Suara detik jam terdengar sangat jelas di dalam ruang interogasi markas polisi kota Fedarna. Angin dari ventilasi menghembus lembut, namun membuat dingin yang menggigit. Abbas duduk diam di hadapan seorang pria tua berambut abu-abu dengan mata kosong. Namanya Willem Trosky
penjaga bangunan tua di Distrik Timur.
"Jadi Anda terakhir melihatnya hari Selasa malam?" tanya Abbas sambil menatap matanya.
Willem mengangguk pelan. "Dia... dia sering lewat. Remaja kecil, rambut ikal. Namanya Jorrin, kan? Selalu bawa buku catatan. Malam itu dia lewat jam sembilan lebih, bilang mau wawancara saya soal sejarah bangunan. Tapi setelah itu..."
Willem menggigit bibir bawahnya.
Abbas mencatat. Jorrin adalah korban ke-88 yang dicurigai hilang.
"Apakah Anda melihat atau mendengar sesuatu yang tidak biasa malam itu?"
Willem menunduk. "Aku dengar... suara dentingan. Seperti logam bertemu logam. Lalu ada suara... suara anak-anak tertawa... tapi bukan tawa bahagia. Lebih seperti ejekan. Setelah itu, aku mendengar langkah-langkah, cepat dan terburu-buru, lalu hening."
Abbas tidak berkata apa-apa selama beberapa detik. Dentingan logam, tawa anak-anak, dan langkah tergesa
semuanya terdengar seperti simbol. Seperti tanda. Seperti... permainan.
Setelah mengakhiri interogasi, Abbas berjalan ke luar kantor polisi. Matahari sudah tenggelam, dan cahaya lampu jalan menyala lembut di antara kabut tipis yang biasa menyelimuti kota Fedarna setiap malam. Ia menyalakan rokok, membiarkan asapnya berbaur dengan udara dingin.
Ia merasa dadanya sesak.
Sudah empat minggu sejak ia mengambil kasus ini, dan semakin dalam ia menggali, semakin sedikit ia mengerti. Setiap korban memiliki latar berbeda, usia berbeda, profesi berbeda, bahkan etnis dan kepercayaan yang berbeda. Tapi semuanya hilang dengan pola yang nyaris identik: menghilang dari tempat umum, tanpa saksi, dan selalu ada aroma khas yang tertinggal di lokasi kejadian seperti bau kertas basah yang dibakar.
Di dalam apartemennya yang sunyi, Abbas menyalakan lampu meja dan membuka folder yang penuh dengan catatan. Ia menempelkan foto-foto korban ke papan yang telah ia siapkan. Jorrin adalah wajah ke-88.
Matanya menelusuri wajah-wajah itu. Muda, tua, pria, wanita. Ada yang tersenyum, ada yang datar. Mereka semua pernah hidup. Pernah berharap. Pernah bermimpi.
Tangannya bergetar saat menatap satu foto di sudut kanan bawah. Foto seorang wanita muda bernama Alina Veres korban ke-14. Wanita itu punya wajah yang sangat mirip dengan seseorang dari masa lalu Abbas. Seseorang yang ia hindari untuk diingat: adiknya sendiri.
Ia menutup folder dengan kasar.
Kenapa kamu harus muncul juga, Alina? Kau menyeretku kembali ke masa lalu, ke waktu di mana aku juga merasa... hilang.
Hari berikutnya, Abbas mengunjungi Distrik Hitam, sebuah kawasan yang dulunya pusat industri namun sekarang menjadi reruntuhan. Jorrin sempat mengatakan kepada ibunya bahwa ia akan mewawancarai seorang pria tua di daerah itu sebelum pergi ke Willem.
Dan benar saja, bangunan pabrik tua yang nyaris runtuh itu masih berdiri. Abbas masuk pelan, menyalakan senter.
Debu, puing-puing, dan bau jamur menyambutnya. Namun ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Di salah satu dinding, ada simbol yang tergambar: sebuah lingkaran dengan garis silang, dan di tengahnya terukir angka: "4.8.3."
Abbas mengangkat alis. Angka itu muncul juga di tempat hilangnya korban ke-39 dan 55.
"Gakusi..." gumamnya lirih.
Ia tidak tahu dari mana nama itu datang. Tapi saat melihat simbol itu, suara kecil dalam benaknya berbisik: Dia kembali. Anak itu. Anak yang kau beri roti, dan kau tinggalkan...
Malam itu, Abbas tidak bisa tidur. Ia duduk di kursi, memandang ke luar jendela. Hujan turun pelan, membasahi kaca.
Tiba-tiba, teleponnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal.
"Halo?" ujarnya dengan suara parau.
Tak ada jawaban.
"Halo?" ulangnya.
Akhirnya terdengar suara. Pelan, seperti bisikan. "Apakah kamu ingat aku, Abbas?"
Jantungnya berhenti sejenak.
"Siapa ini?"
"Apakah kamu ingat ketika kamu bilang bahwa aku harus mati saja karena dunia tidak butuh monster seperti aku?"
Abbas membeku.
Itu... kalimat yang ia ucapkan 20 tahun lalu. Saat ia masih bocah delapan tahun, saat ia melihat seorang anak jalanan lapar duduk di bawah jembatan. Abbas yang saat itu sedang marah dan frustasi karena ibunya dipukuli ayahnya memberi roti kepada anak itu... lalu, dengan mata yang basah dan bibir gemetar, berkata, "Dunia tak butuh anak seperti kamu. Dunia akan lebih damai tanpamu."
Suara di ujung telepon terkekeh kecil.
"Aku masih hidup, Abbas. Dan aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."
Klik.
Telepon terputus.
Abbas membanting telepon ke lantai.
Hari berikutnya, ia tidak langsung pergi ke kantor. Ia pergi ke jembatan tua tempat ia pertama kali bertemu anak itu. Jembatan yang kini sudah berkarat, sepi, dan hampir runtuh. Angin meniup kencang, dan di salah satu tiangnya, ada sesuatu yang tertempel: foto Abbas kecil. Di baliknya, tertulis:
"Yang menghidupkan nyala, akan dibakar oleh apinya sendiri."
Tubuh Abbas gemetar. Ia tahu sekarang: ini bukan sekadar kasus penculikan. Ini adalah pesan pribadi.
Gakusi tidak hanya membunuh. Ia menciptakan panggung. Ia membentuk setiap kejadian seperti potongan seni. Dan ia ingin Abbas melihat semuanya hingga akhir.
Di kantor polisi, Abbas memanggil seorang analis bernama Farah untuk meneliti kembali pola angka "4.8.3" dan simbol yang mereka temukan. Farah, seorang wanita cerdas dengan kemampuan analisis statistik dan simbolik, memperhatikan pola itu seolah sedang membaca sebuah puisi gelap.
"Ini bukan sekadar angka," katanya. "4 bisa berarti kematian, 8 berarti tak terbatas, dan 3 bisa berarti trinitas atau bagian terakhir dari puzzle. Tapi..."
"Tapi?" tanya Abbas.
"Kalau ini adalah kode, maka 4.8.3 mungkin merujuk pada bab dan ayat dalam sebuah buku. Alkitab? Al-Qur'an? Buku sejarah? Atau... mungkin buku yang hanya dimengerti oleh Gakusi sendiri."
Mata Abbas menajam.
Farah menambahkan, "Atau bisa juga ini berarti tanggal. Tanggal kejadian terakhir. Atau awal dari semuanya. Apakah kamu tahu kapan terakhir kali kamu melihat... anak itu?"
Abbas tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.
Malam harinya, Abbas kembali ke apartemen dan membuka kotak tua berisi benda-benda masa kecilnya. Di dalamnya, ia menemukan buku gambar kecil. Di lembar ketiga, ada sketsa kasar tentang seorang anak kecil berambut acak-acakan yang duduk di bawah jembatan.
Ia menulis sesuatu di bawah gambar itu, bertahun-tahun lalu:
"Gakusi, anak aneh yang menatapku seolah aku musuhnya. Tapi aku hanya ingin dia pergi..."
Bab 2 berakhir dengan Abbas memandangi gambar itu lama. Ia menyadari bahwa kasus ini bukan hanya tentang orang hilang. Ini adalah panggung pembalasan, dibangun oleh seseorang yang pernah ia lukai.
Dan yang lebih menakutkan lagi... panggung ini belum mencapai klimaksnya.