Cherreads

Chapter 5 - Chapter 5

Setelah dua jam perjalanan yang penuh keheningan, helikopter akhirnya menembus langit mendung dan mendarat di landasan markas G.C.O, sebuah kompleks militer berteknologi tinggi yang tersembunyi di balik pegunungan terpencil.

Pintu helikopter terbuka, dan Izagiri turun lebih dulu, diikuti oleh Feona. Debu berterbangan diterpa angin dari baling-baling, namun tatapan mata para prajurit G.C.O yang menunggu di bawah jelas: hormat, kagum, dan sedikit lega.

Para prajurit berdiri membentuk barisan, memberi jalan bagi dua sosok yang telah dikenal sebagai Reaper dan Silent Killer. Julukan yang bukan sekadar gelar, melainkan pengakuan dari darah dan pengalaman di medan terburuk.

Salah satu perwira mengangguk menghormati.

“Reaper. Silent Killer. Kalian kembali lagi... dan masih berdiri. Luar biasa.”

Feona hanya melempar senyum tipis sambil membersihkan sedikit darah kering dari sarung tangannya. Izagiri, seperti biasa, tidak menunjukkan banyak ekspresi. Tapi langkah mereka mantap, penuh wibawa.

Mereka berjalan melewati barisan itu, menuju pusat komando, dengan suasana berat yang tak bisa dibohongi, karena mereka tahu, misi berikutnya… pasti lebih gila dari sebelumnya.

Ruangan Cessia dipenuhi cahaya lembut dari layar hologram yang melayang di tengah ruangan. Aroma kopi dan minyak senjata samar tercium di udara. Cessia duduk di balik meja kerjanya, dengan kacamata setengah turun di hidung dan ekspresi santai, seakan tak terjadi apa-apa.

"Selamat datang," ucapnya singkat tanpa menoleh, jemarinya masih menari di atas keyboard transparan.

Izagiri melangkah masuk tanpa bicara, langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan meletakkan kakinya di atas meja tanpa rasa bersalah. Matanya menatap tajam ke arah Cessia, sementara aura tak puas memancar dari wajahnya.

"Bajingan kau menyembunyikan informasi terkait Reaver Maw yang bisa berkelompok," ucap Izagiri, suaranya datar tapi berisi ancaman dingin.

Feona, yang berdiri di belakangnya, hanya menghela napas. Ia duduk di samping Izagiri dan mulai mengelus kepalanya dengan lembut, seolah meredam api dalam dadanya. Sentuhan lembut itu cukup membuatnya menahan diri, meski sorot matanya masih menusuk ke arah sang profesor.

Cessia akhirnya menoleh, senyum licik muncul di wajahnya. "Ya, karena aku tahu," katanya pelan, "tanpa diberitahu pun... kalian tetap pulang dengan selamat."

Ia lalu menyesap kopinya dengan tenang. "Dan memang itu yang membuat kalian istimewa... bukan begitu, Reaper dan Silent Killer?"

Izagiri mendengus pelan, masih menatap Cessia dengan pandangan tidak suka. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu... wanita ini tidak hanya manipulatif, dia juga percaya pada kemampuan mereka. Dan itulah kenapa mereka selalu dikirim ke misi neraka.

Cessia melangkah pelan menuju rak buku di sisi ruangan, tangannya mengambil sebuah buku catatan tebal berisi dokumen-dokumen penting terkait operasi terakhir. Wajahnya masih tenang, setenang biasanya, tatapan tajam dan tak terbaca, seperti pemimpin yang selalu memegang kendali.

Namun dalam hitungan detik, suara kresak! dari sobekan kain mengisi ruangan. Cessia berhenti, tubuhnya kaku. Ia menoleh perlahan ke arah Izagiri, yang kini berdiri di depan meja, memegang potongan kain dengan emblem G.C.O. yang baru saja disobek dari lengan bajunya.

Tanpa berkata-kata, Izagiri meletakkan emblem itu di atas meja dengan gerakan tenang, namun tegas. Matanya menatap lurus ke arah Cessia.

"Mulai sekarang, aku pensiun," ucapnya datar, seakan pernyataan itu hanyalah kesimpulan dari seluruh kebusukan yang sudah ia endus terlalu lama.

Cessia membelalakkan matanya, dan kali ini ekspresinya retak. Napasnya tertahan. Buku catatan di tangannya jatuh ke lantai, menimbulkan suara dug! yang keras namun jauh lebih kecil dibanding hantaman keputusan Izagiri barusan.

"Izagiri... kau tak bisa sembarangan memutuskan ini..." ucapnya nyaris tergagap, ketenangan yang biasanya menyelimutinya kini luluh oleh rasa panik yang tak bisa ia sembunyikan.

Tapi Izagiri tidak menoleh. Ia berjalan menjauh dari meja, bahunya tenang namun punggungnya penuh ketegasan. Feona, yang sejak tadi duduk diam, ikut berdiri. Ia memandang Cessia sejenak, sebelum menyusul Izagiri tanpa sepatah kata pun.

Dan dalam sunyi yang menggantung, Cessia menyadari satu hal: kehilangan mereka... adalah kekalahan yang tidak bisa ia pulihkan dengan data, strategi, atau amarah.

Untuk pertama kalinya, Cessia takut, bukan karena misi yang gagal, tapi karena kehilangan seseorang yang tidak pernah tunduk... bahkan pada dunia yang hancur sekalipun.

Saat tangan Izagiri menyentuh gagang pintu logam dingin itu, dan Feona berdiri satu langkah di belakangnya, suara Cessia terdengar dari balik meja — tenang, namun penuh tekanan emosi yang terbungkam.

"Tunggu dulu..."

Langkah mereka terhenti. Tak ada yang berbicara sesaat, hanya suara desiran pendingin udara dan denyut ketegangan yang menggantung di udara. Cessia berdiri, tangannya mengepal di sisi tubuh.

"Apa alasannya? Kalian berdua... pergi seperti ini setelah semua yang sudah kalian lakukan?"

Izagiri menoleh setengah, hanya separuh wajahnya terlihat, dan mata yang memandang ke arah Cessia itu dingin namun jujur.

"Kami tidak pergi sepenuhnya. Kami hanya pensiun dari status prajurit aktif," ucap Izagiri santai. "Kami cuma mau menjalani hidup... sedikit lebih bebas. Santai. Jadi ya, anggap saja kami honorer—dipanggil kalau dibutuhkan."

Feona tersenyum kecil, mengangguk setuju.

"Lagipula... paman Riguard sudah tiada," lanjut Izagiri dengan suara sedikit berat. "Tidak ada lagi jasa yang harus kami balas."

Kata-kata itu menampar sunyi dalam ruangan itu. Nama Riguard membawa memori yang mendalam — pria yang menyelamatkan mereka dari reruntuhan dua belas tahun lalu, sosok yang seperti ayah bagi Izagiri dan Feona, sekaligus alasan kenapa mereka mau tunduk pada sistem G.C.O.

Cessia terdiam. Bahunya melemas sedikit, dan untuk pertama kalinya dia tak punya balasan yang cerdas. Karena jauh di dalam dirinya, ia tahu… mereka benar.

Izagiri membuka pintu, dan sebelum meninggalkan ruangan, dia menoleh sebentar.

"Kalau kalian butuh kami, cukup kirim sinyal... asal jangan menipu lagi."

Sebelum pintu benar-benar tertutup, Izagiri berhenti sejenak dan menoleh, menatap Cessia yang masih berdiri di belakang mejanya.

Dengan nada santai namun penuh makna, ia berkata,

"Hari ini kau senggang?"

Cessia mengernyitkan dahi sedikit, tidak mengira akan ditanya seperti itu. "Ya… memangnya kenapa?"

Senyum nakal terukir di wajah Izagiri.

"Kau ada hutang untuk berkencan denganku, nona."

Sekejap, wajah Cessia yang biasanya dingin dan tenang memerah seperti lampu peringatan. Ia terdiam, menahan gelombang rasa malu yang naik ke pipinya. Tapi tanpa menunduk harga diri, ia menjawab cepat:

"Yasudah! Segera bersiap!"

Feona yang berdiri di sebelah Izagiri langsung cemberut, lalu dengan cepat mencubit pinggang Izagiri cukup keras.

"Ow—ow! Feona, itu sakit banget!"

Feona mendengus pelan sambil berbisik, "Dasar gatal..."

Tapi matanya mengandung sedikit senyum yang tak bisa disembunyikan. Karena meski dia kesal, ia tahu... ini Izagiri. Lelaki yang selalu membuat hidup penuh kejutan dan sedikit kekacauan manis.

Dan pintu pun tertutup, membawa serta tawa kecil yang mulai pecah di antara mereka. mereka menuju ruang ganti pakaian.

Di dalam ruang ganti yang remang dan sunyi, Izagiri dan Feona mulai berganti pakaian. Feona, tanpa rasa sungkan, melepas perlengkapan tempurnya satu per satu. Tubuhnya yang penuh bekas luka namun tetap anggun tampak jelas dari belakang.

Izagiri yang sedang melepas bajunya sempat menoleh, dan matanya terpaku sesaat pada sosok Feona. Garis tubuhnya yang kuat namun feminin, siluetnya dalam cahaya samar, membuat jantung Izagiri berdegup sedikit lebih cepat.

Namun segera ia menyadarkan diri. Ia membuang wajah ke arah lain dengan cepat, menarik napas dalam-dalam dan bergumam pelan,

"Fokus, bodoh..."

Ia pun buru-buru mengganti pakaiannya, mencoba mengabaikan denyut aneh di dadanya. Sementara Feona hanya melirik sebentar ke arah Izagiri, lalu tersenyum kecil, seolah menyadari tapi tak mengatakan apa-apa.

Keheningan di antara mereka terasa ringan… namun dipenuhi ketegangan yang tak terucap.

Setelah selesai berganti pakaian, Feona kembali ke kamar pribadi mereka—kamar yang sudah mereka tempati bersama sejak lama, meski tidak pernah secara terang-terangan dibicarakan. Kamar itu hangat, rapi, dan penuh jejak keakraban: dua cangkir kopi favorit, jaket Izagiri yang tergantung di sisi tempat tidur, dan sisir rambut Feona di meja sudut.

Feona meletakkan perlengkapannya, lalu duduk di ujung ranjang. Pandangannya kosong sesaat, sebelum dia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ada rasa yang menggantung di dada… bukan marah, bukan kecewa, hanya... sepi yang aneh. Dia tahu Izagiri tidak langsung pulang hari itu. Hari ini... hari di mana Izagiri menepati janji kencannya bersama Cessia.

Feona menatap langit-langit kamar, bibirnya mengerucut kecil.

"Dasar bodoh... malah ngajak kencan wanita lain di hadapanku," gumamnya pelan.

Tapi tak lama kemudian, ia tersenyum tipis—penuh kelelahan namun tulus. Ia tahu Izagiri... dia selalu menepati janji. Meskipun bukan padanya. Meskipun, di dalam dirinya, ada harapan kecil bahwa suatu hari... janji itu akan ditujukan hanya untuknya.

Dengan lirih ia berbisik,

"Pulanglah cepat… sebelum aku berubah pikiran dan menyusul kalian berdua."

Lalu ia menunduk, menutup matanya sejenak, membiarkan waktu berjalan sementara bayangan Izagiri tetap tinggal di sisinya.

Langit sore memerah lembut, menyinari jalan-jalan kota markas yang dipenuhi lampu neon redup dan aroma makanan dari kios-kios kecil di sepanjang trotoar. Meski kota itu tidak semewah kota besar zaman dahulu, namun untuk dunia yang kini porak-poranda oleh Anomalies dan kehancuran… tempat ini terasa seperti surga kecil yang masih bertahan.

Izagiri berjalan di sisi Cessia, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, langkahnya santai tapi penuh wibawa. Cessia, dengan rambut terurai dan pakaian kasual yang sangat berbeda dari seragam militernya, terlihat jauh lebih rileks—meski masih menyimpan kekakuan khas seorang komandan.

"Jadi... ini yang kau sebut kencan?" tanya Cessia dengan senyum menggoda, meskipun nada suaranya terdengar menahan malu.

"Yup. Kota kecil, makanan murah, dan kamu yang membayar," jawab Izagiri santai, tanpa menoleh.

Cessia mendecak pelan tapi tidak menolak. Mereka terus berjalan di antara keramaian kecil—pasangan prajurit yang saling mengenal dari darah dan perang, tapi hari itu mencoba melihat sisi lain dari satu sama lain. Bukan sebagai atasan dan bawahan, bukan sebagai instruktur dan eksekutor. Tapi hanya… dua manusia yang masih ingin tertawa dan menikmati dunia sebelum malam menelan semuanya.

"Aku tahu kamu masih marah soal Reaver Maw," kata Cessia akhirnya.

Izagiri tidak langsung menjawab, tapi pandangannya mengarah ke lampu jalan yang mulai menyala.

"Aku tidak marah... aku kecewa," ucapnya pelan, tapi tegas. "Tapi malam ini, aku hanya mau bersantai. Jadi lupakan itu."

Cessia tersenyum kecil, sedikit lega. "Baiklah... hanya malam ini."

Dan mereka pun terus berjalan, menelusuri jejak malam yang perlahan turun, sementara entah di mana, Feona menunggu, dan takdir masih menggenggam masa depan mereka dalam diam.

Malam mulai larut, dan kota markas kini diterangi oleh sinar lampu-lampu hangat yang memantul di jalanan basah sisa hujan gerimis tadi. Suasana sudah jauh lebih sepi dibandingkan sebelumnya, hanya tersisa suara langkah kaki dan angin lembut yang menyapu pelan.

Setelah mengantar Cessia kembali ke kediamannya, Izagiri sempat melambaikan tangan santai, namun tiba-tiba—

Chu.

Sebuah ciuman ringan mendarat di pipinya.

Izagiri terdiam sesaat. Cessia hanya tersenyum jahil dan melenggang pergi seolah tak terjadi apa-apa.

"...Orang gila," gumam Izagiri sambil menyentuh pipinya, lalu berbalik arah dengan langkah berat dan kepala sedikit tertunduk, entah karena kelelahan... atau karena merasa sedikit malu.

Tapi sebelum pulang ke kamarnya, dia masih sempat mampir ke kios makanan favorit Feona. Dia membeli kentang goreng dengan bumbu khas kota markas—renyah dan gurih, lalu dua botol susu jahe hangat yang dikemas rapi dalam botol kaca.

“Ini pasti bikin dia senang,” ucap Izagiri pelan sambil menenteng kantong makanan, matanya mengarah ke arah kompleks hunian tempat dia dan Feona tinggal.

Di balik tatapannya yang dingin dan langkah yang tegas, ada sisi lembut yang hanya ditunjukkan pada mereka yang benar-benar penting baginya. Dan malam itu, sebelum tidur... dia hanya ingin melihat satu senyuman hangat dari gadis yang selalu bersamanya melewati neraka, Feona.

Saat Izagiri membuka pintu kamar dengan pelan, aroma kentang goreng hangat dan susu jahe memenuhi udara. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya lembut dari sudut ruangan.

Feona terlihat meringkuk di atas tempat tidur, selimut setengah menutupi tubuhnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan napasnya masih berat—tanda baru saja tertidur nyenyak. Namun suara pintu yang tertutup pelan membuat matanya perlahan membuka, kelopak matanya masih berat.

Izagiri menaruh kantong makanan di meja kecil lalu melirik ke arahnya dengan senyum nakal.

“Selamat pagi, putri tidur,” ucapnya ringan, menggoda, sambil duduk di sisi ranjang.

Feona berkedip beberapa kali, masih setengah sadar, lalu menguap kecil sambil menarik selimut menutupi wajahnya, suaranya terdengar manja dari balik kain, “Kau pulang juga akhirnya… Hm… baunya enak…”

“Kentang goreng dan susu jahe, spesial untukmu,” kata Izagiri sambil membuka kantongnya.

Feona perlahan duduk, matanya berbinar meski wajahnya masih tampak ngantuk. "Aku selalu suka saat kau pulang bawa makanan…" gumamnya pelan, lalu bersandar pada bahu Izagiri tanpa malu.

Malam itu, dunia mungkin masih kacau… tapi dalam kamar kecil itu, kehangatan sederhana hadir dalam bentuk makanan hangat, tawa kecil, dan kebersamaan yang tak tergantikan.

Izagiri terkejut saat Feona mendekat dengan tatapan curiga, lalu menarik jeketnya dengan cepat. "Hah? Apa-apaan ini?" Ia mengerutkan kening, tapi kemudian tertawa pelan ketika Feona dengan tegas menyemprotkan parfum miliknya ke baju Izagiri.

"Kamu cukup bau aku saja, jangan wanita itu!" Feona menyatakan dengan nada manja dan sedikit marah, namun bibirnya menyunggingkan senyum kecil, seakan tak bisa menahan perasaan cemburunya yang lucu itu.

Izagiri hanya tersenyum, namun jelas ada rasa geli di dalam dirinya. "Kamu cemburu, ya?" tanya Izagiri dengan nada bermain-main.

Feona menatapnya sejenak, lalu duduk di pangkuannya tanpa memberikan jawaban langsung, hanya memalingkan wajah dengan ekspresi lucu. Sambil menggigit kentang goreng yang baru saja diambil, dia bergumam, "Ya, aku cemburu... itu urusanmu dengan Cessia, bukan aku."

Izagiri tertawa lembut, menyentuh rambut Feona yang tergerai, merasakan kehangatan yang selalu ia rasakan setiap kali bersamanya. “Kamu tahu kok, tak ada yang bisa menggantikan tempatmu di sini,” ujarnya sambil meremas lembut bahu Feona.

Feona menggigit kentang gorengnya lagi, menatap Izagiri dari atas bahunya dengan tatapan licik. "Jangan lupa, aku selalu yang pertama." Ia kemudian melanjutkan makannya dengan puas, menikmati momen yang sederhana namun penuh kehangatan.

Izagiri tersenyum, membiarkan dirinya tenggelam dalam kedamaian yang tercipta di momen itu, sebuah kedamaian yang selalu ia cari, hanya dengan Feona di sisinya.

kemudian Izagiri memeluk Feona, Izagiri merasakan kehangatan tubuh Feona saat dia memeluknya dari belakang, kedua tangan Feona terlipat lembut di tubuhnya. Kata-kata Izagiri membuat jantung Feona berdegup kencang, dan dia meresapi setiap kata itu dengan penuh perasaan. "Memang benar, memiliki perempuan sepertimu adalah hal yang patut disyukuri," ujar Izagiri, suaranya lembut namun penuh makna.

Feona menoleh, tatapannya tajam, namun penuh kelembutan. Tangan Izagiri yang ada di pinggangnya kini dia pegang erat, dengan penuh keyakinan dia membalikkan tubuhnya sehingga mereka berdiri saling berhadapan. Keheningan itu tiba-tiba terpecah oleh kata-kata Feona yang penuh rasa sayang, "Inilah perkataan pria yang sangat kusukai."

Tanpa berpikir panjang, Feona mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencium bibir Izagiri dengan penuh cinta. Ciuman itu lembut, namun mengandung sejuta perasaan yang telah lama terpendam di dalam hati mereka berdua. Saat bibir mereka saling bersentuhan, dunia seakan berhenti sejenak, hanya ada mereka berdua, saling merasakan kehangatan dari cinta yang mereka bagi.

Izagiri membalas ciuman Feona dengan hangat, pelan namun penuh gairah. Tangan-tangannya memeluk tubuh Feona lebih erat, seolah tak ingin melepasnya. Di antara ciuman itu, bibir mereka saling mencari, dan tanpa sadar, lidah mereka mulai menari, saling menyentuh, menciptakan ikatan emosional yang lebih dalam dari sekadar cinta biasa.

Suasana kamar yang redup diterangi cahaya lampu temaram menambah kesan intim malam itu. Tidak ada kata-kata, hanya napas yang tersengal perlahan dan detak jantung yang seirama. Keheningan bukanlah kekosongan, melainkan pelukan hangat yang berbicara lebih dari ribuan kalimat.

Malam itu, bagi Izagiri dan Feona, bukan sekadar kebersamaan, melainkan momen penuh rasa, kepercayaan, dan kedekatan batin yang telah mereka bangun sejak lama. Dalam pelukan dan ciuman itu, mereka menemukan kehangatan yang membuat dunia luar sejenak tak berarti.

More Chapters