Cherreads

Chapter 79 - Bab 77 – Gagalnya Project FREEDOM]

[Bab 77 – Gagalnya Project FREEDOM]

Milim berdiri sendiri di ruang rapat yang kini kosong. Proposal Project FREEDOM terbengkalai di meja. Tak satu pun dari jajaran utama Altheon bersedia mendukung langkah pertamanya sebagai 'inovator baru'. Ia menolak menandatangani revisi apapun. Ia menolak kompromi. Kini, ia hanya sendiri.

Dan akhirnya—ia merasa frustasi.

Di balkon rumahnya di Los Angeles, langit malam hanya dihiasi bintang pucat. Milim duduk bersila, hoodie hitam menutupi sebagian wajahnya. Arvid datang tanpa suara, membawa dua cangkir teh jahe hangat.

> "Kau akan sakit kalau terus diam begini, Milim," ucap Arvid pelan sambil duduk di sebelahnya.

Milim tak menjawab, hanya menghela napas panjang.

> "Kenapa mereka semua takut, Arvid? Aku hanya ingin membuat dunia ini sedikit lebih adil…"

Arvid menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan,

> "Karena kau terlalu cepat. Dan terlalu jujur."

Milim memalingkan wajah, hampir marah, tetapi Arvid melanjutkan sebelum ia bisa membalas,

> "Satoshi Nakamoto… dia tidak dikenal, tidak terlihat, tidak mengikat siapa pun. Ia meninggalkan Bitcoin dan menghilang. Tapi justru karena itu, warisannya bertahan. Ia tidak pernah memaksakan dunia untuk berubah—ia memberi dunia alat untuk berubah."

Milim menggertakkan gigi.

> "Tapi aku bukan dia."

Arvid tersenyum kecil.

> "Dan itu bagus. Jangan jadi Satoshi. Jadi Milim. Aku rasa… kalau Satoshi bisa bicara langsung padamu, dia tidak akan ingin kau menggantikan dirinya. Dia akan ingin kau menciptakan sesuatu yang tak pernah bisa dia buat."

Milim menoleh perlahan. Matanya merah, bukan karena marah—tapi kecewa pada dirinya sendiri.

> "Tapi aku tak tahu harus buat apa, Arvid. Aku… kehilangan arah."

Arvid meletakkan tangannya di bahu Milim.

> "Kalau begitu, mulai dari apa yang paling kau pahami. Kau tahu teknologi. Kau tahu dunia digital. Dan yang lebih penting—kau tahu bagaimana menyentuh jutaan orang. Gunakan itu. Bukan untuk meniru Satoshi, tapi untuk mengangkat manusia. Bukan melawan sistem, tapi memperbaikinya."

Diam. Lalu angin malam. Lalu… senyuman kecil Milim.

> "Kalau begitu, kita mulai dengan yang kecil… dan berdampak besar."

---

Setelah percakapan panjang itu, malam semakin larut. Mereka masih di balkon, duduk berdampingan, dunia terasa seolah mengecil hanya menjadi mereka berdua.

Milim memandang Arvid dengan sorot mata yang tak seperti biasanya—tidak keras kepala, tidak impulsif—tapi penuh makna dan emosi yang tersimpan terlalu lama.

> "Terima kasih… sudah selalu jadi orang yang mengingatkanku ke bumi," bisiknya.

Arvid menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum kecil.

> "Kau adalah langit, Milim. Aku hanya ingin kau tidak jatuh terlalu cepat."

Milim mendekat. Jarak di antara mereka menguap. Dan ketika bibir mereka bersentuhan—semuanya meledak jadi keheningan penuh intensitas.

Ciuman itu bukan sekadar romantis, tapi juga pengakuan. Akan rasa yang sudah lama tertahan. Akan kepercayaan, akan kekaguman, akan keinginan untuk saling memahami dan dimengerti.

Tangan Arvid membelai rambut Milim dengan lembut, sementara Milim memegang wajahnya seakan takut semua ini hanya mimpi. Ciuman mereka berlanjut, lebih dalam, lebih panas, didorong oleh rindu yang belum pernah mereka sadari selama ini.

Ketika mereka akhirnya saling melepaskan, napas masih memburu, dunia terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih jujur.

> "Milim," ucap Arvid lembut, "apapun yang akan kau lakukan besok, aku akan tetap di sini. Sebagai temanmu. Atau…"

Ia menggantungkan kalimatnya.

Milim tersenyum. Kali ini bukan senyum publik figur. Bukan senyum seorang bos besar.

> "Atau sebagai seseorang yang akhirnya kucintai."

Dan malam itu menjadi awal dari hubungan baru mereka—bukan hanya sebagai rekan dan mitra dalam revolusi digital, tapi sebagai dua jiwa yang akhirnya memilih untuk berjalan berdampingan.

---

Di ruang rapat Lunaris Studio, suasana semakin mencekam. Celine, Rei, dan Azka duduk dengan wajah yang menunjukkan kebingungan. Mereka sudah mengetahui tentang Project Freedom yang diajukan oleh Milim, tapi mereka tak tahu apa-apa tentang rencana lebih besar yang tampaknya sedang disiapkan oleh Milim.

> "Ada yang aneh dengan Milim," kata Celine, nada suaranya penuh kekhawatiran. "Dia sudah berubah, lebih tertutup, dan tiba-tiba menjadi sangat fokus pada hal-hal pribadi. Ini bukan Milim yang dulu kita kenal."

Rei menatap ke luar jendela, matanya tak fokus.

> "Memang, Milim mulai menjauh dari kita. Dan, yang lebih aneh, dia lebih sering berbicara tentang Project Freedom itu, seolah itu adalah satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya."

Azka, yang cenderung lebih santai, mengangguk pelan.

> "Kita sudah dengar tentang Project Freedom. Milim sudah menjelaskan tentang rencananya untuk membebaskan diri dari batasan-batasan yang ada, mengubah cara dunia melihat teknologi dan kebebasan individu. Tapi, mengapa dia begitu terfokus padanya? Sepertinya dia menghindari hal lain."

Celine memandang mereka dengan serius.

> "Kita semua tahu bahwa Milim bukan tipe yang berbagi segalanya. Tapi ini berbeda. Dia mengasingkan diri, lebih sering mengurung diri dalam dunia pribadi. Mungkin dia memiliki visi yang lebih besar, tapi kita tidak tahu apakah itu akan berdampak buruk atau baik bagi kita semua."

Rei menghela napas panjang.

> "Milim memang sering bertindak begitu, tapi kali ini terasa berbeda. Dia menganggap Project Freedom sebagai satu-satunya tujuan besar dalam hidupnya. Mungkin kita tidak sepenuhnya tahu apa yang sedang terjadi dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya dia coba capai?"

---

Di kediaman Arvid di Los Angeles, suasana sore itu terasa lebih berat dari biasanya. Celine, Rei, dan Azka duduk di ruang tamu, menatap Arvid yang terlihat ragu namun akhirnya memutuskan untuk berbicara.

Arvid membuka pembicaraan dengan nada serius, berbeda dari biasanya.

> "Aku tahu kalian bingung dengan sikap Milim belakangan ini… dan aku pikir, kalian berhak tahu sebagian dari kebenarannya."

Celine menyipitkan mata.

> "Sebagian?"

Arvid mengangguk pelan.

> "Beberapa hari lalu, Milim menerima pesan terenkripsi. Dari seseorang… atau sesuatu… yang mustahil."

Rei bersandar ke depan, matanya fokus.

> "Siapa?"

Arvid menatap mereka satu per satu sebelum berkata pelan:

> "Satoshi Nakamoto."

Ruangan mendadak sunyi. Tak ada suara. Hanya detak jam dan napas tertahan. Azka akhirnya memecah keheningan.

> "Kau bercanda, kan?"

> "Aku harap aku bercanda." Arvid mengeluarkan salinan teks pendek di layar proyektor, "Pesan itu dikirim ke perangkat pribadi Milim—tidak melalui jalur umum. Sifat pesannya… nyaris seperti entitas sadar. Setelah pesan itu dibuka, seluruh jejaknya menghapus diri. Tak ada jejak IP, server phantom, bahkan jejak digital di RAM langsung dihancurkan."

Celine berdiri, bingung.

> "Tunggu, kau bilang… Satoshi Nakamoto masih hidup? Atau—apa mungkin dia bukan manusia?"

Arvid mengangkat bahu.

> "Kita tidak tahu. Mungkin dia manusia. Mungkin AI dari masa depan. Mungkin seseorang dari dimensi lain. Yang pasti, dia tahu Milim. Dan dia memilih Milim untuk sebuah tujuan."

Rei terlihat cemas.

> "Apa isinya?"

Arvid menatap ke bawah.

> "Hanya potongan—ide besar tentang perubahan dunia, dan satu file misterius yang dikirim bersamaan. Aku menyebutnya Project Orion."

Azka menatap tajam.

> "Project Orion? Apa itu semacam senjata? Program global?"

Arvid menggeleng cepat.

> "Aku tidak bisa memberitahumu. Bahkan kalian… Aku mohon maaf. Ini... terlalu berbahaya. Milim tidak ingin siapa pun tahu. Bahkan aku sempat dilarang menyentuhnya. Tapi setelah pesan itu, dia berubah. Lebih private, lebih fokus, dan jelas... lebih terbebani."

Celine duduk kembali, menunduk.

> "Jadi semua yang kita lihat kemarin… keputusannya berubah... itu karena dia merasa mendapat panggilan dari sosok mitos?"

Rei mencoba mencairkan suasana, setengah bercanda.

> "Milim dan Satoshi Nakamoto… pasangan spiritual paling absurd yang pernah ada."

Azka mencibir.

> "Kita butuh vodka untuk mencerna semua ini."

Namun Arvid tidak tertawa. Ia hanya menatap kosong ke layar proyektor.

> "Aku sedang menginvestigasi. Tapi tidak ada titik masuk. Semua jejak hilang. Satu-satunya petunjuk... hanya pesan terakhir itu. Dan file yang bahkan aku sendiri masih belum bisa membuka sepenuhnya."

Celine menatap Arvid dengan lembut.

> "Tapi… kau tetap di sisi Milim, bukan?"

Arvid menatapnya balik, dan mengangguk.

> "Tentu. Tapi kali ini… aku rasa kita tak hanya menghadapi perubahan teknologi. Ini bisa mengubah arah umat manusia."

---

More Chapters