Rey berdiri di tengah ruang putih steril yang seolah tak memiliki ujung. Lantai, dinding, dan langit-langit tampak menyatu, seakan ruang itu tidak diciptakan oleh manusia, tetapi oleh sistem. Di hadapannya berdiri puluhan peserta lainnya—semuanya tampak rapi, penuh percaya diri, dan mengenakan pakaian yang mengandung logo keluarga elit.
Ia tak mengenal satu pun dari mereka.
Tapi hampir semua dari mereka... mengenal satu sama lain.
"Ada yang dari wilayah 1?" tanya seorang pria berambut perak, mengenakan jas abu-abu elegan.
"Aku. Dari Klan Weiss," jawab perempuan di sampingnya sambil tersenyum.
"Hah. Klan dari zona atas lagi," Rey mendengar bisikan dari belakangnya. "Anak bawah sini seharusnya nggak ikut seleksi ini. Hanya buang-buang waktu."
Rey tidak menoleh.
Ia tak butuh validasi dari mereka.
Tiba-tiba, suara mekanik menggema di seluruh ruangan.
“Selamat datang, para calon. Kalian berada di ruang awal seleksi NOIR. Uji pertama dimulai dalam 60 detik. Tidak ada penjelasan lanjutan. Bertahan, atau keluar.”
Suara itu hening sesaat. Lalu dinding mulai berubah. Apa yang semula putih polos, tiba-tiba terbuka seperti ilusi optik. Ruangan itu berubah menjadi labirin kompleks dengan jalur-jalur bercabang, penuh dengan pintu, jebakan, dan pancaran cahaya.
“Uji bertahan hidup digital,” gumam salah satu kandidat.
"Ayo pisah!" teriak yang lain, dan para peserta mulai berlari, mencoba mencari jalan tercepat menuju tujuan yang tak mereka mengerti.
Rey diam.
Ia memejamkan mata sejenak, lalu merogoh saku dan mengaktifkan sebuah chip kecil rakitan miliknya. Chip itu tidak akan memanipulasi sistem—ia tidak sebodoh itu—tapi bisa membaca pola elektromagnetik dan arus jaringan di sekitarnya.
Labirin ini... bukan hanya tes kekuatan. Ini teka-teki.
Dan Rey pandai memecahkan teka-teki.
Ia mengikuti alur jalur energi yang paling tidak stabil, karena tahu NOIR tidak akan menyembunyikan pintu sebenarnya di tempat yang aman. Setelah melewati tiga pintu jebakan dan menghindari satu ruangan gas tekanan tinggi, Rey tiba di sebuah pintu berwarna hitam. Tidak bercahaya seperti yang lain. Tak ada suara. Tak ada sensor.
Ia menekan pintunya.
Tak terbuka.
Ia mundur satu langkah.
Lalu mengangkat kedua tangannya ke udara dan berkata, “Saya bukan siapa-siapa, tapi saya tidak datang untuk bermain.”
Klik.
Pintu itu terbuka.
----------------------------------------------------------
Ruang di balik pintu hitam sunyi. Di dalamnya, hanya ada satu hal—panggung kecil yang menghadap ke layar raksasa.
Di depan panggung, puluhan kandidat yang telah lolos juga mulai berdatangan dari arah lain. Beberapa tampak kelelahan. Beberapa penuh luka ringan.
Rey termasuk yang pertama sampai.
Seorang wanita muncul di layar. Wajahnya tidak asing—Direktur Ava Noir, pemimpin utama NOIR.
“Selamat. Kalian telah melewati uji awal. Tidak semua yang masuk, berhasil keluar. Tidak semua yang keluar, layak melangkah lebih jauh.”
Suara Direktur Ava tegas, dingin, namun tak menyembunyikan rasa hormat.
> “Di NOIR, kami tidak menilai kalian dari asal. Kami menilai dari keberanian kalian untuk memilih jalan yang sulit, dan kemampuan kalian untuk bertahan.”
Ia berhenti sejenak. Kemudian berkata,
> “Tapi sebelum kalian benar-benar masuk, satu langkah terakhir harus kalian lalui. Tunjukkan kepada kami siapa diri kalian. Berdiri di atas panggung. Buka suara kalian. Jika lidah kalian tak bisa bicara untuk kalian sendiri, maka suara dunia pun akan mengubur kalian hidup-hidup.”
Beberapa peserta tampak gugup.
"Ini cuma formalitas, kan?" bisik seorang gadis.
"Aku tidak mau jadi yang pertama," kata yang lain.
Namun seseorang melangkah maju.
Rey.
Ia berdiri di atas panggung. Tubuhnya tegak, walau sorot mata dari para kandidat lain menusuknya dengan rasa skeptis.
Ia mengangkat kepala.
Dan mulai berbicara.
> “Nama saya Rey Armanda. Saya bukan anak jenderal. Bukan anak konglomerat. Saya dari Zona Abu-abu, tempat di mana sinyal tak pernah stabil dan dinding rumah lebih banyak retaknya daripada catnya.”
Beberapa terkesiap. Seorang peserta tampak menahan tawa.
Tapi Rey melanjutkan.
> “Saya tidak tumbuh dengan akses pendidikan elite. Saya belajar dari mesin rusak, dari suara-suara di balik sinyal curian. Saya merakit, membongkar, memahami dunia dari sisa yang kalian buang.”
Ia menatap langsung ke kamera. Ke layar. Ke Direktur Ava yang menatapnya balik dari layar monitor.
> “Saya tidak minta diberi jalan. Saya hanya minta diuji secara adil. Karena kalau kalian memberi saya satu peluang saja, saya akan menunjukkan bahwa mereka yang terlahir tanpa nama… bisa menciptakan nama yang kalian tak bisa abaikan.”
Hening.
Tidak ada tepuk tangan.
Tapi Rey tidak butuh itu.
Ia turun dari panggung dengan tenang. Wajahnya tetap datar, tapi matanya menyala. Ia sudah mengatakan yang harus ia katakan.
Satu per satu peserta lain mulai naik, beberapa dengan pidato mengesankan, lainnya terdengar kosong dan berusaha mengesankan. Tapi sorotan di ruangan berubah.
Dari ratusan nama, semua mulai bertanya satu hal:
“Siapa sebenarnya Rey Armanda?”
Dan di ruangan observasi di balik layar, Direktur Ava tersenyum tipis. Ia mencatat satu nama di daftar utama.
REY ARMANDA – Status: Layak Uji Lanjutan