Udara di dalam PosRiset03 terasa lebih berat setelah suara Unit5 bergema di lorong itu. Senyuman kecil anak itu tidak membawa kehangatan, melainkan dingin yang asing—senyuman orang yang tidak tahu apakah ia sedang hidup, bermimpi, atau hanya sisa dari eksperimen gagal.
Jainal berlutut perlahan, menurunkan tudungnya agar wajahnya terlihat jelas.
> “Aku bukan bayangan,” katanya. “Aku di sini... untuk mengerti.”
Unit5 memiringkan kepala. “Mengerti? Kau pikir bisa mengerti... mereka membalikkepalaku agar aku lupa rasa takut.”
Ia menunjuk kepalanya sendiri, lalu dadanya.
> “Tapi rasadingin... tetap ada di sini.”
---
Jainal tidak menjawab. Ia tahu ini bukan waktu untuk bertanya. Ia hanya duduk diam, membuka kantung kecil dari jubahnya, dan menyerahkan burung kayu kecil—sama seperti yang ia berikan kepada anak pertama dari DesaKarsel.
Unit5 menerimanya, memandangnya sejenak... lalu berkata, “Ini... mirip benda yang diberikan ‘Ayah Nomor 2’... sebelum dia meledak.”
> “Ayah Nomor 2?” tanya Jainal perlahan.
“Yang suka membaca. Yang bilang aku harus tahan rasagatal dalam kepala.”
“Apa yang terjadi padanya?”
“Dia bilang aku berhasil... tapi dinding pecah. Ada darah. Banyak. Dan aku... berteriak sampai semuanya hilang.”
---
Suasana lorong itu hening. Panel kristal masih berkedip lemah. Di seberang pod pecah, Unit 5 duduk memeluk lutut, burung kayu di tangan kecilnya. Ia masih anak-anak. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya—energi sihir yang berdenyut tidak stabil, hanya terasa oleh indra Jainal yang terlatih.
> “Kau bisa merasakannya, ya?” tanya Unit 5 tanpa melihat.
“Merasa apa?”
“Ledakankecildalamdagingku. Mereka bilang... kalau aku terlalu sedih, aku bisa membakar ruangan.”
Jainal menarik napas pelan.
> “Apakah kau ingin meninggalkan tempat ini?”
Anak itu menggeleng.
“Kalau aku keluar... apa aku akan jadi monster?”
---
Jainal diam sejenak. Lalu berdiri dan mendekat, menepuk pelan kepala anak itu.
> “Kalau kau ingin menjadi monster, tidak ada yang bisa menghentikanmu. Tapi kalau kau ingin hidup sebagai orang biasa... aku akan pastikan kau bisa belajar caranya.”
Untuk pertama kalinya, wajah Unit 5 menegang—tidak percaya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tak menangis. Ia hanya menggenggam burung kayu itu erat.
> “...Kau bukan orang laboratorium,” katanya akhirnya.
“Aku bukan.”
“Kau... mungkin bohong. Tapi aku lebih suka bohongmu... daripada kebenaran mereka.”
---
Beberapa menit kemudian, Jainal memeriksa lorong untuk memastikan aman. Ia mengikat jubah tambahan pada Unit 5, dan membawa anak itu dalam gendongan belakang.
Sebelum meninggalkan markas, Jainal berhenti di depan dinding logam dan mencoretkan satu kalimat dengan kapur putih:
> "Jiwa bukan alat. Dan anak-anak bukan senjata."
Lalu mereka menghilang dalam bayangan lorong, menuju celah gunung. Satu anak lagi diselamatkan. Tapi kebenaran... baru mulai menunjukkan wajahnya.