Cherreads

Gadis Populer Di Sebelahku Ternyata…

agatha_au
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
547
Views
Synopsis
Di balik senyum hangat seorang gadis populer dan tatapan tajam seorang siswa pendiam, tersimpan potongan masa lalu yang telah lama dikubur dalam diam. Aksa, siswa pindahan yang misterius, hanya ingin menjalani hari-harinya di SMA Hibiki tanpa menonjol. Ia bukan tipe yang mudah percaya, bukan pula seseorang yang mencari teman. Namun, segalanya berubah saat ia duduk di sebelah Artha — gadis paling ceria, paling bersinar… namun paling kesepian. Artha, sang bintang sekolah, menyimpan rahasia yang bahkan tak bisa ia ceritakan kepada dirinya sendiri. Saat pertemuan mereka yang tak disengaja berubah menjadi perasaan yang tak bisa dijelaskan, benang-benang masa lalu mulai bergerak. Sebuah buku tua, ruang bawah tanah tersembunyi, dan potret lama yang menunjukkan kenyataan yang tak seharusnya ada. Ketika rahasia keluarga perlahan terkuak—bahwa kedua orang tua mereka dulunya adalah agen rahasia yang pernah melakukan pembantaian berdarah atas perintah rezim diktator—Aksa dan Artha harus memilih: mengikuti jejak kelam yang diwariskan, atau melawan takdir yang ingin memisahkan mereka. Namun, seseorang telah menunggu di balik bayangan. Zen Miyuki, anak yang kehilangan segalanya karena orang tua mereka, kini hidup hanya untuk satu tujuan: balas dendam. Akankah cinta yang tumbuh di antara Aksa dan Artha cukup kuat untuk menghadapi kebenaran… atau justru hancur oleh masa lalu yang tak terhindarkan? Genre: Romance · School Life · Mystery · Drama · Psychological · Light Suspense
VIEW MORE

Chapter 1 - Gadis Populer Di Sebelahku Ternyata…

VOL 1 - CHAPTER 1: PERTEMUAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN 

Langit pagi itu sedikit mendung, tapi udara sekolah masih dipenuhi semangat murid-murid baru. Suara sepatu beradu dengan lantai koridor, tawa sahabat-sahabat lama, dan pelukan malu-malu anak-anak yang baru bertemu kembali setelah libur panjang. Di antara keramaian itu, seorang siswa tampak berjalan pelan di ujung lorong. Dia tidak berbicara dengan siapa pun. Kepalanya sedikit tertunduk, dan ransel hitamnya tergantung berat di satu bahu. Itulah Aksa.

> "Hari pertama... harusnya biasa aja," batinnya.

Aksa bukan tipe siswa yang suka keramaian. Ia lebih suka diam, mengamati, dan menyendiri di pojok ruangan sambil membaca buku atau memperhatikan langit dari jendela kelas. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya sulit mempercayai orang lain. Ia tahu ada bagian masa lalunya yang kosong—gelap—tetapi ia sendiri tak mengerti kenapa. Sebuah kekosongan yang tak bisa dijelaskan.

Di kelas 11-B, tempat duduk sudah mulai terisi. Beberapa siswa sibuk saling sapa, ada yang saling kenal dari kelas sebelumnya. Di sisi lain, tiga gadis tampak begitu mencolok dengan keceriaan mereka: Bianca, Aira, dan Lily. Mereka langsung menciptakan suasana yang meriah.

"Waaah Lily, kamu masih pakai tas yang dulu!" seru Aira sambil tertawa.

"Biarin aja dong, ini limited edition tahu nggak!" sahut Lily sambil memeluk tasnya.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang gadis dengan senyum manis masuk. Dia berjalan anggun namun bersahabat. Wajahnya cerah seperti pagi yang baru saja menyapa. Dialah Artha.

"Heiii! Kalian kangen aku nggak?!" serunya.

"Artha!!" ketiganya langsung menyambut dengan pelukan.

Artha, si gadis populer yang tak pernah gagal membawa keceriaan ke dalam ruangan. Semua orang tampaknya menyukainya, baik guru maupun teman. Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa di balik senyumnya yang hangat, ada kenangan sedih yang ia simpan rapat-rapat. Sama seperti Aksa, Artha juga memiliki bagian masa kecil yang terasa... kosong. Seperti potongan puzzle yang hilang.

Tak jauh dari situ, Aksa duduk di dekat jendela. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan memperhatikan Artha dari kejauhan. Ada sesuatu yang membuatnya terdiam lebih lama. Wajah gadis itu... entah kenapa terasa familiar.

> "Pernah ketemu di mana ya? Atau cuma perasaan aja?"

Guru wali kelas masuk dan kelas dimulai. Beberapa siswa baru diminta untuk memperkenalkan diri.

Saat giliran Aksa, dia hanya berdiri sebentar, suara rendah dan tak ekspresif,

"Nama gue Aksa. Dari luar kota."

Singkat. Padat. Hening. Lalu dia duduk kembali. Suasana kelas sempat canggung, tapi Artha justru bertepuk tangan sendiri.

"Yeay, selamat datang, Aksa!" ucap Artha.

Beberapa murid tertawa kecil karena sikap spontan Artha. Aksa hanya menunduk, sedikit kaget, sedikit... hangat.

Di sela jam istirahat, Hazel — sahabat Aksa yang cukup ekspresif — datang menghampiri bersama Keira.

"Eh, lo kenapa diem aja dari tadi? Belum nyapa cewek-cewek tuh, rugi lo," celetuk Hazel.

Keira menyikut bahu pacarnya. "Hazel, jangan ngajarin yang nggak-nggak, Aksa baru juga pindah."

"Gue bukan yang suka nyapa, kalian kan tahu," jawab Aksa datar.

Tapi diam-diam, pandangan Aksa beberapa kali mengarah ke Artha, yang sedang tertawa bersama teman-temannya.

Hari itu berjalan biasa, tapi ada hal kecil yang terasa... berbeda. Artha melewati meja Aksa saat hendak membuang kertas ke tempat sampah.

"Aksa, ya? Tadi perkenalannya keren, singkat banget. Kayak nama-nama samurai di film Jepang, gitu," ucapnya dengan senyum.

Aksa menatapnya sebentar. Diam. Tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.

> "Kayaknya hari ini... nggak seburuk yang gue kira."

Kelas kembali tenang saat guru fisika masuk. Pak Dirga, guru yang dikenal dengan gaya bicara cepat dan ekspresif, langsung menarik perhatian.

"Selamat datang di semester baru, semoga kalian belum lupa rumus gravitasi ya!"

Suasana kelas pun mulai santai dengan candaan Pak Dirga yang menyuruh murid-murid maju satu per satu untuk menjawab soal iseng. Saat Artha maju, ia dengan percaya diri menjawab soal sambil sedikit menggoda Aksa dari depan kelas.

"Coba Aksa, bantu aku dong... kalau aku salah, kita remed bareng, ya?"

Seketika kelas heboh. Aksa hanya menghela napas, menunduk dalam, dan tak menjawab. Tapi senyumnya muncul sesaat.

Dan saat jam pelajaran berakhir, bel istirahat panjang berbunyi. Hazel, Keira, Bianca, Aira, dan Lily memutuskan makan siang bersama. Keira mengajak Aksa ikut.

"Aksa, yuk bareng kami ke kantin," ajaknya ramah.

"Iya, jangan sendiri mulu. Nanti dikira ninja beneran," kata Bianca sambil tertawa.

Dengan sedikit ragu, Aksa ikut. Di kantin, mereka duduk satu meja besar, membicarakan banyak hal: dari drama Korea, film action, hingga siapa yang paling ganteng di kelas sebelah. Artha aktif mengobrol dan sesekali melempar candaan ke Aksa.

"Eh Aksa, kamu suka film horor nggak? Wajahmu cocok jadi tokoh utama yang misterius, lho!"

Hazel ikut tertawa. "Bukan, dia cocoknya jadi pemburu hantu. Pendiam tapi tajam."

"Kalian ini..." Aksa menunduk malu, tapi hatinya terasa lebih ringan.

Saat sore, kelas mendapat pengumuman: akan ada lomba kreativitas minggu depan. Semua murid diminta membuat kelompok. Bianca langsung menarik Artha dan Lily, Aira pun ikut. Mereka lirik-lirikan.

"Aksa, kamu masuk kelompok kita aja ya," tawar Artha.

"Eh, seriusan?"

"Ya iyalah. Biar kelompok kita nggak cuma rame, tapi juga misterius," ujar Aira sambil tertawa.

Hari itu ditutup dengan suasana penuh tawa dan rasa penasaran. Meskipun belum semuanya dekat, Aksa merasa seperti... ada yang mulai berubah.

> "Mungkin... ini awal dari sesuatu yang lebih besar."

Dan saat ia menatap Artha yang tersenyum ke arahnya, Aksa tak menyadari bahwa itulah senyum dari seseorang yang diam-diam menyimpan kunci rahasia yang sama: masa lalu yang terlupakan.

Langit di luar jendela mulai berubah warna menjadi abu-abu keemasan. Suara bel akhir sekolah belum terdengar, tapi suasana kelas sudah mulai santai. Beberapa murid bersandar di kursinya, sebagian lainnya mencoret-coret buku atau saling bercanda. Aksa, masih di tempat duduknya dekat jendela, memperhatikan bayangan pohon yang menari pelan tertiup angin.

Artha duduk di kursinya yang hanya terpaut dua bangku dari tempat Aksa. Sesekali, mata mereka bertemu, meski keduanya sama-sama cepat mengalihkan pandangan. Tapi bukan karena canggung—lebih karena rasa aneh yang tak bisa mereka jelaskan.

"Lagi melamun, Samurai?" suara Artha mengagetkannya. Ia berdiri di sebelah bangkunya, membungkuk sedikit sambil membawa buku catatan.

Aksa menoleh pelan. "Hah?"

"Kamu kelihatan kayak orang yang lagi mikirin planet lain. Jangan-jangan kamu alien?" tanya Artha sambil tertawa kecil.

Aksa menggeleng, mencoba menahan senyum. "Nggak. Cuma… ngeliat langit."

"Langit?" Artha ikut menoleh ke arah jendela. "Hmm. Emang, langit sore tuh punya vibe yang susah dijelasin ya. Kayak… ada sesuatu yang kita lupakan."

Kalimat itu membuat Aksa diam. Ia memandangi wajah Artha dengan lebih seksama. Gadis itu tidak sedang bercanda. Nada suaranya berubah. Matanya menerawang.

Artha menyadari tatapan itu, lalu mengembalikan senyumnya. "Eh, kamu malah ngeliatin aku."

"Enggak," sahut Aksa buru-buru. "Cuma… kamu barusan ngomong hal yang mirip sama yang pernah aku pikirin."

Artha menaikkan alis. "Serius?"

Aksa mengangguk pelan. "Kadang… langit itu ngingetin aku sama sesuatu. Tapi aku nggak tahu apa."

Seketika keduanya terdiam. Bukan karena kehabisan topik, tapi karena hati mereka seperti saling menyentuh—tanpa perlu banyak kata. Suara tawa Hazel dan Keira dari belakang membuyarkan suasana.

"Oi, Aksa!" seru Hazel sambil mencondongkan badannya ke depan bangku. "Jangan dimonopoli dong, Artha itu milik publik!"

Artha memutar bola matanya. "Hazel, jangan norak."

Keira hanya tertawa pelan sambil memukul lengan Hazel. "Udah-udah, kita mau rapat kelompok kan? Pak Dirga tadi suruh kasih tema buat lomba kreativitas minggu depan."

"Tema?" tanya Artha sambil berbalik ke arah mereka.

"Bebas," jawab Keira. "Bisa drama, mural, teknologi, sampai pameran seni."

Bianca menyela, "Gimana kalau kita bikin drama? Tapi yang ada unsur misterinya gitu. Biar beda dari kelompok lain."

Aira mengangguk. "Ih, iya! Kayak cerita detektif tapi setting-nya di sekolah. Seru banget pasti!"

Semua menoleh ke Aksa. Ia menatap mereka satu per satu, lalu berkata, "Kalo bisa dimasukin unsur komedi juga, bakal lebih enak ditonton."

Lily bertepuk tangan. "Yess! Aksa setuju, berarti idenya sah!"

Hazel berdecak. "Wah, lo ngomong juga akhirnya, bro. Udah cocok jadi penulis skenario."

Aksa mengangkat bahu. "Aku cuma kasih saran."

Suasana kelompok itu mulai terasa akrab, meski ada canggung kecil di beberapa celah. Aksa yang awalnya ingin menghindari semua interaksi, kini justru mulai merasa… tidak ingin pergi cepat-cepat.

Setelah pulang sekolah, langit benar-benar kelabu. Rintik gerimis mulai turun. Anak-anak berlarian ke halte dan parkiran. Artha, yang tidak membawa payung, berdiri di bawah kanopi gerbang sekolah sambil memeluk tas.

Aksa hendak melangkah ke arah gerbang ketika ia melihatnya.

"Belum dijemput?" tanyanya pelan.

Artha menggeleng. "Kayaknya Mama bakal telat. Tapi nggak apa-apa. Aku suka hujan."

Aksa mendekat, mengeluarkan payung lipat hitam dari tasnya. "Yuk, bareng aja."

Artha menatapnya, sedikit terkejut. "Serius? Nggak merepotkan?"

"Nggak. Rumahku arah utara. Kamu ke mana?"

"Barat… tapi aku bisa turun di pertigaan pasar. Dari situ deket."

Mereka berjalan berdua di bawah payung. Suara hujan dan langkah kaki jadi latar yang lembut. Tak banyak percakapan, tapi keheningan mereka bukan hampa—melainkan nyaman.

Sesekali Artha melirik ke samping. Aksa, dengan wajah tenang dan tatapan ke depan, terlihat sangat… damai. Atau mungkin, menyimpan sesuatu.

"Kamu sering pindah sekolah?" tanya Artha pelan.

Aksa menoleh, sedikit ragu menjawab. "Dua kali."

"Kenapa pindah?"

Pertanyaan itu membuatnya diam cukup lama. Lalu, lirih, ia menjawab, "Alasan keluarga."

"Oh… maaf, kalau aku—"

"Enggak apa-apa."

Artha mengangguk. "Aku juga dulu pindah pas kelas dua. Tapi karena Papa meninggal. Kami harus pindah rumah."

Aksa menoleh. Tatapan matanya berubah. Ada sesuatu dalam suara Artha—ketegaran yang terasa dibuat-buat.

"Aku… ikut sedih," gumamnya.

Artha tersenyum tipis. "Nggak usah. Itu udah lama. Lagipula, aku masih punya Mama."

Mereka berhenti di pertigaan kecil. Hujan mulai mereda, hanya menyisakan embun di udara.

"Di sini aja ya. Makasih udah nebengin," ucap Artha sambil menatap Aksa.

Aksa mengangguk. Tapi sebelum Artha benar-benar pergi, ia berkata, "Artha."

Gadis itu menoleh.

"Aku senang kamu duduk di kelasku."

Artha terdiam sesaat. Kemudian ia tersenyum. "Aku juga, Aksa."

Dan dengan langkah ringan, Artha berjalan pergi. Aksa berdiri memandangi punggungnya hingga hilang di belokan.

Keesokan harinya, suasana kelas tidak jauh berbeda. Beberapa siswa masih membicarakan hujan semalam, ada juga yang mengeluh tentang PR yang sudah mulai menumpuk. Namun, Aksa merasa pagi ini sedikit… lebih ringan.

Saat ia masuk kelas, Artha sudah ada di bangkunya. Rambutnya dikuncir dua sisi, dengan pita kecil berwarna biru. Ia tampak sedang bercanda dengan Aira dan Bianca, lalu tiba-tiba menoleh ke arah Aksa dan melambai kecil.

Aksa tak membalas lambaian itu, hanya mengangguk singkat sambil berjalan ke tempat duduknya. Tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan senyum tipis yang muncul begitu saja.

Hazel yang duduk di belakangnya langsung menyikut. "Oi, bro. Beneran lo ya? Baru dua hari sekolah, udah ngelambai-lambai sama ratu sekolah."

"Dia yang lambaikan tangan," bantah Aksa singkat.

"Dan lo yang ngasih hatinya, ya?" sahut Keira yang ikut mendengar. Ia dan Hazel tertawa puas melihat Aksa yang langsung menutup wajah dengan buku.

Tak lama, guru wali kelas masuk membawa pengumuman baru.

"Minggu depan kalian mulai kerja kelompok ya, pastikan sudah punya konsep. Presentasi kreatif ini nilainya besar, jadi jangan disepelekan."

Bianca langsung berdiri dan memutar badannya ke arah kelompoknya. "Kita jadi bikin drama misteri 'kan? Yuk, rapat habis sekolah."

"Di mana?" tanya Lily.

"Aula belakang kosong jam empat. Kita bisa pake tempat itu."

Artha setuju. "Oke, kita semua bisa ke sana. Aksa, kamu ikut, ya?"

"Ya," jawab Aksa tanpa ragu. Hazel yang duduk di belakang hanya mengangkat dua jempol sambil berbisik ke Keira, "Liat tuh, dia udah jinak."

Hari berjalan cepat. Begitu bel terakhir berbunyi, rombongan kecil mereka menuju aula belakang sekolah. Aula itu luas, dengan lantai kayu yang sedikit berderit dan jendela tinggi yang membiarkan cahaya sore masuk. Suasananya agak tua, tapi nyaman.

"Tempatnya agak creepy, ya," gumam Aira sambil memeluk lengan Artha.

"Pas banget buat latihan drama misteri," tambah Bianca.

Mereka duduk melingkar di tengah ruangan. Bianca membuka laptop, sementara Lily mulai mencorat-coret di buku sketsa.

"Aku udah kepikiran settingnya," kata Bianca. "Sekolah elit yang punya ruang rahasia di bawah tanah. Ada satu siswa hilang, dan satu-satunya petunjuk… adalah buku harian yang ditemukan di ruang seni."

"Wah," komentar Artha. "Kayak novel misteri gitu. Aku suka!"

"Siapa yang jadi pemeran utama?" tanya Aira sambil melirik sekeliling.

Mata semua orang langsung berpaling ke Aksa.

"Eh? Aku?" tanya Aksa, bingung.

Artha tertawa. "Iya dong. Kamu kan yang paling cocok jadi karakter pendiam penuh rahasia. Itu Aksa banget."

"Gue nggak bisa akting."

"Bisa kok," sahut Lily. "Nanti kita bantu. Cuma perlu jadi diri sendiri aja, kayak sekarang."

Aksa menghela napas. "Oke… asal jangan disuruh nari atau nyanyi aja."

Hazel yang diam-diam ikut duduk di pinggir aula, nyengir. "Kalau lo nyanyi, kita semua yang pulang lebih awal, bro."

Semua tertawa. Suasana rapat kelompok menjadi santai dan akrab. Artha mulai membagikan peran dan tugas. Ia terlihat natural sebagai pemimpin kelompok—cerdas, tanggap, dan tahu kapan harus bercanda.

Saat mereka istirahat sejenak, Artha duduk di samping Aksa. Ia membuka kotak bekal kecil yang ternyata berisi potongan jeruk dan biskuit.

"Mau?" tawarnya sambil menyodorkan jeruk.

Aksa ragu sejenak, tapi kemudian mengambil satu. "Thanks."

"Biasanya aku bawa bekal kalau sore. Soalnya pernah kelaparan waktu kegiatan ekskul. Nggak enak banget."

"Bener juga," sahut Aksa sambil mengunyah.

Artha menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, "Aku seneng kamu mau ikut kerja kelompok bareng kita."

Aksa menoleh. "Kenapa?"

"Soalnya… aku tahu rasanya jadi orang baru. Susah masuk ke lingkaran orang lain. Tapi kamu keliatan nggak maksa, dan malah cocok banget sama kita semua."

Aksa tidak langsung menjawab. Tapi dalam hatinya, ia merasa tersentuh.

"Padahal aku pikir sekolah ini bakal sama aja kayak sebelumnya," ucap Aksa lirih. "Tapi ternyata, beda."

Artha menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang beda?"

"Orang-orangnya."

Senyum Artha mengembang. Tapi belum sempat ia berkata apa-apa, Hazel memanggil, "Artha, Aksa, sini dulu. Kita mau simulasikan adegan awal."

Keduanya bangkit dan kembali ke tengah aula. Latihan berlangsung seru. Mereka mencoba berbagai adegan, bahkan tertawa-tawa saat Aksa salah menyebutkan nama tokoh dan Bianca spontan menjadikannya adegan improvisasi.

Sore mulai turun. Cahaya keemasan masuk melalui jendela aula, memberi nuansa hangat yang anehnya terasa… seperti rumah.

Setelah latihan, mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Aksa berjalan di samping Artha, sementara Hazel dan Keira sibuk berdebat tentang siapa yang pantas jadi antagonis dalam cerita.

"Aku pikir, Zen aja yang jadi antagonis," kata Bianca. "Dia punya suara berat dan wajah misterius."

"Zen?" gumam Aksa pelan. Nama itu terdengar asing, tapi terasa familiar.

"Anak kelas 11-A," jawab Lily. "Katanya anaknya pinter banget tapi jarang bersosialisasi. Denger-denger, dia punya latar belakang unik. Cocok lah buat peran misterius."

Aksa hanya mengangguk pelan. Tapi sesuatu dalam benaknya seperti terusik. Nama itu… seolah pernah ia dengar dalam mimpi, atau dalam bayangan samar yang tak jelas.

Setelah berpamitan, Artha kembali bersama Bianca dan Lily, sedangkan Aksa pulang berdua dengan Hazel.

"Lo ngelamun lagi," kata Hazel tiba-tiba.

Aksa mengerjapkan mata. "Nggak. Cuma mikirin tadi."

"Lo udah mulai nyaman, ya, di sini?"

Aksa mengangguk. "Lumayan."

Hazel menatap sahabatnya sejenak. "Gue tahu lo nggak gampang deket sama orang. Tapi… Artha itu beda ya?"

Aksa tak menjawab, tapi tatapan matanya mengarah ke langit. Senja sudah turun. Angin sore membawa bau rumput dan tanah yang basah oleh hujan kemarin. Ada sesuatu dalam hati Aksa yang pelan-pelan mencair.

Keesokan harinya, langit begitu cerah. Pagi yang sempurna untuk memulai hari baru di sekolah. Aksa datang sedikit lebih awal dari biasanya. Koridor masih sepi. Ia berjalan perlahan menuju kelas, dan mendapati bahwa Artha sudah ada di dalam ruangan, duduk di bangkunya sambil mendengarkan musik lewat earphone putih.

Aksa berhenti sejenak di ambang pintu, memperhatikan Artha dari jauh. Cahaya matahari pagi menyusup dari jendela, mengenai rambut Artha yang tergerai rapi. Ia tampak damai. Tak menyadari kehadiran siapa pun.

Entah kenapa, Aksa merasa adegan itu… familiar.

"Apa aku pernah melihat dia seperti ini sebelumnya…?"

Langkah Aksa membangunkan Artha dari lamunannya. Ia menoleh, tersenyum kecil, dan melepas salah satu earphone-nya.

"Pagi, Aksa," sapanya ringan.

Aksa mengangguk. "Pagi."

Ada jeda singkat. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Lebih seperti… keheningan yang nyaman.

Artha mengangkat kotak kecil dari meja. "Mau roti? Aku bawa dua."

Aksa sempat ragu, lalu duduk perlahan di kursinya. "Boleh."

Mereka duduk bersebelahan, memakan roti dalam diam. Tapi tak ada kecanggungan. Sesekali, Artha melirik ke arah Aksa dan tersenyum saat melihatnya makan dengan lahap, meski berusaha tetap tenang.

"Eh, kamu suka rasa stroberi ya?" tanyanya.

Aksa mengangguk. "Kenapa nanya gitu?"

"Soalnya kemarin waktu di kantin, kamu ambil jus stroberi. Terus sekarang kamu makan yang stroberi juga."

Aksa menatap roti di tangannya. "Nggak sadar."

Artha tertawa pelan. "Aku suka rasa matcha. Jadi kalau kamu lihat aku lagi diem, mungkin aku lagi khusyuk menikmati sesuatu yang pahit-pahit."

Aksa ikut tersenyum. "Tapi kamu nggak keliatan suka hal pahit."

"Pahit bukan berarti nggak disukai, kan?" balas Artha.

Jawaban itu membuat Aksa berpikir sejenak. Dalam sekali. Lebih dalam dari sekadar rasa makanan.

Satu per satu siswa mulai berdatangan. Hazel muncul sambil menguap lebar, rambutnya masih agak acak-acakan.

"Gila, gue mimpi dikejar zombie tadi malam," katanya sambil menjatuhkan tasnya ke meja.

Keira menyusul dari belakang, duduk sambil menyisir rambutnya yang sempat kusut karena angin pagi.

"Lo tiap hari mimpi aneh, Hazel. Tapi tetap hidup. Kuat juga," ejek Keira sambil tersenyum.

Hazel mengangkat alis. "Karena gue punya kamu, tentu saja."

Keira pura-pura jijik, tapi wajahnya memerah.

Sementara itu, Artha bangkit dan kembali ke bangkunya. Sebelum pergi, ia sempat menoleh sebentar ke Aksa.

"Aku simpan satu roti lagi. Nanti kalau kamu lapar, tinggal bilang."

Aksa hanya menjawab dengan anggukan kecil. Tapi pipinya, tanpa sadar, mulai hangat.

Pelajaran dimulai. Hari itu terasa berlalu cepat karena di sela-sela jam kosong, kelompok mereka mulai mendiskusikan properti yang dibutuhkan untuk drama misteri. Bianca tampak antusias ingin meminjam mantel tua dari ayahnya. Aira menyarankan menggunakan proyektor untuk menampilkan suasana "ruang rahasia."

"Gue bisa edit videonya nanti," kata Lily, mengangkat flashdisk dari dalam saku.

"Wah, kamu keren juga!" puji Artha.

"Biasa aja. Aku hobi edit dari dulu," jawab Lily sambil tersenyum bangga.

Saat jam pelajaran berakhir, Artha kembali menghampiri Aksa.

"Kamu ada waktu hari ini?"

Aksa menoleh. "Kenapa?"

"Kita mau ke perpustakaan kota. Cari referensi buat latar cerita. Kata Bianca, ada buku tentang sejarah sekolah-sekolah tua di daerah sini."

Aksa sempat berpikir sejenak. "Boleh. Jam berapa?"

"Jam empat. Kita kumpul di gerbang, ya?"

"Oke."

Hazel yang mendengar dari belakang langsung bersuara, "Wah wah wah, ini udah tahap kencan akademik, nih."

"Hazel!" seru Keira sambil menutup mulut pacarnya.

Sore itu, Aksa berjalan menuju gerbang dengan langkah ringan. Di sana, Artha sudah menunggunya bersama Aira dan Lily. Bianca menyusul lima menit kemudian sambil tergopoh-gopoh membawa map besar.

"Maaf! Tadi ketinggalan dompet!" katanya sambil terengah.

Perjalanan ke perpustakaan cukup singkat, hanya sepuluh menit naik angkot. Sepanjang jalan, Aksa duduk di sebelah jendela, mendengarkan celotehan Artha dan Aira tentang guru-guru baru yang tampak mencurigakan.

"Pak Dirga itu pasti punya latar belakang rahasia. Aku yakin!" ujar Aira.

"Kayaknya dia mantan pesulap gagal," timpal Lily sambil terkekeh.

Sesampainya di perpustakaan, mereka disambut udara sejuk dan aroma buku lama. Ruangan besar dengan rak-rak tinggi yang penuh sejarah.

"Ini surga," bisik Artha sambil menatap sekeliling.

Mereka berpencar mencari referensi. Aksa dan Artha tanpa sengaja menemukan diri mereka berdiri di rak yang sama. Keduanya sama-sama mencari buku yang berkaitan dengan sejarah sekolah tua.

"Lucu ya," kata Artha tiba-tiba. "Kita sering banget tanpa sadar… berada di tempat yang sama."

Aksa memandangnya. "Kamu percaya takdir?"

Artha tak langsung menjawab. Ia mengusap punggung buku tua yang berjajar rapi, lalu menoleh pelan.

"Aku percaya… bahwa beberapa pertemuan itu bukan kebetulan. Tapi bukan juga takdir. Mungkin… kesempatan yang dikasih alam buat ngubah hidup kita."

Aksa mematung sejenak. Lalu tersenyum samar. "Kamu terlalu puitis buat anak SMA."

Artha tertawa. "Aku suka mikir hal-hal nggak penting. Tapi kadang dari yang nggak penting itu, bisa jadi penting banget."

Aksa mengangguk pelan. "Mungkin kamu bener."

Saat mereka berjalan menuju meja baca, Artha tanpa sadar menyenggol lengan Aksa. Lembut. Tapi cukup untuk membuat keduanya saling berpaling sejenak.

Hari mulai gelap ketika mereka selesai. Di luar, langit sudah berubah jingga.

"Besok kita latihan lagi di aula, ya," kata Bianca sambil melambaikan tangan saat mereka berpisah.

Aksa dan Artha berjalan berdua lebih lambat dari yang lain.

"Kamu capek?" tanya Artha pelan.

"Nggak. Cuma… udah lama nggak ngobrol segini banyak."

Artha menatapnya, tersenyum. "Berarti kamu perlu lebih sering ngobrol. Biar nggak terlalu lama sendirian di kepala kamu sendiri."

Kalimat itu… menancap dalam di hati Aksa.

Mereka berhenti di pertigaan jalan, tempat mereka harus berpisah.

"Artha."

"Iya?"

"Makasih."

Artha mengedipkan mata. "Untuk?"

"Segalanya. Hari ini… menyenangkan."

Artha tertawa pelan. "Kamu baru tahu? Hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidup kita. Meski kita belum tahu kenapa."

Dan ketika Aksa berjalan pulang, ia merasa… dadanya terasa hangat. Seperti ada yang sedang tumbuh di sana. Perlahan. Tapi pasti.