Cherreads

Chapter 2 - Bab 2 : Kalung Misterius

Tetesan keringat sejernih kristal jatuh ke tanah lembab. Langit kelabu membentang di atas kota pembuangan sampah, menambah kesan muram pada tempat terbuang ini.

Kaki kecil Fajar menyentuh jalanan berbatu yang penuh lubang, memercikkan air berlumpur setiap langkahnya.

Di sekelilingnya, tikus cokelat sebesar lengan anak kecil menyelinap di antara puing-puing. Bau anyir mayat membusuk menusuk hidung, memaksanya menahan napas sejenak.

Angin kencang membawa debu dan pasir, mencambuk wajahnya. Matanya memerah, napasnya tersengal, tetapi ia terus berlari. Sudah berjam-jam, namun ia tidak boleh berhenti.

Di kejauhan, awan hitam menggumpal. Kilat biru menyambar langit kelam, menggelegar bagaikan amarah dewa yang menghukum dunia tanpa harapan ini. Hujan mulai turun, membawa hawa dingin yang menggigit.

Fajar menggigit bibir, menekan dadanya yang terluka. Darah masih menetes, bercampur dengan air hujan yang membasahi pakaian lusuhnya. Tubuhnya menggigil. Ia benci musim dingin.

Fajar tidak sendiri, sepanjang penglihatannya, ada banyak sosok yang melarikan diri dari pusat pembuangan sampah menuju kota pembuangan sampah.

Beberapa pemulung tampak dari kejauhan. Ada yang berjalan sendiri, mata mereka awas, senjata tersembunyi di balik pakaian lusuh. Mereka adalah pemulung soliter.

Ada pula yang berkelompok, wajah mereka penuh tipu muslihat, siap merampas apa pun yang bisa dapat. Pemulung ini membentuk kelompok untuk meningkatkan keamanan dan merampok bila ada kesempatan.

Fajar berhenti sejenak, mengamati lorong sempit di depannya. Bangunan reyot di kiri dan kanan menciptakan bayangan gelap yang mencekam. Suasana sunyi, terlalu sunyi membuat bulu kuduk merinding.

Jejak kaki samar terlihat di tanah becek. Ia mundur perlahan, menajamkan penglihatan dan pendengarannya.

Tidak ada suara, tapi firasat nya menjerit. Detik berikutnya dia berbalik menuju arah lain.

"Ini penyergapan" Simpulnya.

Tak lama setelah dia pergi, teriakan terdengar, sesaat kemudian darah mengalir dari gang tersebut, keheningan kembali, seolah tak terjadi apapun.

Sudah beberapa kali fajar mengambil jalan memutar setelah mencurigai adanya penyergapan.

Seringkali bukti tidak di perlukan, insting akan menyelamatkan anda dari pembunuhan.

Berjam-jam berlalu. Pemulung yang terlihat menjadi lebih sedikit, hingga akhirnya tidak nampak sama sekali. Namun Fajar tidak melonggarkan kewaspadaannya.

Di hadapannya, bangunan batu dan kayu setengah runtuh berdiri angkuh melawan waktu.

Air mengalir melalui celah-celah atap yang berlubang, menciptakan genangan di lantai tanah dan kayu lapuk.

Bagi Fajar, tempat ini cukup baik untuk bersembunyi.

"Tempat yang baik untuk bersembunyi, sekaligus cocok untuk menyergap mangsa". Wajah fajar yang pucat tampak serius.

Matanya menyipit menatap celah gelap dalam ruangan. Detak jantungnya cepat, dan langkah kakinya seimbang, tangan kanannya menarik belati di balik baju longgarnya.

Pandangannya menyapu setiap sudut. Beberapa saat kemudian dia mengambil nafas lega.

"Tidak ada orang lain.

Langkahnya terhenti di sudut gelap. Ia menahan erangan saat tubuhnya ambruk. Luka di dadanya berdenyut nyeri. Dengan jari gemetar, ia menyentuh sayatan itu.

Daging merah kehitaman tampak menganga, pinggirannya mulai kehijauan—racun. Jika tidak segera dikeluarkan, ia tidak akan bertahan esok hari.

Fajar merogoh kantongnya, hendak mengambil bubuk penyembuh, tapi tiba-tiba…

Cahaya biru berpendar dari lehernya.

Kalung kecil berbentuk matahari yang selama ini tampak biasa kini bersinar, cahayanya merayap melalui celah jarinya seperti api yang tumbuh perlahan.

Ruangan yang tadinya gelap berubah terang. Genangan air di lantai memantulkan kilauan biru seperti cermin retak. Suasana ini terasa kuno dan misterius, seolah dunia membeku di hadapan cahaya itu.

Fajar terpaku.

Tiba-tiba, rasa panas menjalar dari kalung itu, menyusup ke dalam lukanya. Kilatan biru menari di udara seperti bintang jatuh di malam kelam.

 “Aaarrgghh!!”

Ia meringis kesakitan. Racun hitam meleleh keluar dari kulitnya, jatuh ke lantai seperti tinta busuk. Hidungnya menangkap bau anyir yang menyengat, sementara tubuhnya di penuhi keringat.

Namun beberapa saat kemudian, kehangatan lembut menggantikan rasa sakit itu. Luka di dadanya menutup dengan cepat, meninggalkan bekas merah muda tipis seperti baru sembuh.

Fajar terengah. Matanya berbinar biru, menatap kalung itu dengan takjub.

“Apa kau… menyelamatkanku?”

Tangannya gemetar saat menyentuh liontin logam itu. Kini cahaya biru perlahan meredup, kembali menjadi kalung biasa.

Saat itulah, ingatannya melayang ke suara lembut ibunya bertahun-tahun lalu.

“Fajar, ini benda berharga. Apapun yang terjadi, jagalah kalung ini!”

Ibunya berkata dengan nada serius saat mengalungkan kalung itu di lehernya.

Mengapa ibunya sangat mementingkan benda ini? Apa sebenarnya rahasia di balik kalung ini ?

"Apakah benda ini adalah benda spiritual ? Tapi mengapa aku tidak menyadarinya? Lalu mengapa ibu tidak memberitahuku asal kalung ini ?".

Terlalu banyak pertanyaan di benaknya. bahkan dia tidak tahu mengapa dan kemana ibunya pergi.

Berbeda dengan ayahnya yang meninggal di medan perang, ibunya meninggalkan fajar setahun sebelum perang besar sekte pedang suci.

Sampai fajar terbuang di tanah ini, dia tidak mendapat jawaban kemana ibunya pergi.

Malam itu, ditemani hujan dan bau tanah basah, Fajar mencoba mencari tahu fungsi “Kalung Matahari Biru”, nama yang ia berikan untuk benda itu.

Ia mengetuk, membanting, bahkan menggigitnya. Namun kalung itu tetap utuh. Ia semakin yakin kalau benda ini adalah artefak spiritual peringkat tinggi.

Setelah menalungkannya kembali, dia memilih berkultivasi dengan kalung matahari biru di genggamannya.

Metode kultivasi yang di gunakannya adalah peringkat fana : putaran api penempa tubuh.

Saat dia berkultivasi, dia nyaris tidak merasakan Qi spiritual apa pun, sebaliknya gelombang panas yang membakar sekujur tubuhnya.

Kultivasi terasa sangat sulit tidak hanya karena Qi Spiritual yang sangat tipis, tetapi lebih pada bakat Fajar yang sampah.

Ketika Fajar berkultivasi dia tidak hanya merasakan panas membakar, tetapi juga cemoohan dan hinaan yang terngiang-ngiang dari masa lalu.

Namun Fajar tidak berhenti, dia duduk dengan tenang dalam posisi bersila.

Saat matahari terbit di ufuk timur, ia menyimpulkan tiga hal:

1. Kalung ini tidak bisa dihancurkan setidaknya tidak dengan cara biasa.

2. Kalung ini memulihkan stamina—walaupun ia kelelahan dan tidak tidur semalaman, tubuhnya terasa segar.

3. Kalung ini menyembuhkan luka—bahkan hampir instan.

Kalung ini… harta karun.

Fajar tersenyum. Optimisme tumbuh di hatinya. Dengan benda ini, ia punya harapan bertahan hidup di tempat busuk ini.

Pagi datang. Matahari pucat menembus reruntuhan bangunan, menciptakan bayangan panjang di jalanan kota pembuangan sampah.

Fajar duduk di sudut, membuka selembar peta lusuh. Bekas cakaran dan coretan memenuhi bagian timur kota, menandai daerah-daerah berbahaya—terlalu beracun, dikuasai pemulung dewasa, atau dihuni binatang buas.

“Seharusnya tempat ini aman…” gumamnya.

Beberapa jam kemudian, matahari naik lebih tinggi. Cahaya keemasan menyelimuti puing-puing kota.

Fajar merendahkan tubuhnya, menyatu dengan lumpur, matanya fokus mengamati mangsa. Perutnya mulai berbunyi, rasa lapar menggerogotinya.

Di kejauhan, beberapa ekor Merpati Iblis tengah mematuki bangkai anjing, mencabik-cabik isi perutnya. Mata merah mereka sesekali memeriksa sekitar, waspada terhadap bahaya.

Fajar menahan napas. Waktu berlalu perlahan.

Lalu…

“Whoosh!”

Besi runcing melesat. Udara berdesing. Suara tulang yang remuk menggema.

Merpati lainnya melayang panik, bulu-bulu mereka beterbangan di udara.

Fajar menarik napas lega. Akhirnya, ia mendapatkan satu ekor merpati gemuk. Makanan ini cukup untuk bertahan beberapa hari.

Namun sebelum ia sempat bergerak, suara keributan terdengar dari kejauhan.

Naluri Fajar menuntunnya untuk menghindar, tetapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Dengan hati-hati, ia bergerak menuju sumber suara.

Di balik reruntuhan, ia melihat dua pemuda kembar mengepung seorang gadis kecil. Fajar mengetahui kedua pihak.

Mata Fajar menyipit. Gadis itu berusia kira-kira sama dengan fajar 13 tahun. Namun reputasinya terkenal di seluruh kota pembuangan sampah sebagai gadis beracun.

Konon tubuhnya mengandung racun mematikan bahkan bagi seniman bela diri.

Adapun si kembar, salah satu pemuda adalah orang yang menyerangnya kemarin. Mata pemuda itu masih bengkak kemerahan, ekspresinya beringas dan sok.

Sementara yang satu lagi tampak lebih tenang. Tahi lalat di dahinya membedakan mereka. Dengan suara rendah dan sabar, ia berbicara pada gadis itu.

“Apa yang mereka lakukan?”

Fajar menggenggam belatinya. Tanpa dia sadari langkah pertamanya ke arah mereka adalah keputusan yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya…”

More Chapters