Setelah kelas berakhir...
Suasana di dalam ruang kelas mulai ramai. Beberapa murid langsung menghampiri para pahlawan, menanyakan hal-hal seperti pelatihan, sihir, dan pengalaman mereka di dungeon. Rion masih duduk di bangku dekat jendela, memandangi langit yang mulai mendung.
Tiba-tiba, suara lembut menghampirinya.
"Aku harap kamu tidak merasa terlalu gugup tadi," ucap Elysia yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.
Rion menoleh dan tersenyum tipis. "Tidak juga. Aku sudah terbiasa jadi pusat perhatian... meskipun mungkin bukan dengan wajah ini."
Elysia terkikik kecil. "Wajahmu memang... unik. Tapi lebih dari itu, auramu berbeda. Rasanya seperti kau pernah melalui begitu banyak hal."
"Aku hanya seseorang yang tersesat dan mencoba bertahan," jawab Rion, merendah.
Tiba-tiba, suara lain menyela. "Hey, kalian berdua—mau duduk bareng kami di kantin?" Suara itu milik Haruto, yang kini berdiri di samping Aiko dan Daiki. Di belakang mereka, Rin dan Yui tampak duduk diam, mengamati dari jauh.
Rion sedikit terkejut. Mereka sendiri yang menghampiriku? Mereka benar-benar tak mengenaliku...
Elysia memandang ke arah Rion, memberi isyarat lembut. "Bagaimana? Kita bisa makan bersama, dan kau bisa mulai mengenal teman-teman baru."
"...Boleh," jawab Rion singkat.
Mereka semua pun menuju kantin akademi Astrea. Sepanjang perjalanan, percakapan ringan terjadi.
"Aku dengar kau baru pindah dari wilayah utara?" tanya Aiko dengan senyum ramah.
"Kurang lebih," jawab Rion, tetap menjaga sikap netral.
"Kalau begitu, apa kau sudah pernah masuk dungeon sebelumnya?" tanya Daiki, matanya penuh antusias.
"Beberapa kali. Tapi belum terlalu dalam." Rion menyembunyikan sebagian besar kebenaran, seperti biasa.
Sesampainya di kantin, mereka duduk di meja panjang. Makanan siang khas akademi sudah disajikan: sup panas, roti gandum, dan daging panggang.
Haruto duduk di seberang Rion. Sesekali matanya menatap Rion tajam, lalu mengalihkan pandangan.
Rion sadar. Haruto mungkin merasa ada yang familiar dariku... tapi tidak cukup untuk mengingat.
Rin yang duduk paling akhir akhirnya angkat bicara. "Kau tidak terlihat seperti pemula. Gerakmu tenang. Pandangan matamu tajam."
"Insting bertahan hidup," sahut Rion singkat.
Yui yang dari tadi diam akhirnya melirik Rion. "Namamu... Rion, ya? Nama itu... agak aneh untuk wilayah ini."
Rion menoleh, matanya sempat membeku sejenak. "...Begitu ya?"
Elysia segera menyela untuk mencairkan suasana. "Sebenarnya, aku yang mengundangnya ke akademi. Dia punya potensi besar, bahkan ayahku menyetujui hal ini."
"Kalau raja Alaric sendiri menyetujuinya, berarti bukan orang biasa," ujar Daiki sambil mengangguk.
Setelah makan siang di kantin, suasana kembali tenang. Beberapa murid mulai bersiap meninggalkan tempat, hingga tiba-tiba—
“Brokk!”
Suara benturan pintu yang terbuka dengan keras menggema di seluruh ruangan.
Semua mata langsung tertuju ke arah pintu masuk. Dua sosok dengan aura kuat muncul dari balik pintu tersebut: Guru Leon, instruktur kelas kesatria, dan Guru Lick, pengajar sihir kelas atas.
Dengan suara lantang dan penuh wibawa, Leon berseru,
“Semua murid yang telah mampu menggunakan sihir atau bertarung, bersiap! Saatnya menelusuri dungeon!”
Disusul oleh Lick yang berbicara dengan nada lebih tenang namun tegas,
“Para pahlawan... dan murid baru. Kalian juga wajib ikut.”
Tanpa keraguan, para murid menjawab dengan suara bulat dan penuh semangat,
“Baik, Guru!”
Beberapa saat kemudian...
Mereka kini berdiri di hadapan sebuah gerbang besar yang menjulang tinggi, terbuat dari batu hitam berukir simbol kuno. Aura sihir samar terasa mengalir dari balik pintu, menandakan bahaya yang menanti di dalam.
Leon melangkah ke depan, suaranya menggelegar,
“Kita akan membentuk tim. Setiap kelompok terdiri dari tiga penyihir dan dua petarung jarak dekat.”
Seketika para murid mulai membentuk formasi. Diskusi singkat terjadi di antara mereka untuk menyeimbangkan kekuatan tiap kelompok.
Dalam proses pengelompokan itu, Rion mendapati dirinya berada satu tim dengan Elysia, Rin, Aiko, dan Haruto. Sementara Yui dan Daiki bergabung dalam kelompok berbeda bersama beberapa murid lain.
Rion hanya melirik mereka dari kejauhan.
“Satu dungeon... dengan teman lama yang tak lagi mengingatku.”
“Menarik.”
“Sudah lama sekali aku tidak menghirup udara di dungeon... rasanya seperti pulang kampung.”
Gumam Rion lirih, menatap gelapnya lorong yang membentang di hadapannya.
“Jika sudah siap, mari kita lanjutkan. Aku akan menjadi pembimbing dari tim Rion,” ucap Guru Leon dengan suara tegas yang memantul di dinding-dinding batu.
“Kalau begitu, aku akan memimpin tim kedua,” sambung Guru Lick dengan nada tenang.
Keduanya pun saling mengangguk dan mengatur formasi.
“Nah, mari kita mulai penelusurannya!” seru para murid serentak, penuh semangat.
Tak lama, mereka terbagi menjadi dua tim.
Tim Leon: Rion, Elysia, Rin, Aiko, dan Haruto, menuju lorong sebelah kanan.
Tim Lick bersama Yui dan Daiki mengambil jalan di sisi kiri dungeon.
Langkah mereka menggema, menyusuri lorong gelap yang hanya diterangi oleh cahaya sihir sederhana.
Untuk mencairkan suasana, Elysia memecah keheningan,
“Guru, sebenarnya... ada berapa level di dungeon ini?”
Leon menoleh sedikit sambil berjalan, “Sejujurnya tidak ada yang tahu pasti. Tapi... yang kami yakini, levelnya melebihi 70.”
“Wah... sebanyak itu?” Aiko menelan ludah, wajahnya tegang.
“Dungeon ini seperti dunia tersendiri,” tambah Rin sambil melihat ukiran kuno di dinding. “Aku pernah baca kalau beberapa tempat di dungeon punya hukum sihir yang berbeda.”
“Benar,” sahut Leon. “Kekuatanmu bisa berubah di dalamnya. Karena itu, jangan remehkan apapun di sini.”
Haruto menambahkan, “Aku dengar di level bawah, sihir bisa terdistorsi, bahkan berbalik menyerang penggunanya.”
“Menarik...” Rion berkomentar pelan sambil tetap waspada.
Namun tiba-tiba—
“GRRRRHHHHH!!!”
Suara gemuruh dari lorong depan menggema, dan segerombolan monster bertubuh besar, bermata merah, muncul dari kegelapan.
“Jangan panik!” seru Leon. “Kita serang bersama-sama!”
“Baik, Guru!” balas semua dengan lantang.
Rion langsung mengamati gerak-gerik musuh. “Rin, siapkan penghalang. Aiko, beri dukungan sihir api dari belakang. Haruto, kau dan aku maju ke depan. Elysia, bantu Rin jaga pertahanan,” ujar Rion cepat.
“Siap!” jawab mereka serentak.
Dalam hitungan detik, formasi terbentuk. Rion dan Haruto maju dengan pedang terhunus, mengalihkan perhatian monster. Sementara dari belakang, Aiko meluncurkan sihir api bertubi-tubi. Rin menciptakan penghalang untuk menahan serangan balik, sementara Elysia memberi perlindungan ekstra jika penghalang jebol.
Tanpa Rion menggunakan sihir pun, strategi mereka efektif. Monster demi monster tumbang, dan tak lama kemudian, semua musuh dikalahkan.
“Kerja bagus,” ucap Leon bangga.
Namun baru saja mereka hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba—
“KLEK!”
“Aaaaahhh!!!”
Mereka terjerembab ke dalam lubang jebakan! Tubuh mereka meluncur jatuh tanpa kendali.
Semua menjerit ketakutan... kecuali Rion, yang jatuh dengan ekspresi datar sambil berkata,
“Aaaa.”
Tanpa emosi.
“Hah... apa-apaan itu...” Rin melihat Rion dan tak bisa menahan senyum kecilnya.
“BRAKKK!!”
Mereka mendarat keras di suatu tempat yang gelap dan lembap.
“Maafkan aku... aku tak sengaja...” Aiko berkata dengan wajah penuh rasa bersalah.
“Itu bukan salahmu, Aiko,” Haruto menenangkannya.
Elysia menoleh panik, “Guru Leon, kita... di mana?”
Leon menyeka keringatnya. “Sepertinya... kita terjatuh ke area dalam dungeon yang belum pernah dijelajahi...”
Tiba-tiba...
“Ugh...”
Suatu hawa membunuh mulai terasa. Udara menjadi berat, dan tekanan sihir mendadak meningkat drastis.
“...Hawa ini.”
Rion mulai tertawa kecil.
“Hahahaha... sudah lama aku tidak merasakannya... hawa kematian...” ujarnya sambil menatap ke depan.
Semua orang langsung menatap Rion—
“Rion... tertawa?!” gumam Elysia heran. “Aku belum pernah melihatnya seperti ini...”
Dari balik kegelapan, suara berat terdengar.
“Hahaha... benar dugaanku. Ternyata ada manusia yang menarik.”
Dari bayangan, muncul sosok berjubah hitam dengan aura mengerikan. Ia berjalan perlahan, hingga akhirnya memperkenalkan diri,
“Namaku Azazil. Penguasa dungeon level 80.”
“Level 80?!” semua terperangah.
“Kita tidak boleh takut!” seru Haruto. “Kita adalah pahlawan!”
“Pahlawan ya...” Azazil menyeringai. “Itu berarti masalah untuk tuanku...”
“Tuannya...?” gumam Leon. “Jangan-jangan... ada iblis lain yang lebih kuat darinya...”
“Bagus... akhirnya lawan yang pantas.” Rion tersenyum samar.
Azazil pun membuka jubahnya. Tubuhnya menyerupai manusia, namun kulitnya kelabu pucat, tanduk melengkung ke belakang, mata merah bersinar, dan sayap hitam robek menjuntai dari punggungnya. Aura jahat mengelilinginya seperti kabut.
“Baiklah, ayo serang aku,” tantang Azazil percaya diri.
“Gunakan seluruh kekuatan kalian!” teriak Leon.
Aiko, Rin, Haruto, dan Leon pun maju, merapalkan sihir tingkat tinggi.
“Flamma Ignis!”
“Aquaria Lance!”
“Terra Break!”
“Divine Blade!”
Semburan sihir menghantam Azazil, ledakan besar menguncang ruangan bawah tanah itu.
Namun saat asap menghilang, Azazil berdiri... hanya dengan luka kecil yang segera sembuh seketika.
“Lumayan,” katanya santai. “Untuk manusia yang disebut pahlawan.”
Semua terkejut, kecuali Rion.
“Itulah iblis...” gumamnya sambil tersenyum kecil. “Tak akan tumbang dengan itu saja.”