"Anda adalah bakat yang hanya ada sekali dalam satu abad! Saya ingin sekali Anda bergabung dengan kantor kami!"
Elang terdiam.
Bukan karena ia tertarik—justru sebaliknya.
(Ini jelas-jelas penipuan...)
Tatapan wanita itu tidak goyah, seakan yakin bahwa yang baru saja ia katakan adalah kebenaran mutlak.
Orang-orang di sekitar ikut melirik, seolah ikut penasaran—seperti ada sesuatu dalam diri Elang yang mereka lihat, tapi dirinya sendiri tidak menyadarinya.
(Apa yang mereka lihat? Aku hanya anak kampung...)
Tapi semakin ia berusaha mengabaikan, semakin dunia kota ini menariknya ke dalam pusaran yang tidak pernah ia bayangkan
___________________________________
Saya mengambil koper dan berdiri di depan kereta, menghirup udara yang terasa berbeda pagi ini. Dingin, tapi bukan sekadar tentang suhu. Ada sesuatu yang menggantung di udara—seperti perasaan yang belum siap benar-benar pergi.
Di hadapan saya, teman-teman yang datang untuk mengantar kepergian saya. Wajah-wajah mereka dipenuhi berbagai ekspresi—haru, kebanggaan, dan sedikit keengganan untuk berpisah. Tidak ada yang bicara duluan, seolah kata-kata justru akan membuat perpisahan ini semakin nyata.
"Terima kasih sudah datang, semuanya," ucap saya dengan tulus, berusaha mengisi keheningan.
Ardi Wiratama mendengus kecil. _"Ini bukan tentang ucapan terima kasih,"_ katanya, suaranya tegas tetapi hangat. Seperti mencoba terdengar biasa saja, padahal saya tahu di dalam hatinya ada yang ingin ia katakan lebih dari itu.
"Benar sekali,"_ Rizky Mahendra menyambung dengan gaya khasnya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Matanya tajam menatap saya. _"Kau akan pergi ke ibu kota, meninggalkan semua ini. Itu sudah cukup."
Saya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. _"Ahaha, apa maksudmu? Seakan-akan aku tidak akan kembali saja."_ Tapi tidak ada yang ikut tertawa. Ardi hanya menatap saya, bibirnya sedikit tertarik, seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi urung.
"Kau tahu, yang pergi bukan cuma fisikmu," katanya setelah beberapa saat. "Ada bagian dari kebersamaan kita yang ikut hilang."
Saya menelan ludah, tiba-tiba merasa berat. Mereka benar. Bukan hanya tentang kota kecil ini, bukan hanya tentang tempat-tempat sederhana yang biasa kami singgahi—supermarket kecil, kedai makanan ringan tempat kami menghabiskan waktu. Tapi tentang kebersamaan yang tidak bisa diulang.
Kami hanya sekumpulan anak laki-laki yang tumbuh bersama di kota kecil tanpa terlalu banyak pilihan tempat nongkrong. Tapi entah bagaimana, semua terasa cukup.
Saya menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Aku janji akan kembali."
Dan kali ini, mereka tersenyum juga—walaupun samar, seperti mencoba percaya.
Di sini, aku bermain, tumbuh, dan menjadikan tempat ini lebih dari sekadar kampung kecil. Ini adalah rumah. Lebih dari itu—keluarga.
Hari ini, aku mengucapkan selamat tinggal. Bukan hanya pada mereka, tetapi juga pada semua kenangan yang terukir di sudut-sudut desa ini. Setiap gang sempit, setiap suara riuh dari warung kopi yang dulu menjadi bagian dari hari-hariku. Semua itu, hari ini, resmi menjadi masa lalu.
Saat pintu kereta tertutup dengan suara mendesing, aku menarik napas dalam. Seketika, dunia terasa lebih sunyi.
Kereta mulai bergerak perlahan, menjauh dari tempat di mana aku lahir dan dibesarkan. Dari tempat aku pertama kali belajar mengayuh sepeda, dari jalanan yang selalu berdebu setelah hujan, dari lapangan kecil tempat kami dulu berkumpul hanya untuk berbicara tentang impian yang waktu itu terasa begitu jauh.
Di peron, mereka masih berdiri. Melambaikan tangan, berusaha tersenyum, tapi aku bisa melihatnya—keengganan untuk benar-benar melepas. Mataku mencari satu sosok di antara mereka, dan saat menemukannya, dadaku terasa berat. Dia berdiri sedikit di belakang yang lain, kedua tangannya mengepal, seolah menahan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.
Aku menggigit bibir, menahan gejolak yang mulai tumbuh dalam diri. Jangan menangis. Jangan terlihat lemah.
Namun saat kereta semakin jauh, dan mereka mulai mengecil dalam pandangan, aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku menutup mata sesaat, membiarkan napas panjangku membawa pergi sebagian dari rasa sesak yang menggumpal di dada.
Di dalam gerbong, suasana jauh berbeda. Hiruk-pikuk para penumpang, tawa kecil, dan dentingan suara pelayan yang menawarkan minuman. Aku melihat sekeliling—kebanyakan perempuan menaiki Shinkansen kali ini. Mereka berbincang dalam bahasa Indonesia terdengar seperti melodi asing yang sebentar lagi harus kupahami.
Aku menarik napas lagi, lalu melirik ke luar jendela. Bayangan desa semakin pudar, berganti dengan pemandangan yang terasa asing.
Pelan-pelan, aku membuka hadiah yang telah aku terima.
Pertama, ada surat dari Fitri Maharani. Kata-katanya dipenuhi kenangan—tentang kami, tentang saat-saat yang kami habiskan bersama. Setiap kalimatnya seolah membawa kembali momen-momen kecil yang dulu terasa biasa, tapi kini terasa begitu berharga.
Aku tersenyum kecil, membayangkan bagaimana dia menulis surat itu. Fitri selalu menyukai hal-hal lucu, dan aku bisa membayangkan dia menggembungkan pipinya saat menulis dengan huruf-huruf bulat khasnya. Mungkin sesekali dia menghela napas panjang, berpikir keras bagaimana merangkai kata-kata agar terdengar tidak terlalu dramatis, tapi tetap punya makna.
Di akhir surat, ia menulis:
"Aku selalu mencintaimu. Mari kita bersama suatu hari nanti."
Aku menatap kalimat itu cukup lama. Sesuatu di dalam dadaku terasa aneh—hangat, tapi juga menggantung tanpa kepastian.
"...Sudah berapa hari berlalu? Sekarang kita menjadi keluarga."
Aku mengerutkan kening. Pick Daddy Big Pick Daddy? Aku membaca ulang kata-kata aneh itu. Aku tidak sepenuhnya mengerti maksudnya.
Aku mendesah, lalu tertawa kecil. Mungkin ini candaan khas Fitri, atau mungkin ada makna tersembunyi yang belum kupahami. Klasik, memang—dia selalu punya cara untuk membuat sesuatu terasa misterius.
Aku menghela napas, lalu membuka hadiah berikutnya.
Syal rajutan merah muda dari Safira dan Keysa. Hangat, lembut—seperti perhatian yang selama ini selalu ia tunjukkan tanpa banyak kata. Aku meraba teksturnya, memikirkan betapa banyak waktu yang mungkin ia luangkan untuk merajut ini sendiri. Sederhana, tapi begitu berarti.
Selain itu, Siti Handayani memberiku sapu tangan berbentuk hati. Aku mengangkatnya, mengamati jahitan di tepinya yang tampak dibuat dengan penuh kesabaran. Sebuah isyarat kecil, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa aku tidak pernah benar-benar sendirian.
Dan Rina Puspita—dengan penuh perhatian—memberikan cokelat buatan tangan berbentuk hati. Di dalamnya, ada selembar kertas kecil dengan pesan sederhana:
"Selalu bersyukur walaupun kamu hanya anak kampung."
Aku menatap tulisan itu lama, merasakan gelombang perasaan yang sulit diungkapkan. Sebuah pengingat sederhana, tapi cukup untuk menghangatkan hati.
Aku menyandarkan kepala ke jendela kereta, membiarkan perasaan itu mengalir, membiarkan kenangan-kenangan itu menetap sebentar sebelum akhirnya aku harus melangkah ke dunia yang baru.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal.
Aku memperhatikan syal rajutan merah muda dan sapu tangan berbentuk hati yang kuterima. Teksturnya… lembut, tetapi saat ujung jariku menyentuhnya, ada sensasi aneh yang melintas di benakku—seperti kenangan yang tidak bisa langsung kuungkapkan. Seperti… rambut manusia?
Aku menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan pikiran itu. Tidak mungkin. Lagipula, ini hanya hadiah. Tidak ada yang aneh, bukan?
Kami sempat bercanda dan berjuang sedikit—memikirkan kembali kenangan di desa, bagaimana semua orang berusaha memberikan sesuatu sebagai tanda dukungan. Tapi saat aku membuka cokelat buatan tangan dari Bu Rina Puspita, aku terdiam.
Di dalamnya, ada sesuatu yang tak kukenal.
Aku mengangkat benda kecil itu, alisku berkerut. "Kurasa ini memang disengaja."
Di desa, hampir semua orang memiliki rambut panjang. Aku pernah mendengar tentang tradisi tertentu—sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan lama. Ada yang mengatakan benda-benda seperti ini membawa keberuntungan, ada juga yang mengatakan mereka menyimpan kenangan yang tak ingin dilupakan.
Profesor Karindra pernah berbicara tentang hal ini, dalam salah satu diskusi panjangnya. "Biasanya orang-orang memakainya sebagai jimat atau simbol keberuntungan, pikirku. Sebagian percaya bahwa membawa sesuatu yang memiliki kaitan erat dengan seseorang bisa menjadi perlindungan atau sekadar pengingat bahwa seseorang selalu bersamamu.
Tapi kata-kata Bu Lestari tiba-tiba melintas di benakku.
"Berhati-hatilah terhadap orang-orang di sana , terutama perempuan."
Aku menatap syal dan sapu tangan di pangkuanku. Sejenak, aku mempertimbangkan semuanya—tradisi, kepercayaan, dan apa yang mungkin tersimpan dalam semua hadiah ini. Dia masih hidup dan menyuruhku memakainya. Apakah benar ini hanya jimat biasa?
Aku menghela napas, mengusir pikiran-pikiran liar yang mulai merayap. Tidak boleh terlalu banyak berpikir. Ini hanya hadiah. Sesuatu yang diberikan dengan niat baik.
"Apapun itu, aku bersyukur."
Semua orang memberiku sesuatu—cara mereka menunjukkan dukungan atas perjalananku. Aku melihat kembali hadiah-hadiah itu dan menyadari bahwa mereka semua menginginkan yang terbaik untukku.
Aku mengepalkan tangan, menatap jauh ke depan. Aku harus berusaha keras.
Aku tahu, mulai sekarang, hidupku akan berbeda. Aku akan tinggal di tempat yang jauh dari kehidupan lama—di mana segala sesuatu terasa asing dan penuh tantangan.
Perbedaannya begitu besar.
Kenyamanan itu menakutkan, tapi juga menggoda. Di desa, aku tahu setiap sudut jalan, setiap suara yang mengisi sore hari, setiap tatapan yang selalu terasa akrab. Tapi kini, aku berdiri di gerbang dunia yang jauh lebih luas. Dunia di mana aku tidak lagi sekadar anak desa—melainkan seseorang yang harus menemukan caranya sendiri untuk tetap bertahan.
Saatnya melangkah.
Keluar dari desa berarti mencari cara baru untuk menghabiskan waktu, menyesuaikan diri dengan ritme yang berbeda. Tapi itu takkan pernah jauh dari inti diriku.
Aku tahu tempatku.
Aku hanyalah seorang anak kampung.
Namun kini, aku berdiri di tengah lautan manusia yang bergerak tanpa henti—datang dan pergi dalam arus yang terasa begitu asing bagiku.
Aku menatap ke luar jendela kereta, membiarkan pemandangan yang berlalu menjadi pengingat bahwa aku benar-benar meninggalkan masa lalu. Perlahan, gedung-gedung tinggi menggantikan sawah dan rumah-rumah kecil. Hingar-bingar kehidupan kota semakin nyata.
Saat melewati gerbang tiket, aku terdiam sejenak, terkejut melihat arus manusia yang seolah tak ada ujungnya. Orang-orang berjalan cepat, berbicara dengan ekspresi terburu-buru, mata mereka tajam, fokus pada tujuan masing-masing.
"Luar biasa..." gumamku pelan.
Aku harus berhati-hati, supaya tidak terlihat terlalu mencolok.
Tujuanku adalah Kemang, tempat aku akan memulai perjalanan baru di ibu kota. Tapi sebelum sempat melangkah lebih jauh, suara-suara penumpang mulai terdengar dari berbagai arah.
"Hei, lihat orang itu!"
"Ini sangat keren!"
"Bukankah dia seorang selebriti?"
Dia terlalu tampan!!"
"Tutup pintunya!!"
"Aku butuh sesuatu! Aku pasti akan datang!"
Aku mengerutkan kening, mempercepat langkah, mencoba mengabaikan kebisingan sekitar. Tapi aku bisa merasakan tatapan orang-orang yang seakan menembus kulitku—seolah mereka benar-benar memperhatikanku.
"Tidak, itu tidak mungkin..." pikirku.
Aku bukan siapa-siapa di kota ini. Tidak ada alasan bagi mereka untuk membicarakan aku.
Apa yang terjadi ini terasa aneh, seperti sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
Atau mungkin… aku hanya mengalami kejut budaya.
Ini adalah semacam "baptisan" bagi penduduk desa yang baru datang ke kota besar. Sebuah transisi dari dunia yang tenang ke hiruk-pikuk yang tak terduga.
Aku menarik napas dalam.
Kota ini memang diidamkan banyak orang. Gedung-gedung tinggi, lampu-lampu gemerlap, hiruk-pikuk kehidupan yang terasa begitu penuh ambisi. Tapi aku hanya berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang menerima aku bukan karena sensasi—melainkan karena siapa diriku sebenarnya.
Kereta akhirnya tiba di Stasiun Gambir Jakarta.