.
Wajahnya... bukan wajah manusia. Kulitnya robek-robek, mata kanannya nyaris copot, dan darah menetes dari celah bibir yang sobek. Tidak ada ekspresi selain kehampaan yang mengerikan. Lalu, kreeek—sebuah suara menyeramkan terdengar saat kepalanya mulai terbelah dari atas, membuka seperti kelopak bunga neraka.
Dari dalamnya muncul sesuatu yang lebih mengerikan—tiga bagian mulut dengan ratusan taring kecil, bergerak dan mengeluarkan cairan lendir kental. Lidah merah menjulur keluar, berdenyut cepat seperti mengendus mangsanya.
"Anomalies, atau Dread?" gumam Feona cepat, langsung mengangkat pistol dan membidik, tatapannya tajam namun tetap tenang.
Namun sebelum peluru pertama sempat dilepaskan, Izagiri melesat secepat kilat. Dengan satu pukulan telak, tinjunya menghantam wajah monster itu. Tubuh makhluk itu terlempar ke belakang, menghantam tungku api dan jatuh tepat ke dalam kobaran.
Api unggun langsung membesar, membakar daging dan rahang mengerikan itu. Suara jeritan makhluk itu menggema singkat, lalu lenyap menjadi suara retakan kayu yang terbakar.
Feona melirik ke arah Izagiri, lalu berkata pelan, "Itu bukan manusia... dan mungkin kita tidak sendiri di sini."