Bab 16 – Jejak Pemburu dan Bisikan Jalur Tersembunyi
Langit di atas padang rumput gersang di kaki Pegunungan Mendidih tampak berasap dan kemerahan. Udara terasa kering dan panas, membawa bau belerang samar yang menusuk hidung. Ruhosi, kini menginjak usia sepuluh setengah tahun, telah berkelana sendirian selama hampir dua tahun sejak meninggalkan Wilayah Angin Terukir. Jubah pemberian Pengukir Angin tampak sedikit usang di beberapa bagian, dan tubuhnya yang dulu kurus kini lebih berisi otot hasil latihan dan perjalanan tanpa henti. Retakan-retakan di kulitnya masih mengeluarkan asap hitam tipis, namun kini ia bisa sedikit mengendalikannya agar tidak terlalu mencolok.
Ia baru saja berhasil menghindari patroli kecil makhluk-makhluk kadal bersisik baja yang sepertinya adalah penghuni asli daerah perbatasan ini. Kemampuan Napas Angin yang ia pelajari sangat berguna untuk bergerak tanpa suara dan merasakan perubahan arah angin yang menandakan kehadiran makhluk lain.
"Huh, hampir saja ketahuan," gumam Ruhosi sambil menyeka keringat di dahinya. Ia bersembunyi di balik sebuah batu besar yang hangus. "Tempat ini benar-benar tidak ramah. Pantas saja disebut Pegunungan Mendidih, baru di kakinya saja sudah kayak di dalam oven."
Tujuannya masih sama: Tanah Seribu Kawah, yang menurut Tetua Kaivan berada di jantung Pegunungan Mendidih, tempat Kunci Api kemungkinan besar berada. Lensa Kabut di sakunya masih menunjukkan titik yang berkedip di arah tersebut.
Namun, beberapa hari terakhir, perjalanannya semakin sulit. Ia menemukan jejak-jejak perkemahan besar yang bukan milik penduduk lokal. Jejak kaki raksasa dengan kuku tajam, aroma kegelapan yang samar namun familier—mengingatkannya pada beberapa monster purba yang pernah ia hadapi—dan yang paling mengkhawatirkan, beberapa desa kecil Ras Tikus Tanah yang ia lewati tampak hancur lebur, dengan tanda-tanda kekerasan brutal.
Malam itu, saat beristirahat di sebuah gua kecil, Ruhosi merasakan getaran aneh dari Lensa Kabutnya. Ia mengeluarkannya. Titik yang menandakan Kunci Api masih ada, tapi kini, sebuah jalur cahaya biru redup yang new muncul dari posisinya saat ini, mengarah ke arah yang sama sekali berbeda—menjauh dari Pegunungan Mendidih, menuju ke barat laut, ke arah hutan-hutan lebat yang belum pernah ia dengar namanya.
"Lho? Kok ada jalan baru?" Ruhosi mengernyit. "Apa Lensa ini rusak gara-gara kepanasan?"
Tiba-tiba, sebuah visi singkat menyergapnya saat ia menyentuh lensa itu. Ia melihat Vorgash, makhluk obsidian dengan kapak raksasa itu, memimpin pasukan makhluk bayangan dan monster api menuju kawah besar yang berasap. Lalu ia melihat dirinya sendiri, terjebak dan dikepung. Visi itu terasa begitu nyata dan penuh ancaman.
Ruhosi tersentak, napasnya memburu. "Jadi… pemburu itu sudah sampai duluan? Atau memang mengincarku di sana?"
Ia teringat pesan Kunci Angin: "Waspadalah… 'Dia yang Menginginkan Kehampaan' juga mencari mereka." Vorgash pastilah salah satu agennya. Pergi langsung ke Tanah Seribu Kawah sekarang sama saja dengan bunuh diri.
Ia menatap Lensa Kabut lagi. Jalur biru redup itu masih ada, seolah menawarkan alternatif. Sebuah bisikan halus, seperti suara angin lembut, terngiang di benaknya, berasal dari lensa itu: "Jalur tersembunyi… kekuatan yang menunggu… keseimbangan harus dijaga…"
Ruhosi terdiam lama, menimbang-nimbang. Rasa konyol dan ingin langsung menantang bahaya seperti biasa sedikit tertahan oleh insting bertahan hidupnya yang semakin tajam dan visi yang baru saja ia lihat. Ia masih anak-anak, meski dengan kekuatan yang tak biasa. Menghadapi Vorgash dan pasukannya sendirian adalah kegilaan.
"Hmm… kalau kata Lensa ini ada jalan lain yang lebih seru dan nggak langsung bikin aku jadi sate, kenapa nggak?" gumamnya pada diri sendiri, mencoba menghibur dirinya. "Mungkin di jalan baru ini ada monster es krim atau permen raksasa."
Pagi berikutnya, keputusan sudah bulat. Ruhosi meninggalkan jejak samar yang mengarah ke Pegunungan Mendidih untuk mengecoh pengejar, lalu dengan hati-hati, ia berbalik arah, mengikuti jalur biru redup yang ditunjukkan Lensa Kabutnya. Perjalanan menuju Kunci Api harus ditunda. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mungkin lebih penting untuk keselamatannya dan pemahamannya akan takdirnya, yang harus ia temukan terlebih dahulu.
Ia tidak tahu bahwa jalur baru ini, yang berkelok-kelok melewati hutan-hutan kuno, sungai-sungai tersembunyi, dan lembah-lembah yang belum terpetakan, dalam beberapa tahun ke depan, secara perlahan namun pasti, akan membawanya semakin dekat ke sebuah lembah elok tempat seorang gadis kecil berambut pink perak juga tengah bertumbuh, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya.
Petualangan Ruhosi mengambil tikungan tak terduga, dipenuhi misteri baru dan tantangan yang belum ia bayangkan. Dan di suatu tempat, Vorgash yang tidak menemukan jejaknya di jalur utama menuju Tanah Seribu Kawah, menggeram marah, semakin bertekad untuk memburu 'Sang Pengembara' kemanapun ia pergi.