Hari-hari berikutnya, Fahrul sibuk memikirkan tugas barunya sebagai koordinator dekorasi. Ini pertama kalinya dia dipercaya memimpin tim kecil. Biasanya, dia hanya ikut mengangkat barang atau membantu menempel poster, tapi sekarang… dia yang harus mengatur semuanya.
Malam itu di rumah, Fahrul duduk di meja belajarnya, membuka catatan kecil.
"Dekorasi… panggung, backdrop, bunga, lampu… waduh, banyak banget," gumamnya sambil menggigit ujung pulpen.
Ibunya mengintip dari pintu. "Lagi ngapain, Rul?" tanyanya lembut.
"Ini, Bu… disuruh siapin dekorasi acara."
Ibunya tersenyum, mendekat, dan menepuk pundaknya. "Pelan-pelan aja, Nak. Kan ada temannya juga. Kamu nggak kerja sendirian."
Fahrul menarik napas dalam-dalam. Benar juga, pikirnya. Dia punya teman-teman panitia lain. Dia bisa minta saran, bisa belajar. Yang penting mau berusaha.
Keesokan harinya, di sekretariat, Fahrul berkumpul dengan timnya: ada Tiara, Bayu, dan dua anak lain, Nina dan Rendi. Mereka duduk melingkar, mulai brainstorming ide.
"Aku pengen panggungnya ada nuansa alam, Kak," kata Nina bersemangat.
"Bisa banget! Aku nanti bantu bikin poster dedaunan," sambung Bayu.
Fahrul mencatat semuanya, sambil sesekali bertanya, memastikan dia paham peran masing-masing. Meski awalnya grogi, lama-lama dia mulai percaya diri.
Sore itu, saat semua selesai, Kak Amel menghampirinya dan menepuk bahu Fahrul. "Good job, Rul. Kamu mulai jalanin peranmu dengan baik."
Fahrul tersenyum malu-malu. Dalam hatinya, dia berjanji: Aku akan lakukan yang terbaik. Ini kesempatan emas, dan aku nggak mau sia-siakan.