"Rion… terkalahkan?!”
Haruto tertegun, matanya membelalak melihat tubuh sahabat lamanya terkapar diam tanpa nyawa di tengah aula singgasana. Tangannya gemetar, suaranya bergetar oleh ketakutan yang merayap dari dada.
“Jika dia saja tak bisa mengalahkan Velgrath… apalagi kita…?”
Di hadapannya, Velgrath melangkah perlahan dengan tatapan penuh kekecewaan.
“Cih… apa hanya dengan kekuatan ini dia membunuh Azazil? Hanya cecunguk sombong tanpa isi.” Ia meludah ke tanah. “Aku pikir kau akan membuatku mengeluarkan sedikit tenaga.”
Ia mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah para pahlawan dan Elyndor yang berdiri kaku, terpaku oleh rasa takut dan keterkejutan.
“Aku akan segera mengakhiri ini,” ucap Velgrath, aura kegelapan meledak dari tubuhnya seperti badai neraka.
Namun, satu suara menggelegar membelah keheningan:
“Jangan takut!!”
Haruto melangkah maju dengan pedang terangkat tinggi, wajahnya menggambarkan tekad yang kuat.
“Kita adalah pahlawan! Dan ini… adalah saatnya untuk membuktikannya!!”
Yui, Rin, Aiko, dan Daiki, meski tubuh mereka masih bergetar, mulai menegakkan punggung mereka.
“…Kau benar,” ujar Daiki, menggenggam tombaknya erat.
“Kita tidak bisa mundur sekarang,” lanjut Rin.
“Kita bertarung bersama, untuk Rion!” seru Yui.
“Aku akan bantu semampuku,” Aiko menambahkan, cahaya sihir muncul di sekeliling tubuhnya.
Dari belakang, Elyndor dan Elysia pun bersiap.
“Kalau begitu, aku dan Elysia akan memberi dukungan dari belakang,” ucap Elyndor, tangan siap merapal mantra.
“Baik,” jawab Elysia dengan anggukan tegas, meski hatinya masih kacau.
Velgrath menyeringai. “Hmph… baguslah. Setidaknya kalian tahu cara mati dengan sedikit perlawanan.”
Pertarungan pun dimulai.
Daiki menyerang terlebih dahulu, menerjang dengan kecepatan tinggi, tombaknya menyala dengan sihir petir. Namun Velgrath menangkapnya dengan dua jari, lalu menghantam Daiki dengan lututnya hingga terlempar ke dinding.
Rin dan Yui menyusul, menyerang dari dua sisi. Sihir angin dan es mereka bergabung, menciptakan badai es yang mematikan. Tapi Velgrath cukup menepuk tanah—gelombang energi gelap menghantam keduanya hingga tubuh mereka terpental.
Haruto bertarung habis-habisan, menyerang dengan teknik pedang suci yang bahkan membuat Azazil kewalahan sebelumnya. Tapi Velgrath hanya menangkisnya dengan satu tangan, lalu menendangnya keras hingga Haruto terjerembab.
“Manusia lemah, kalian bahkan tidak pantas untuk disebut pengganti Azazil…” ucapnya dingin.
Aiko mencoba menyembuhkan teman-temannya, namun Velgrath melesat dan menghantam tanah di dekatnya, menciptakan ledakan yang memisahkan mereka.
Elyndor dan Elysia pun maju, melepaskan sihir gabungan—panah cahaya dan semburan suci—namun semua serangan itu hanya memantul dari perisai gelap Velgrath.
“Apakah ini… akhir dari kita semua…?” lirih Elysia, tubuhnya gemetar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menggenggam tongkat sihirnya kuat-kuat, tetapi tak mampu menahan ketakutannya lagi.
“Menangis bukanlah jawaban, nona…” ujar Velgrath, tatapan tajamnya mengarah lurus padanya. “Itu hanya mempercepat kematianmu.”
Ia menciptakan tombak kegelapan baru—lebih besar, lebih padat—dan mengarahkannya langsung ke Elysia dan Elyndor.
“Sekarang… menghilanglah.”
WHUUSSHH!
Tombak itu melesat dengan kecepatan gila. Elysia memejamkan matanya. Ia tak punya cukup waktu untuk menghindar.
Namun—
CRAAAKK!
Tombak itu dihentikan oleh dinding es yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Dingin membekukan udara sekeliling.
“A-Apa…?” Elysia tercengang matanya membelak tak percaya.
Haruto, Rin, Yui, Aiko, Elyndor—semua terpana.
“Dinding es…? Tapi siapa…?”
Elysia menoleh, matanya terarah pada tubuh Rion yang masih tergeletak—tak bergerak.
“Bukan dia… tapi aku tahu betul… ini adalah sihir miliknya!” Elysia menjerit dalam hatinya.
Velgrath mengerutkan kening. “Sihir es? Lagi?”
Dengan marah, ia kembali menciptakan tombak kegelapan, melesatkan serangan kedua. Namun—sekali lagi, dinding es muncul, menghentikannya.
Tiba tiba---
DUK... DUK... DUK...
suara Langkah kaki terdengar dari lorong istana.
Aura membeku memenuhi udara. Setiap suara tertelan ketegangan.
Lalu, terdengar tawa dingin yang bergema di seluruh ruangan.
“Hahahahaha… akhirnya… lawan yang sempurna...”
Semua mata tertuju ke lorong kegelapan itu.
Dari balik kabut es dan bayangan gelap… muncul seseorang.
Rion.
Namun kali ini... aura dingin memancar dari tubuhnya di setiap langkah. Es membeku di tempat ia menapak. Wajahnya bukan datar, melainkan tersenyum— antusias.
“R-Rion…?” suara Elysia bergetar, matanya membesar tak percaya.
Velgrath terkejut. Ia menatap ke arah tubuh Rion yang tadi ia tusuk—masih tergeletak di lantai.
“Ka-Kau... bukan kah... aku sudah membunuhmu?”
Rion berhenti berjalan, menatap Velgrath dengan mata sedingin kutub.
“itu...? Itu azazil yang mati dan menjadi pelayan ku.”
Ia mengangkat satu tangan, dan tombak es murni terbentuk di udara.
Velgrath menyeringai, dengan tatapan tajam mengarah ke Rion.
Dan semua orang di aula itu tahu:
Pertarungan yang sebenarnya... baru saja dimulai..
--
Aura membeku. Dinding es menjulang di segala arah, dan dari pusat kekuatan itu—Rion melangkah maju dengan tatapan menbara diikuti senyum tipisnya.
Velgrath menatap tajam. “Hmph… jadi kau menyembunyikan dirimu sambil membiarkan boneka melawanku?”
Rion mengangkat bahunya, lalu menyeringai. “Bukankah itu menyenangkan? Melihatmu membual sambil bermain dengan ‘mayat’ yang bahkan bukan aku.”
“Cih… jangan sombong!”
Seketika, Velgrath melesat bagaikan meteor gelap, menebas dengan tombak kegelapan. Namun Rion—dengan gerakan ringan—membentuk perisai es yang langsung membekukan sebagian serangan Velgrath.
BOOM!
Ledakan kekuatan terjadi ketika kedua energi saling bertabrakan. Rion terpental ke belakang, tapi mendarat mulus. Ia tertawa keras, penuh semangat.
“Hahaha! Inilah yang kuinginkan! Darahku mendidih!”
Tatapan Elysia membesar. "Rion... tertawa seperti itu?"
"Dia... sangat berbeda dari sebelumnya..." gumam Yui, tak percaya.
Sementara itu, Haruto mengarahkan matanya ke tubuh Rion yang masih tergeletak di lantai.
“Kalau itu bukan Rion… lalu siapa—”
Crack!
Mayat itu perlahan retak seperti kaca, lalu bangkit dengan pelan. Dari dalam kabut muncul sosok yang sama sekali tak asing—berjubah hitam, matanya bersinar merah samar.
“…Azazil…?!” teriak Rin kaget.
Flashback:
Di lantai terdalam dungeon level 80—beberapa bulan sebelumnya—
Azazil, yang telah mati membeku oleh kekuatan Rion, di hidupkan kembali dengan sihir pengendali bayangan. “Mengapa kau membangkitkan ku?” tanyanya lemah.
Rion tersenyum kecil. “Kau terlalu berguna untuk mati. Jadilah pelayanku. Aku butuh seseorang yang bisa memainkan ‘mayat’ jika sewaktu-waktu aku ingin menyelinap.”
Azazil mendengus, namun tunduk. “Sepertinya aku tak punya pilihan…”
KEMBALI KE MASA KINI.
Azazil berdiri perlahan, wajahnya tetap dingin. “Itu cukup menghibur,” katanya datar. “Kau seharusnya bersyukur aku membiarkanmu menyentuh tubuhku, Velgrath.”
Velgrath menggeram, matanya menatap Azazil penuh dendam. “Kau mempermainkan tubuh azazil… untuk jadi boneka? Kau benar-benar sudah melewati batas, Rion!”
Rion hanya tertawa lebih keras. “Kalau begitu... buat aku menyesalinya!”
Velgrath mengangkat tangannya ke langit-langit istana. Ratusan pedang kegelapan terbentuk di udara, masing-masing bergetar dengan energi mematikan.
“Aku akan menghancurkan segalanya!”
Rion membuka kedua tangannya. Ratusan tombak es dengan bentuk unik mulai muncul, berputar di sekelilingnya.
Pertarungan sejati pun dimulai.
ZAAKK!
Kedua kekuatan saling menghantam di udara. Ledakan demi ledakan mengguncang langit-langit istana Thorvania, membuat puing-puing berjatuhan.
Rion mengayunkan tombak es yang membelah pedang Velgrath, lalu melesat cepat dengan pedang es di tangan, menebas ke arah dada Velgrath.
Velgrath menangkis, namun goresan es membekukan sebagian lengannya.
“Apa…?!” Velgrath mundur, tetapi Rion terus menekan.
“Kenapa kau gemetaran, raja kegelapan?” ejek Rion, napasnya cepat, wajahnya terlihat penuh gairah bertarung.
Velgrath tiba-tiba meledakkan aura gelap di sekelilingnya, menciptakan medan kehampaan yang menyerap cahaya.
Rion terpental, tapi langsung berdiri kembali, luka di bahunya sembuh dalam sekejap.
Elysia menyaksikan dari jauh, tubuhnya gemetar.
“Ini… Ini kekuatan Rion yang sebenarnya…?” bisiknya dengan wajah terpesona dan takut bersamaan.
Elyndor pun mencengkeram jubahnya. “Anak itu… bukanlah manusia biasa.”
Pertarungan terus berlanjut, masing-masing menunjukkan kekuatan yang membuat tanah bergetar dan udara terbelah. Mereka bergerak terlalu cepat untuk diikuti dengan mata telanjang.
Namun perlahan, Velgrath mulai mengungguli.
Dengan kombinasi sihir ruang dan kegelapan, ia berhasil menciptakan jurang hitam di bawah Rion. Seketika, ribuan bayangan tangan muncul dan menarik Rion masuk ke dalam kegelapan.
Rion mencoba melawan, tapi gerakannya mulai melambat.
“Hahahaha!” Velgrath tertawa. “Akhir dari cecunguk sombong!”
Dengan satu gerakan cepat, Velgrath melesat dan menusukkan tombak hitamnya ke tubuh Rion—tepat ke arah jantung.
CRAAAKK!
Darah berceceran. Rion terhenti.
Elysia menjerit. “TIDAAAK!!”
Yui dan Rin menutup mulut mereka, shock.
Haruto mengepalkan tinjunya dengan keras. “Tidak… Ini tak mungkin…”
Velgrath membiarkan tombaknya tertancap dan menendang tubuh Rion hingga jatuh keras ke lantai istana.
“Yang kau bawa hanyalah ego,” kata Velgrath dingin. “Dan sekarang… kau pun runtuh seperti sisamu.”
Sementara semua terdiam dalam keterkejutan dan keputusasaan....