Cherreads

Sebuah Misteri

Abbas76
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
317
Views
Synopsis
Kota Fedarna, dulunya kota yang damai dan hidup, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Dalam rentang waktu hanya tiga bulan, 87 orang menghilang secara misterius tanpa jejak, tanpa saksi, tanpa suara. Pihak kepolisian lumpuh dalam keheningan dan ketidaktahuan. Kasus ini pun akhirnya jatuh ke tangan seorang detektif muda yang tenang namun menyimpan luka masa lalu: Abbas. Abbas tidak hanya mengejar jejak orang hilang, tapi juga menelusuri jalinan masa lalu yang tidak ia duga akan kembali menghantui. Penyelidikannya membawanya dari lorong-lorong sempit kota, rumah sakit tua yang terbengkalai, hingga ke mimpi-mimpi buruk masa kecilnya. Setiap bab yang ia buka adalah potongan puzzle kelam yang perlahan-lahan menunjukkan bahwa semua korban saling terhubung... dan ia sendiri ternyata bagian dari teka-teki itu. Di tengah jalan, Abbas mulai menyadari bahwa dalang di balik semua ini bukanlah sekadar pembunuh biasa. Sosok misterius yang dikenal sebagai Gakusi, adalah seseorang yang pernah Abbas beri makan saat ia masih anak-anak seorang anak yatim piatu yang terluka oleh dunia dan tersulut oleh satu kalimat kecewa dari Abbas yang mabuk. Luka batin dan dendam Gakusi bertumbuh, menjadikannya simbol keadilan bengkok dan kekacauan total. Ia bukan hanya membunuh ia mengatur, memainkan, dan membentuk kehidupan manusia seperti tokoh dalam panggung sandiwara. Ketika satu demi satu misteri terbuka, Abbas semakin kehilangan dirinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan: apakah ia sedang menyelidiki kegelapan... atau justru menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri? Dan ketika akhirnya ia menemukan kebenaran, harga yang harus ia bayar sangat mahal: jiwanya sendiri. Namun cerita tidak berakhir di sana. Setelah kematiannya, seorang detektif baru muncul, melanjutkan penyelidikan yang belum rampung, menggali lebih dalam, dan membawa cahaya ke dalam lorong paling gelap di kota Fedarna. Karena di balik hilangnya 87 orang... tersimpan sebuah pesan yang lebih besar dari sekadar pembunuhan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab1: Jejak yang Hilang

Hujan turun seperti kutukan yang tak henti dilontarkan langit pada kota Fedarna. Langkah kaki menari di atas jalanan bebatuan yang tergenang, menimbulkan simfoni sendu yang sudah akrab bagi penduduk kota ini. Kabut tipis menggantung di antara gedung-gedung tua yang seperti sedang sekarat retak, berlumut, dan bisu. Seakan mereka pun menyimpan rahasia.

Di tengah-tengah lorong kumuh Distrik Lorn, suara ketukan pintu terdengar tiga kali. Perlahan. Berat. Seperti ingin disadari, tapi takut dibuka.

Detektif Abbas berdiri di ambang pintu itu. Topi fedora hitamnya meneteskan air, mantel panjangnya basah hingga ke lutut. Di tangannya tergenggam dokumen lapuk berisi laporan kasus ke-87 dalam tiga tahun terakhir kasus hilangnya seseorang yang lenyap begitu saja di Fedarna.

"Abbas?" suara serak dari balik pintu.

"Ya. Aku datang karena laporanmu."

Pintu terbuka pelan, memperlihatkan seorang wanita tua bermata sembab. "Dia… dia baru saja menghilang kemarin malam. Cucu saya. Namanya Marla. Baru sembilan tahun. Dia pergi membeli roti di ujung gang, dan... tidak pernah kembali."

Abbas menatapnya lama. Tak perlu menjadi jenius untuk melihat bahwa wanita itu sedang berada di antara harapan dan kehancuran. Seperti 86 keluarga lainnya. Seperti setiap wajah yang ia temui sejak menerima tugas dari Kantor Keamanan Tingkat Tiga.

"Bolehkah saya masuk?"

Wanita itu mengangguk dan menyingkir, membiarkan Abbas melangkah ke dalam rumah kayu kecil yang pengap dan gelap. Bau tanah basah menyatu dengan asap tembakau dan debu usia.

"Dia selalu pulang sebelum malam. Tapi kemarin… jalanan kosong. Tidak ada teriakan. Tidak ada perlawanan. Dia seperti… menguap."

Abbas membuka catatannya, mencoret satu kalimat: "Hilang dalam senyap."

Tiga kata yang selalu sama, seperti pola yang dikutuk.

"Kau sudah lapor ke Polisi Distrik?"

"Sudah. Tapi mereka hanya mencatat, lalu pergi. Tak satu pun dari mereka kembali."

Abbas diam. Ia tahu mengapa. Setiap laporan tentang orang hilang akan berakhir di laci berdebu. Karena tidak ada bukti, tidak ada saksi, dan tidak ada tubuh. Hanya udara yang hening… dan keluarga yang patah.

Ia melihat meja ruang tamu. Di atasnya ada boneka kelinci kecil dengan telinga sobek dan pita merah di lehernya. "Mainan Marla?"

Wanita itu mengangguk cepat. Air matanya mulai jatuh tanpa suara.

Abbas menunduk, mengamati boneka itu. Matanya memperhatikan setiap jahitan. Ada noda tanah di bagian bawahnya. Segar.

"Bolehkah saya membawa ini?"

"Tentu saja, Tuan Abbas. Temukan dia. Tolong temukan dia."

Abbas tidak menjawab. Ia hanya menatap boneka itu seperti sedang menatap luka lama. Lalu ia melangkah keluar.

Fedarna malam hari adalah neraka yang menyamar sebagai kota.

Lampu jalan berkedip, angin menyelinap di antara lorong-lorong sempit, dan tikus-tikus besar berlompatan seolah mengejek siapa pun yang lewat. Abbas berjalan menyusuri gang tempat Marla terakhir terlihat. Gang itu sempit dan lembab, dengan dinding bata yang dipenuhi coretan liar.

Ia berhenti.

Sesuatu membuatnya berjongkok. Di bawah pipa bocor, ada jejak kecil. Jejak kaki ukuran anak-anak mengarah ke lorong yang tidak memiliki ujung. Di ujung lorong itu, hanya ada dinding batu tua dan tanaman menjalar. Buntu. Tapi jejaknya menghilang di sana.

Abbas merogoh senter kecil dari sakunya. Ia menyinari dinding. Tangannya menyentuh batu… dan merasa aneh. Salah satu batu dingin itu terasa lebih licin dari yang lain. Seperti… sering disentuh.

Ia menekan pelan. Sebuah celah terbuka setipis jari. Sebuah pintu rahasia?

Tidak mungkin.

Ia menatap ke kiri dan kanan. Lalu kembali menekan. Celah itu tetap. Namun tak cukup untuk dimasuki. Sesuatu ada di balik sana. Tapi belum sekarang.

Ia mencatat lokasi di peta kecil miliknya, lalu menyimpan boneka Marla di tas kulitnya.

Keesokan harinya.

Kantor pusat Keamanan Fedarna adalah bangunan megah peninggalan kerajaan lama tampak indah dari luar, tapi di dalamnya penuh birokrat yang lebih suka rapat daripada bertindak.

"Lagi?"

Itu kata pertama yang keluar dari mulut Komisaris Dalbrik saat melihat laporan Abbas. "Abbas, kau tahu ini akan berakhir di laci yang sama. Tanpa saksi, tanpa bukti, tanpa surat perintah. Ini…"

"Ini bukan satu kasus, Tuan," potong Abbas. "Ini kasus ke-87. Mereka tidak hilang. Mereka diambil."

Dalbrik menghela napas panjang. "Apa maksudmu?"

"Aku menemukan pola. Mereka semua hilang tanpa suara. Tapi di tempat-tempat berbeda, semua korban meninggalkan barang pribadi kecil yang tercemar tanah. Bukan tanah biasa. Tanah ini… berasal dari distrik bawah. Distrik terlarang."

Dalbrik memandangnya tajam. "Kau main berani, Abbas. Distrik bawah sudah ditutup sejak insiden pembantaian dua puluh tahun lalu."

"Justru karena itu. Aku yakin, sesuatu di sana hidup. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar mati."

Dalbrik terdiam. Abbas tahu, di balik ekspresi keras kepala komisaris itu, ada rasa takut yang disembunyikan.

"Lanjutkan penyelidikanmu. Tapi diam. Jangan buat panik publik."

Abbas berdiri, memberi hormat, lalu keluar dari ruangan. Dalam hatinya, ia tahu, waktu mereka hampir habis.

Malamnya.

Ia kembali ke rumah kontrakan kecilnya di pinggir kota. Lampu minyak bergetar pelan di dinding. Di meja, sebuah foto tua berdiri dalam bingkai retak: foto dirinya saat muda bersama seorang wanita yang kini hanya tinggal kenangan.

Ia duduk, membuka berkas semua kasus sebelumnya. Mata lelahnya mulai melihat sesuatu… pola, jejak, arah hilangnya semua korban. Mereka membentuk garis. Spiral.

Titik tengahnya… adalah Distrik Bawah.

Dan di tengah semua berkas itu, matanya jatuh pada satu nama yang terasa asing namun mengganggu: Gakusi.

Nama itu hanya muncul sekali. Dalam laporan saksi yang tak pernah diverifikasi. Seorang anak jalanan… diam… tidak pernah bicara… terakhir terlihat sebelum salah satu korban dewasa hilang dua tahun lalu.

Gakusi.

Nama itu membuat punggungnya dingin. Entah kenapa. Seperti pernah ia dengar. Pernah ia ucapkan.

Abbas berdiri pelan, menatap cermin. Wajahnya tua. Matanya lelah. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang perlahan bangkit. Kengerian yang selama ini ia tekan.

Dan untuk pertama kalinya, ia berbisik pada dirinya sendiri:

"Apa yang pernah kulakukan… dua puluh tahun lalu?"