Cherreads

a girl

"If I were a boy, would you like me then?"

————

Hari kelulusan, hari yang membahagiakan tetapi mengharukan. Hari terakhir di mana kita bertemu dengan orang-orang yang akan sulit kita temui atau bahkan tidak bertemu lagi di masa depan. Hari kelulusan sekolah menengah atas yang penuh suka dan duka.

Di atas panggung, terlihat guru-guru yang duduk berjejeran sembari mendengarkan sambutan dari ketua komite. Di belakang guru-guru penting yang terdiri dari kepala sekolah, dan wakil sekolah, ada pula guru-guru wali kelas dari kelas dua belas.

Aku menoleh ke samping, orang-orang tampak saling berbicara satu sama lain, tetapi mungkin tidak ada yang memedulikanku di sini. Semua memakai baju adat, terlebih batik, untuk perempuan tentu saja mereka akan mempercantik diri karena ini acara resmi.

Aku pun begitu, di pagi hari yang membosankan ibuku sudah mencercaku untuk memakai riasan. Karena banyak kesalahan yang kubuat, akhirnya pun beliau yang memakaikan pada wajahku.

Namun, aku begitu bosan dengan acara yang hanya duduk sembari mendengarkan sambutan-sambutan itu. Apalagi dengan teman sekelasku aku juga tidak akrab, akhirnya aku memilih untuk membuka ponselku dan membuka aplikasiku. Di sana, chat dari grup teman-temanku begitu ramai dengan ucapan selamat hari kelulusan. Aku tertawa kecil, menyadari jika setelah ini mungkin aku aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi.

Mereka semua berbeda kelas denganku, bahkan kelasnya ditaruh di baris luar, kelasku di dalam, oleh karenanya aku tidak bisa menemui mereka.

Jariku bergulir di atas ponselku untuk mencari kontak seseorang, saat ketemu bibirku tersenyum cerah karena dia sudah membalas pesanku yang kukirim sejak tadi pagi.

Cakra

Aku sudah datengg

Kamu dimanaa?

Violin

Aku di dalemm

Kelasmu di luar yyaa

Cakra

Sombong amat lu

Panas cuy

Violin

Kasian makanya di dalam dong!

Dan chat itu akan terus berlanjut sampai kelasnya dipanggil di panggung untuk berjabat tangan pada kepala sekolah sampai wali kelas. Aku melihatnya, sosok pemuda berpostur tinggi dengan kacamatanya yang kaku menunggu untuk dipanggil namanya di atas panggung.

"Cakra Dean Pratama."

Dengan langkahnya yang kaku dia berjalan di atas panggung, lalu berjabat tangan dengan kepala sekolah dan wakil sekolah. Kemudian, berswafoto dengan wali kelas sembari memegang album kelulusan. Aku tidak mau ketinggalan, sejak dia berjalan di atas panggung sampai akhirnya turun, aku memvideonya dari awal sampai akhir.

Cakra Dean Pratama, sahabatku sejak sekolah menengah pertama sekaligus cinta pertamaku. Namun, cinta pertama yang mungkin akan berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Tidak, mungkin memang bertepuk sebelah tangan.

Aku tahu itu karena dia tidak pernah memandangku seperti aku memandangnya, dia tidak memiliki ketertarikan seinci pun denganku.

Seusai proses kelulusan, aku dan teman-temanku berkumpul untuk melakukan swafoto di hari kelulusan. Aku juga mengajaknya untuk berfoto, tetapi dia justru bersama dengan teman-temannya yang lain, dan teman-teman itu semuanya segender denganku.

Aku tahu, aku memang bukan siapa-siapanya untuk cemburu seperti itu, tapi tidak bisakah kau meluangkan waktumu untukku?

Karena patah hati, akhirnya aku tidak mau berbicara dengannya dan memilih berfoto sendirian. Bahkan sampai akhir hari kelulusan, aku tidak berbicara secara langsung dengannya.

Aku berpikir untuk apa aku berharap. Aku berpikir untuk apa aku memvalidasi semua perasaan yang benar-benar berakhir tidak ada apa-apa. Setelah tiga tahun lamanya, bahkan dia tahu aku selama ini menyukainya di sekolah menengah atas, dia tidak memikirkan hal itu satu pun.

Violin

Aku udah capek ngeharapin dirimu

Kenapa aku waktu sehabis ujian nasional masih menghampiri kamu buat sekedar nemenin kamu?

Kenapa aku selalu ngehampiri kamu?

Apa kamu engga bisa ngeliat aku kaya aku ngeliat kamu?

Kamu nyadar selama ini, kenapa kamu ga ngomong apapun?

Kamu tahu meski aku makan hati sampai akhir aku sesuka itu ke kamu, aku bodoh ya kaya gini

Aku bukan siapa-siapamu, tapi kenapa aku cemburu kamu sama temen-temenmu?

Cakra

Kamu temenku

Di rumah, seusai kelulusan, aku menangis seperti orang bodoh saat menyatakan perasaanku yang sudah tidak bisa kutahan. Meski menangis seperti itu, aku merasa ada kelegaan di hati saat akhirnya aku bisa mengungkapkannya. Namun, jawaban setelahnya makin membuatku sakit.

Cakra

Maaf ya

Cut off aja aku, blokir nomorku

Aku makin menangis seperti orang bodoh. Di sisi lain aku ingin melakukannya agar aku bisa segera move on. Namun, tali persahabatan yang sejak awal kita bangun hingga sekokoh itu benar-benar bisa hancur tanpa jejak. Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa memutuskan persahabatan kita seperti itu padahal aku tahu baginya aku juga cukup berarti.

Aku egois, dan aku tidak ingin hal itu terjadi.

Violin

Aku minta maaf

Ayo temenan aja

Cakra

Lah, terus gimana sama perasaanmu?

Tangisanku makin pecah.

Violin

Kalau kita virtual, mungkin engga akan

Semoga waktu bisa ngebebasin perasaanku ke kamu

Cakra

Oke

Ada selang waktu setelah dia mengatakan itu, aku juga berusaha menenangkan diriku setelah tahu jika aku akan ditolak kesekian kalinya. Aku yang menyedihkan.

Cakra

Violin

Kamu tahu kenapa aku nolak kamu

Violin

Apa?

Cakra

Kamu engga kurang, dari sisi manapun

Ini berkaitan dengan banget sama rahasiaku

Rahasia terdalam

Violin

Apa?

Cakra

Coba tebak

Violin

Kamu mau fokus kuliah?

Cakra

Gak

Violin

Lah terus apa

Cakra

Kalau kamu kukasih tahu, cuma kamu yang pertama tahu

Aku menggigit jariku karena kebingungan sebenarnya apa yang dia maksud. Salah satu hal terbersit dalam pikiranku adalah hal itu, tapi mungkinkah?

Cakra

Aku sebenarnya gay

Dan sejak saat itu, aku makin membenci diriku sendiri. Kita berteman seperti sedia kala bahkan seolah pura-pura sudah melupakan hal itu. Tetapi terkadang, aku menangis saat membalas chat-nya padahal topiknya berisi hal yang lucu.

Sayangnya hal lucu itu berkaitan tentang cinta sesama pria.

Aku menangis, bingung, dan seolah mayat hidup saat aku tahu jika dia seperti itu. Bahkan, aku masih mencari celah jika saja itu tidak, mungkin saja dia tidak seperti itu dan menyuruhku untuk menyerah saja.

Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa? Bagaimana bisa seperti itu? Kenapa dia tidak mengatakannya sejak awal? Bukankah dia bilang kita teman dekat? Kenapa dia tidak bilang? Kenapa hanya aku yang merasa dibodohi selama ini?

Aku merasa ditipu hampir tiga tahun lamanya.

Di awal kelas sepuluh, aku yang selalu menghampiri dirinya, menemaninya kemanapun itu, entah itu kantin sekolah, perpustakaan, lorong sekolah, kelas, depan kelas, di semua tempat titik-titik sekolah menengah atasku. Di kelas sebelas kita juga masih sedekat itu hingga orang-orang selalu mengira kita berpacaran. Di les-les an pun, aku bersamanya, kita duduk sebelahan, kita beristirahat bersama. Hal yang selalu kita lakukan adalah menyusuri pinggir jalan raya dengan hiruk pikuk perkotaannya. Lalu di kelas dua belas, kita selalu berada di depan kelas bersama, balkon kelas dengan angin sepoi-sepoi yang menenangkan, aku bersama dengannya sembari bersenda gurau. Entah itu saat waktu istirahat, saat kelasnya dan kelasku sama-sama kosong, atau waktu apapun. Kita juga membolos bersama, saat dia memintaku untuk menemaninya di kantin dan meninggalkan pelajaran matematika lanjut hanya demi bersamanya.

Aku bertanya, apakah itu tidak cukup?

Bagaimana bisa kita yang selalu bersama sepanjang waktu berakhir dengan kamu yang ternyata bahkan tidak menyukai aku dan sesamaku?

Siapa orang yang kamu suka jika itu pria?

Jika aku pria, apakah kamu akan menyukaiku?

Terlalu banyak hal yang kukorbankan demi dirimu yang justru berakhir dengan sia-sia yang menyakitkan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahuinya lebih awal, mungkin aku tidak akan jatuh terlalu dalam ke perasaanku sendiri.

Aku yang salah, benar ini salahku, meski aku sejak dahulu juga berusaha untuk tidak terpaku pada dirimu pun pada akhirnya tetap terjadi. Aku menyukaimu meski kamu berbeda jalan. Aku terlalu menyukaimu apa adanya karena kukira kita akan berakhir bersama. Kukira itu kamu, tapi ternyata engga.

——

Hidup setelah lulus sekolah menengah atas ternyata tidak semulus yang kupikirkan, ada banyak hal yang terasa aneh, menjadi semi pengangguran karena diriku yang masih les untuk mandiri. Lalu saat melihat ke arah sekitar, dunia terasa begitu besar dan kejam.

Aku berusaha untuk tetap produktif meskipun harus jauh dari orang-orang yang kusayangi dan lebih memilih untuk mencintai diri sendiri. Namun di suatu waktu, aku menulis sebuah keinginan di buku diary-ku yang berisikan dirinya, sosok yang kuimpikan itu.

Di atas lembar kertas yang besar, aku menuliskan sebuah kata-kata.

"In another life, If I were a boy, then I will love you as much as I do."

"Hope this dreams in other life comes true."

— Violin to Cakra

Aku menaruh buku itu kembali ke dalam laci meja belajarku. Lalu, berbaring di atas kasurku yang empuk dan menarik selimut. Aku melamun sejenak sampai akhirnya mataku menutup. Namun tanpa kusadari, laciku bercahaya begitu terang hingga menemuhi seisi kamar.

More Chapters