Saat Fahrul kembali ke tenda utama, ia melihat Kak Amel berdiri di tengah lapangan, memegang HT sambil tersenyum pada semua orang yang lewat. Senyumnya hangat, tapi matanya jelas lelah — sembab, seperti kurang tidur semalaman.
"Kak, butuh apa lagi?" tanya Fahrul, mendekat.
Kak Amel menoleh, tersenyum. "Kamu luar biasa, rul, Datang pagi-pagi, bantuin semua. Gimana, capek nggak?"
Fahrul mengangkat bahu. "Lumayan… tapi seru juga, Kak."
Kak Amel tertawa kecil. "Iya, ya? Rasanya kayak chaos, tapi juga hangat. Aku kadang mikir, panitia tuh seperti sutradara yang nggak kelihatan. Kita capek, deg-degan, kadang marah-marah, tapi yang orang lihat nanti cuma panggung yang rapi dan meriah."
Fahrul mengangguk pelan. "Kakak udah berapa lama ngurus acara kayak gini?"
"Hm… sejak kuliah. Dulu sering jadi panitia kegiatan kampus. Sekarang udah kerja, masih aja nggak bisa lepas dari dunia beginian," jawab Kak Amel sambil tersenyum pahit. "Kadang aku nanya juga ke diri sendiri: kenapa sih repot-repot? Tapi ya… karena senangnya itu, loh. Lihat anak-anak ketawa, lihat acara berhasil — rasanya kayak dibayar lunas."
Mereka berdiri sebentar, memandang panggung yang makin ramai. Mus sibuk merapikan kabel, Bayu memeriksa mikrofon, Abi menghitung kursi, Tiara mengecek daftar tamu.
Di balik layar semua ini, Fahrul mulai melihat: setiap orang punya alasan masing-masing kenapa mereka rela repot, rela lelah. Dan senyum Kak Amel hari itu mengajarkan satu hal penting — kadang, kelelahan adalah tanda kalau kita sedang mengerjakan sesuatu yang berharga.