Langit Auralis kembali bersinar keemasan saat Rania keluar dari portal cahaya, terhempas ke lantai menara waktu. Nafasnya terengah, tubuhnya lemah, dan matanya berkabut. Tapi satu hal yang langsung ia sadari…
Ia selamat.
Namun, sebelum sempat berdiri, suara langkah kaki menghampiri.
“Rania!” Arven berlari menghampirinya, lalu segera merangkulnya. Hangat. Lelah. Dan—kalau bisa—tak ingin melepaskannya lagi.
“Kau... gila. Kenapa tidak kembali lebih awal?!”
“Waktuku hampir habis,” bisik Rania. “Tapi aku berhasil menutup portal. Kael... terjebak di dalam.”
Elvaron tiba tak lama kemudian. Sorot matanya tajam, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan kelegaan. Ia memandangi Rania seolah sedang melihat matahari pagi setelah musim dingin yang panjang.
“Kau kembali,” katanya pelan. “Kau kembali… tanpa luka.”
Rania tersenyum lelah. “Luka fisik, mungkin tidak. Tapi yang lain... terlalu dalam untuk dijelaskan.”
---
Malam itu, Rania berdiri di balkon kamarnya, mengenakan jubah tidur tipis berwarna biru kelabu. Angin membawa aroma taman kerajaan, tapi juga kenangan yang belum sepenuhnya hilang.
Kael.
Pria dari masa depan. Pria yang dulu mungkin ia cintai.
Tapi ketika ia menatap bintang malam ini…
Ia tak lagi melihat Kael.
Yang ia lihat justru dua cahaya lain: satu teduh seperti pelindung—Arven. Dan satu membingungkan, seperti teka-teki yang indah—Elvaron.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Masuk,” ucapnya lirih.
Arven melangkah masuk, tanpa mahkota, tanpa jubah kebesaran. Hanya dia. Sebagai dirinya. Laki-laki yang menanti tanpa meminta.
“Aku tidak bisa tidur sebelum memastikan kau baik-baik saja.”
“Aku… baik,” jawab Rania singkat.
Tapi Arven tahu. Ia bisa membaca rona di wajah Rania lebih jelas dari siapa pun.
“Kau memikirkan Kael.”
Rania tidak menjawab.
“Dia mungkin mencintaimu,” lanjut Arven pelan. “Tapi kadang, cinta bukan tentang siapa yang datang duluan… tapi siapa yang tetap tinggal, bahkan ketika kau memilih pergi.”
Deg.
Kalimat itu menghantam Rania seperti gelombang pasang.
Ia menunduk. Tak tahu harus berkata apa.
“Aku takkan memintamu memilih, Rania. Tapi izinkan aku… berada di sisimu. Bukan sebagai pangeran. Tapi sebagai seseorang yang jatuh cinta padamu. Sepenuhnya.”
Ia lalu menunduk hormat… dan pergi, sebelum Rania sempat menahan.
Tapi sebelum pintu tertutup…
“Elvaron juga bilang begitu,” ucap Rania nyaris seperti gumaman. “Kau dan dia… kalian berdua…”
“Apa?”
“Kalian terlalu tulus. Dan itu justru membuatku takut.”
---
Di lorong yang sama, Elvaron berdiri dalam bayang rembulan. Ia mendengar semua. Tapi tak berkata apa-apa.
Ia hanya tersenyum getir… dan menatap langit malam.
> Waktu telah memilihnya untuk menjembatani masa lalu dan masa depan.
> Tapi siapa yang akan tinggal bersamanya di masa sekarang… belum ada yang tahu.