Cherreads

Chapter 9 - Bab 9: Pulang Bukan Berarti Aman

Langit desa Rengganis menyambut Rina dengan warna jingga yang hangat. Setelah berminggu-minggu berada di luar negeri, berdiri di antara diplomat dan pejabat tinggi, kini ia kembali menjejak tanah tempat segalanya dimulai.

Warga menyambutnya dengan sorak sorai, tarian, bahkan tumpeng besar. Tapi di antara keramaian itu, ada satu wajah yang tidak tersenyum. Lina, sahabat masa kecil Rina yang dulu selalu berada di sisinya, kini memandang dari jauh dingin, penuh curiga.

Rina tak sadar bahwa sejak kepergiannya, Lina merasa tersingkir. Ia yang dulu membantu mengajar di taman baca, kini hanya dianggap tim belakang layar. Sedikit demi sedikit, api kecil itu berubah jadi bara iri hati.

Malam harinya, Rina duduk di beranda rumah bersama Arsya.

"Ada yang berbeda" gumam Rina. "Beberapa orang tersenyum tapi dingin. Seolah-olah aku ini ancaman."

Arsya menatapnya lembut. "Karena tidak semua orang siap melihatmu bersinar terlalu terang. Bahkan bintang pun membuat langit lain terlihat gelap."

Rina diam. Ia tahu apa maksud Arsya kesuksesan bisa menciptakan jarak, bahkan di antara orang-orang terdekat.

Beberapa hari kemudian, desas-desus mulai beredar.

"Rina sudah berubah dia bukan perempuan kampung lagi."

"Katanya mau bantu desa, tapi kenapa belum bangun sekolah baru?"

"Semua pencitraan saja. Dia hanya cari panggung!"

Rina mendengarnya dari seorang anak kecil yang polos berkata, "Bu Lina bilang Ibu Rina sudah lupa sama kita."

Ucapan itu lebih menyakitkan daripada semua hinaan masa lalu.

Rina mendatangi Lina secara langsung.

"Kenapa, Lin? Kalau kamu kecewa bilang padaku. Jangan hancurkan dari belakang."

Lina menahan air mata. "Aku cuma lelah jadi bayanganmu. Dulu kita berdiri sama tinggi. Tapi sekarang semua tentang kamu. Aku capek dianggap hanya 'teman Rina'."

Rina terdiam. Hatinya teriris, tapi ia tahu Lina berkata jujur dari luka, bukan kebencian.

"Aku tidak pernah ingin berdiri lebih tinggi darimu," ucap Rina pelan. "Tapi kalau aku bisa menarikmu ke atas… kenapa tidak kita berdiri sama tinggi lagi sekarang, bersama?"

Tangis Lina pecah. Dua sahabat itu berpelukan. Tidak semua luka disembuhkan dengan kata maaf ada yang disembuhkan dengan pelukan dan kejujuran.

Beberapa minggu kemudian, Rina mengumumkan proyek barunya: "Sekolah Perempuan Mandiri Rengganis", dan menunjuk Lina sebagai kepala pengelola utama.

Media nasional datang lagi. Tapi kali ini, Rina membagi sorotan itu.

"Ini bukan tentang aku," katanya di hadapan kamera. "Ini tentang kami. Karena tidak ada perempuan hebat… tanpa sahabat yang terus mendorong dari belakang."

Dan malam itu, saat langit Rengganis dipenuhi bintang, Rina duduk di bawah pohon bersama Arsya.

"Kamu tahu?" bisiknya.

"Apa?"

"Setiap kali aku nyaris jatuh aku selalu ingat satu hal."

"Apa itu?"

"Bahwa tak peduli seberapa jauh aku melangkah hatiku tetap milik tempat ini. Dan milik kamu."

Arsya tersenyum. "Dan aku akan selalu di sini. Jadi akar agar kamu bisa terus tumbuh ke langit."

Karena rumah bukan sekadar tempat, tapi siapa yang menunggu kita kembali.

Beberapa bulan setelah peresmian Sekolah Perempuan Mandiri Rengganis, proyek itu berkembang pesat. Donasi dari luar negeri masuk deras, relawan berdatangan, dan nama Rina makin harum bukan hanya di media, tapi juga di telinga para pengusaha dan politisi.

Dan seperti biasa… ketika sesuatu mulai tumbuh besar, datanglah tangan-tangan yang ingin menggenggamnya.

Suatu pagi, datang seorang pria elegan bernama Reynard Kusuma, pengusaha sukses yang punya jaringan bisnis di berbagai negara. Ia mengaku tertarik mendanai penuh sekolah dan menjadikannya "program nasional".

"Saya akan bantu sekolah ini berkembang di 100 desa," katanya, duduk santai di ruang baca dengan senyum licin. "Tapi tentu… nama yayasannya akan kami sesuaikan: Rina Kusuma Foundation."

Rina dan Lina saling pandang.

"Maaf," jawab Rina lembut. "Kami tidak menjual nama kami, apalagi perjuangan kami."

Reynard tertawa kecil, lalu mendekat dan berkata pelan, "Kalau kamu tolak, kami bisa bikin sekolah tandingan. Kami punya media, pengaruh, dan uang. Nama kalian akan tertutup oleh 'versi baru' yang lebih… modern."

Malam itu, Rina gelisah. Ia tahu betul, Rey bukan pengusaha biasa. Ia dikenal mampu menjatuhkan siapa pun hanya dengan opini publik dan media bayaran. Bahkan, beberapa lembaga pendidikan desa yang dulu bersaing dengannya, kini bangkrut atau terlupakan.

"Kamu takut?" tanya Arsya, memegang pundaknya.

Rina mengangguk. "Aku takut bukan untuk diriku. Tapi untuk perempuan-perempuan di desa lain yang mungkin jadi korban ambisi kotor ini."

Lina, yang duduk tak jauh, mengepalkan tangannya.

"Kalau dia mau perang kita kasih perlawanan."

Beberapa hari kemudian, muncul berita besar di media nasional:

> "Sekolah Rina Lestari Ditolak Dana Demi Ego Pribadi?"

"Mengapa Tokoh Inspiratif Menolak Perluasan Pendidikan?"

"Bisakah Rina Lestari Lepas dari Bayang-bayang Kekuasaan?"

Fitnah menyebar. Beberapa relawan mundur. Donatur membekukan dana. Sekolah mulai kehilangan logistik. Bahkan warga yang dulu mendukung, kini mulai ragu.

Di tengah tekanan itu, Rina berdiri di tengah lapangan desa, memanggil semua murid dan relawan yang tersisa.

"Aku tidak akan paksa kalian bertahan. Tapi aku tidak akan tunduk. Karena aku tidak membangun semua ini demi nama. Aku membangunnya demi harapan. Kalau kita harus mulai lagi dari nol, kita lakukan tapi dengan harga diri."

Satu per satu, tangan-tangan kecil murid perempuan itu terangkat.

"Kami tetap di sini, Bu Rina."

"Kami percaya pada Ibu, bukan berita."

"Kalau Ibu pergi siapa lagi yang akan percaya bahwa anak desa bisa bermimpi tinggi?"

Air mata Rina tumpah. Tapi bukan karena lemah.

Melainkan karena tahu: kekuatan sebenarnya bukan di uang, bukan di media tapi di hati yang tak bisa dibeli.

Hujan turun tipis di pelataran sekolah ketika sebuah sedan abu-abu berhenti di depan gerbang bambu. Para murid yang sedang membersihkan kelas menepi, memandang ingin tahu. Dari dalam mobil keluar seseorang yang tak pernah Rina sangka akan kembali muncul Rangga.

Ya, Rangga: mantan suami yang dulu menandatangani talak sambil menuduhnya "beban seumur hidup". Ia kini tampil berbeda setelan jas pas badan, jam tangan mahal, dan senyum yang memancarkan keyakinan diri baru.

Rina berdiri tegak di serambi, Lina di sisinya, Arsya beberapa langkah di belakang matanya siaga.

"Rina," sapa Rangga, suaranya datar tapi tenang. "Boleh bicara sebentar? Tentang masalahmu dengan Reynard Kusuma."

Udara seketika menegang. Anak-anak merapat ke jendela, relawan menahan napas.

Di ruang baca, Rangga menjelaskan: belakangan ia menjadi konsultan investasi sosial dan anak buah Reynard.

"Aku tahu semua strategi kotor itu," katanya, menatap meja, seakan menyesal. "Termasuk rencana membeli lahan di desa sebelah untuk membangun 'versi modern' sekolahmu lalu mematikanmu perlahan."

Rina mengatupkan rahang. "Lalu kenapa kau datang? Menyusahkan lagi?"

Rangga menghela napas. "Karena untuk pertama kalinya aku sadar: aku di pihak yang salah. Kau mungkin tak percaya, tapi setelah melihat bagaimana Reynard menggiling cita-cita rakyat kecil demi brand-nya aku muak."

Ia mengeluarkan flash-drive.

"Semua dokumen penggelembungan dana, kontrak media, nama pejabat yang dibayar ada di sini. Kalau kau bersedia, kita bisa jadikan ini peluru hukum dan opini publik. Tapi dengan satu syarat."

Rina mengerutkan kening. "Syarat?"

"Kau izinkan aku menebus kesalahan sebagai partner transparansi sekolah ini tanpa jabatan, tanpa nama di depan. Aku hanya ingin memperbaiki hidup dengan membantu sesuatu yang nyata."

Api Lama dalam Bara Baru

Arsya melangkah maju. "Kamu pikir kami begitu saja percaya? Setelah apa yang kau lakukan pada Rina?"

Rangga menatapnya, tak gentar. "Aku tak minta dipercaya. Aku minta kesempatan karena hanya itu yang pernah Rina minta dulu, dan tak pernah aku beri."

Keheningan meregang. Di luar, hujan reda; sinar matahari menembus awan, jatuh di rak-rak buku hangus yang baru setengah terisi.

Lina berbisik, "Info sebesar ini bisa menyelamatkan sekolah tapi kalau jebakan, habislah kita."

Rina menutup mata sejenak mengulang pelajaran hidupnya: "Maaf bukan menghapus, tapi membuka jalan ke depan."

Ia menatap Rangga. "Ini bukan tentangku memaafkanmu atau tidak. Ini tentang ratusan anak yang akan kehilangan mimpi kalau kami kalah. Aku terima datanya tapi kemitraan? Itu harus diputuskan bersama tim, dan kau akan diawasi setiap langkah."

Rangga menunduk. "Adil."

Rina mengambil flash-drive itu. Rasanya berat seperti memegang kunci pintu yang menuju medan perang baru.

Malamnya, di rumah papan, Rina, Arsya, dan Lina memutar data di laptop tua. File-file terbuka: bukti suap, rencana akuisisi lahan, kontrak bayangan dengan media gosip.

Lina menatap layar, bergidik. "Ini amunisi besar. Kita bisa hancurkan Reynard."

Arsya menoleh ke Rina. "Pertanyaannya: apakah kita siap perang total? Begitu ini keluar, desa bakal jadi pusat badai media, pengacara, mungkin intimidasi."

Rina mengepalkan tangan.

"Sekolah ini lahir dari abu, dibangun dengan tangan yang dulu gemetar tapi sekarang kokoh. Kalau kita mundur, anak-anak melihat apa? Bahwa kebenaran boleh kalah asalkan nyaman? Tidak.

Kita hadapi tapi dengan cara kita: jujur, terang-terangan, dan bersama."

Ia memandang kedua orang terpenting di hidupnya Lina, sahabat yang cemburunya berubah jadi tekad, dan Arsya, kekasih yang selalu jadi akar.

"Besok pagi kita kumpulkan warga. Sekolah ini milik mereka. Perang ini perang kita semua."

Di luar, angin malam membawa aroma tanah basah dan janji pertempuran. Tapi di dalam dada Rina, tidak ada lagi ketakutan hanya bara yang pernah dipadamkan oleh hinaan, kini menyala lebih terang.

Jika kejujuran harus berjalan di atas bara, biarlah kakiku terbakar asalkan anak-anak nanti bisa berlari di jalan yang bersih.

Pagi itu, langit Rengganis tampak cerah. Tapi Rina tahu badai tak selalu datang lewat hujan. Kadang ia datang lewat siaran berita, pesan intimidasi, dan pemadaman listrik yang "kebetulan" terjadi tepat di hari mereka akan mengumumkan semua bukti.

Warga desa berkumpul di lapangan kecil depan sekolah. Anak-anak duduk di tanah, para ibu berdiri di belakang, dan relawan membagikan selebaran fotokopi data yang sempat mereka cetak sebelum listrik diputus.

"Kenapa tiba-tiba listrik mati?" bisik seorang warga.

"Katanya gardu rusak. Tapi anehnya, rumah Pak Camat masih nyala," jawab yang lain.

Rina berdiri di panggung darurat papan kayu dengan pengeras suara dari aki mobil tua. Arsya dan Lina di sisinya. Di tangan Rina ada mikrofon, tapi suaranya lebih tegas dari alat itu.

Suara yang Tak Bisa Dimatikan

"Hari ini, kami ingin warga tahu bahwa sekolah ini… sedang dibidik oleh mereka yang ingin membeli mimpi kalian. Membeli nama kami. Membeli harga diri desa ini."

Ia mengangkat selebaran.

"Ini bukti: bahwa perusahaan besar, didukung media dan pejabat, sedang berencana mematikan apa yang kita bangun bersama. Dengan dalih 'modernisasi' dan 'pengembangan'. Tapi di balik itu adalah uang haram dan keserakahan."

Sorakan warga pecah.

"Cukup sudah kita jadi bahan jajakan kota! Cukup!"

Anak-anak menangis, mendengar kata-kata "sekolah ditutup", meski belum terjadi. Tapi tangis mereka membuat orang dewasa sadar ini bukan sekadar konflik elite. Ini tentang masa depan yang nyata.

Tak lama, dua mobil hitam meluncur cepat ke lapangan. Beberapa pria turun bertubuh besar, berkacamata hitam, dan menyuruh warga bubar.

"Acara ini tidak berizin. Mohon bubar!"

Tapi warga tidak mundur. Malah mereka saling bergandengan. "Ini tanah kami! Ini anak-anak kami!"

Rina melangkah turun dari panggung, berdiri langsung di depan pria-pria itu.

"Saya Rina Lestari. Kalau Anda ingin bubarkan acara ini lewati saya dulu."

Arsya dan Lina menyusul di belakang. Rangga pun muncul dari tepi lapangan, mengejutkan semua orang. Ia berdiri di samping Rina, menunjukkan ID karyawannya dari perusahaan Reynard.

"Dan saya staf mereka. Saya tahu ini bukan kegiatan ilegal. Jika kalian berani menyentuh siapa pun di sini, saya pastikan berita ini viral dalam satu jam."

Para preman menahan diri. Mereka akhirnya pergi tapi bukan tanpa ancaman.

"Kalian akan menyesal."

Gelap yang Membawa Cahaya

Malamnya, listrik belum menyala. Sekolah gelap. Tapi para murid dan relawan tetap datang. Mereka membawa lilin, lampu minyak, bahkan obor bambu.

Di halaman sekolah, ratusan cahaya kecil berkumpul. Rina tak kuasa menahan tangis melihatnya.

"Lihat bahkan saat gelap menelan kita, mereka tetap memilih untuk bercahaya."

Lina memeluknya dari samping. Arsya menggenggam tangannya erat. Dan dari kejauhan, Rangga berdiri menatapdiam-diam menghapus air mata. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa berarti.

Rina lalu naik ke podium kecil yang dibuat dari bangku sekolah. Dengan suara serak tapi penuh nyala:

"Kalau listrik mereka padamkan, kita nyalakan api dari hati kita. Kalau suara kita dibungkam, kita teriakkan lewat tindakan.Dan kalau mereka kira kita akan menyerah mereka belum tahu siapa sebenarnya perempuan desa ini!"

Tepuk tangan menggema. Suara-suara kecil berteriak, "Bu Rina! Bu Rina! Sekolah kami milik kita!"

Dan malam itu, tanpa listrik, tanpa kamera, tanpa mikrofon

sebuah revolusi kecil lahir. Bukan dari kekuasaan, tapi dari keyakinan.

Keyakinan bahwa kebaikan meski terlambat, pasti menang.

Pagi itu desa Rengganis seperti menahan napas. Kabut belum sepenuhnya mengangkat, tapi suara deru mobil-mobil mewah sudah menggetarkan tanah desa. Tiga SUV hitam masuk perlahan ke lapangan sekolah. Dari dalam, keluar pria yang selama ini hanya muncul di layar Reynard Kusuma.

Dasi merah darah. Setelan Armani. Sepatu mengilap. Dan tatapan dingin.

"Rina Lestari," sapanya datar. "Saya pikir Anda cukup pintar untuk tahu kapan harus mundur."

Rina berdiri di hadapan para murid dan warga yang mulai memadati halaman. Arsya berdiri di samping, Rangga tampak gelisah, dan Lina menggenggam lengan Rina erat.Reynard memutar tubuh, menatap warga dengan senyum penuh muslihat.

"Warga Rengganis, saya datang bukan sebagai musuh. Saya datang membawa peluang. Pembangunan, kemajuan, dan masa depan lebih baik untuk anak-anak kalian. Sekolah ini bisa kami perluas, moderenkan, bahkan beri beasiswa luar negeri."

Tapi sebelum ia lanjut, seorang ibu tua bersuara lantang:

"Kami tidak butuh uangmu kalau harganya adalah menjual martabat!"

Disusul sorak warga lain.

"Bu Rina yang percaya sama kami saat orang kota sebut kami sampah!"

"Sekolah ini kami bangun pakai tangan, bukan pakai utang!"

Reynard mengerutkan kening. "Kalian tidak tahu apa yang kalian tolak."

Sekutu Tidak Terduga

Sebelum konflik memuncak, dari kejauhan terdengar suara sirene. Sebuah mobil pemerintah berhenti. Dari dalam turun seorang wanita paruh baya berseragam, elegan tapi penuh wibawa: Menteri Sosial, Ibu Ratna Surya.

Semua terdiam. Bahkan Reynard terkejut.

Ibu Ratna berjalan ke arah panggung, langsung memeluk Rina.

"Saya mengikuti kisahmu, Rina. Dari awal kau dihina, ditinggalkan, lalu bangkit bukan untuk membalas tapi untuk mengangkat orang lain."

Ia berbalik ke arah Reynard. "Dan saya punya mandat langsung dari presiden. Sekolah ini akan dijadikan model nasional pendidikan berbasis komunitas. Dana resmi, perlindungan hukum, dan distribusi ke 17 provinsi."

Sorakan warga meledak.

Reynard mencoba bicara, tapi Ibu Ratna menatapnya tajam.

"Dan Anda, Tuan Reynard, sedang dalam penyelidikan karena penyalahgunaan dana CSR, intimidasi, dan penguasaan ilegal aset desa. Anda bebas membela diri di pengadilan."

Air Mata Kemenangan

Rina tak kuasa menahan isak. Bukan karena dia menang, tapi karena akhirnya keadilan bisa berpihak meski butuh luka dan waktu panjang.

Anak-anak berlarian, memeluknya satu per satu. Para ibu menangis, warga memukul kentongan tanda syukur.

Lina mencium pipi Rina dan berkata, "Kita menang, Rin. Bukan karena kita kuat tapi karena kita tidak menyerah."

Arsya memeluknya dari belakang. "Aku tahu sejak pertama melihatmu. bahwa cahaya sepertimu akan tembus bahkan dinding tergelap sekalipun."

Rangga berdiri di kejauhan. Tak mendekat. Tapi tersenyum kecil karena untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa ia membantu sesuatu yang benar.

Dan malam itu, di antara bintang dan semilir angin, Rina menulis di buku harian kecilnya:

"Terkadang, perjuangan panjang bukan untuk membuktikan kita benar, tapi untuk memastikan dunia masih punya tempat untuk kebaikan yang tak bisa dibeli. Dan hari ini aku melihat tempat itu di sini, di Rengganis.

More Chapters