Tiga hari setelah meninggalkan reruntuhan Karsel, Jainal tiba di kota kecil bernama Thural—sebuah pusat logistik dan peristirahatan para pedagang, tentara, dan pelintas batas wilayah utara. Letaknya strategis: jauh dari medan perang, tapi cukup dekat untuk mencium aroma busuk politik yang menyebar dari ibukota barat.
Ia masuk tanpa suara, mengenakan jubah usangnya dengan tudung menutup wajah. Anak kecil yang bersamanya ia titipkan sementara kepada biarawati penjaga rumah singgah. Biara ini dikenal menerima anak yatim tanpa banyak tanya.
> “Istirahatlah dulu,” kata Jainal pada sang anak. “Aku akan kembali malam nanti.”
Anak itu hanya menatapnya diam, namun genggaman kecil di lengan Jainal cukup untuk menyampaikan sesuatu: jangan hilang.
---
Jainal tahu bahwa informasi adalah senjata di dunia yang sedang terbakar ini. Dan tempat terbaik untuk mencarinya bukan kantor resmi, melainkan kedai tua yang hampir roboh, di sudut pasar logam kota.
"Besi Tumpul", begitu nama tempat itu. Isinya bukan hanya pemabuk, tapi juga bekas tentara, pemburu hadiah, penyelundup, dan makelar gosip politik.
Jainal duduk, memesan teh fermentasi murahan, dan mendengarkan. Ia tidak butuh nama, hanya potongan kalimat. Dan potongan-potongan itu datang cepat.
> “Mereka bilang pasukan khusus udah dikirim ke timur laut...”
“...desa-desa kosong dibeli pihak ketiga, katanya buat tambang, tapi nggak masuk akal.”
“...ada alat magitek yang bisa meledak tanpa mantra? Serius?”
“...pemerintah diam, tapi gue lihat peti-peti mereka dikawal senjata berat...”
Kata-kata itu seperti roda—terus bergerak, terus berputar, menimbulkan suara yang hanya bisa ditangkap oleh telinga yang terlatih.
---
Malam tiba. Jainal menyusuri gang belakang kedai, lalu menemui seseorang yang sudah ia incar sejak sore: Arven, informan paruh baya yang terkenal menjual informasi kecil dengan harga murah, tapi sekali-sekali mendapatkan potongan emas.
> “Kamu bukan orang biasa. Topengmu bagus, tapi posturmu terlalu tegak buat rakyat jelata,” kata Arven.
Jainal tak menjawab. Ia hanya mengeluarkan pelat logam kecil dari Desa Karsel.
Mata Arven membulat. Ia melirik kanan-kiri, lalu membisik, “Itu... produksi Pabrik 17, milik pihak netral. Tapi dalam konflik ini, netralitas cuma berarti bayaran lebih mahal.”
> “Siapa yang pesan peluru itu?”
“Nggak tahu pasti. Tapi akhir-akhir ini, ada banyak pengiriman tak resmi ke arah Pegunungan Timur. Lewat jalur rahasia. Bukan buat perang terbuka, tapi buat... sesuatu.”
Jainal mengangguk, lalu melemparkan dua koin tembaga ke arah Arven. Informasi kecil, tapi cukup untuk mulai merangkai benang.
---
Ketika kembali ke biara, anak itu sudah tertidur. Tapi di sampingnya ada boneka kecil—baru, bersih, dan dibuat dari kain biara.
Jainal duduk di lantai dekat jendela. Di luar, roda-roda terus bergerak. Politik, perdagangan, perang, dan teknologi berputar di bawah kendali tangan-tangan tak terlihat.
> “Dunia ini... tidak terbakar dengan sendirinya. Ada yang menyalakan apinya. Dan aku akan mencari tahu siapa.”