Cherreads

Chapter 7 - CHAPTER 7 : Whispers from the Past

The next morning, the world felt quieter. Not in a peaceful way—but like something was holding its breath.

Ava felt it the second she stepped outside. The wind was still. The trees didn't sway. Even the birds seemed to know something was wrong.

She pulled her jacket tighter and walked fast toward the library.

Not school.

Not home.

The library had answers. Or at least silence enough to think.

---

Eli was already there, surrounded by books and newspapers he'd pulled from the archives.

"You're early," she said.

"Couldn't sleep," he replied, sliding a stack toward her. "Obituaries. Articles. Planning board reports. I found something weird."

Ava sat down and unfolded a copy of The Bridge Gazette, dated ten years ago.

"Read the highlighted section."

She did.

> "...local planner Charles Doyle was reported missing three days ago after failing to show up for a zoning meeting. Authorities have not confirmed foul play, but an anonymous source claimed Mr. Doyle had been receiving threats…"

She looked up sharply. "Threats?"

Eli nodded. "And guess who filed the last complaint against the Valley Project before Doyle vanished?"

"Dad."

"Yep."

Ava leaned back, heart pounding. "There's a pattern here."

"I think your dad got too close. And Doyle paid the price first."

She pressed her fingers to her temples. "But there's nothing. No follow-up. No case. Nothing in court records."

Eli hesitated, then pulled out a grainy photocopy.

"There's one more thing."

He unfolded it slowly, laying it flat on the table.

It was a page from a handwritten letter.

The paper was water-stained. The ink had smudged in places.

But Ava could still read it.

> "If anything happens to me, it wasn't random.

I didn't run.

I found something—something they don't want known.

The signatures don't match. The numbers are wrong. And they were never supposed to dig that far west.

Tell Ava I'm sorry."

Her breath caught.

"Where did you get this?"

"I found it inside one of the old books Doyle donated before he disappeared," Eli said quietly. "The handwriting… it matches your dad's."

She touched the page as if it would vanish.

The ink smudged her fingertip.

---

They left the library an hour later, eyes sharper than before.

Outside, the sun was higher, but the cold had deepened.

"Where's the construction site now?" Ava asked.

"West edge of the forest. Past the old mill."

"That's where they weren't supposed to dig, right?"

Eli nodded. "And that's exactly where they did dig—two months before your dad disappeared."

Ava's jaw clenched.

"I want to see it."

---

They hiked through thick brush and frost-covered grass, Eli guiding them with a map from the archives. The road had long since crumbled, replaced by tire marks and silence.

The construction site was abandoned.

No machines.

No workers.

Just a chain-link fence and a faded sign:

"Future Site of Hollow Ridge Expansion – Delayed"

Ava stared through the gaps in the fence.

The ground was torn, raw, and uneven—like someone had dug in a hurry, then stopped without finishing.

"Aneh," gerutu Eli. "Tidak ada peralatan. Tidak ada puing-puing. Hanya... tanah."

Ava melangkah mendekat.

Ada yang salah dengan tanahnya. Sebagian tanahnya lebih gelap—hampir hitam. Dan bukan karena minyak atau air.

Dibakar?

Dia melihat ke kiri dan melihat sebuah tiang kecil patah dengan pita merah terikat di sekelilingnya.

Penanda survei.

Dia merunduk di bawah pagar dan berjalan ke arahnya.

"Ava, tunggu—"

Sangat terlambat.

Dia sudah berlutut di samping penanda itu, menyingkirkan tanah dari sudut yang tampak seperti beton.

Eli bergabung dengannya beberapa detik kemudian.

Bersama-sama, mereka menggali tepi suatu benda padat, persegi… dan tidak pada tempatnya.

"Sebuah brankas?" tebaknya.

"Atau bunker."

Mereka saling menatap.

"Kau memikirkan apa yang sedang kupikirkan?" bisiknya.

Dia mengangguk dengan muram. "Ini bukan sekadar proyek tanah. Ada sesuatu yang disembunyikan."

--

Tiba-tiba, kerikil berderak di dekatnya.

Ava membeku.

Mata Eli terbelalak.

Langkah kaki.

Seseorang ada di sana.

Mereka merunduk di balik balok penyangga yang roboh, napas mereka tercekat di tenggorokan.

Sosok yang mengenakan hoodie gelap mendekati lokasi itu, bergerak perlahan dan cermat—seolah-olah dia tahu apa yang sedang mereka cari.

Jantung Ava berdebar kencang di tulang rusuknya.

"Kau melihat wajahnya?" gumamnya.

Eli menggelengkan kepalanya.

Sosok itu berhenti sejenak, berbalik ke arah pagar, dan mengamati area sekitar.

Lalu… dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Telepon.

Dia mendekatkannya ke telinganya dan membisikkan sesuatu yang tidak bisa mereka dengar.

Lalu dia pergi.

Ava menunggu dua menit penuh sebelum bergerak.

"Itu bukan hal yang acak," katanya. "Dia datang ke sini karena suatu alasan."

"Yang berarti mereka masih mengawasi tempat ini," gumam Eli. "Masih berusaha mengendalikannya."

Dia menoleh kembali ke lempengan beton yang terkubur.

"Kita harus masuk ke dalam."

---

Kembali ke garasi Eli, mereka menyebarkan semua bukti di meja kerja. Dokumen, foto, surat. Semuanya mulai menyatu—tetapi masih banyak bagian yang hilang.

"Kita butuh peralatan," kata Eli. "Dan rencana. Lempengan itu tampaknya tertutup rapat."

"Aku akan kembali malam ini," kata Ava. "Kita bisa menggali di bawah sisi itu, mencari titik masuk."

"Bagaimana jika ada yang menonton?"

"Lalu kita bergerak cepat."

Dia menatapnya.

"Kamu sudah berubah, Ava."

Dia tersenyum tanpa humor. "Mungkin aku memang selalu seperti ini. Hanya saja tidak pernah punya alasan."

Eli merendahkan suaranya. "Ini berbahaya."

"Jadi bersembunyi."

Dia tidak membantah.

Dia hanya mengangguk.

"Saya akan siap."

---

Tetapi, tak seorang pun menyadari telepon di rak di belakang mereka.

Layarnya bersinar lembut.

Rekaman.

Mengunggah.

Dan di sebuah kantor kecil tiga kota jauhnya, seorang pria dengan bekas luka di bawah mata kirinya menyaksikan rekaman itu dalam diam.

Dia mengangkat teleponnya.

Dan menelepon.

"Dia kembali ke situs itu. Dan dia tidak sendirian."

---

Saat Ava kembali ke lokasi malam itu, udaranya lebih dingin, lebih tajam—seperti ada giginya.

Dia berdiri tepat di luar pagar, napasnya terlihat dalam cahaya redup dari senter Eli di seberang lapangan.

"Kau yakin tidak ada yang mengikutimu?" tanyanya saat dia sampai di sana.

"Tidak ada lampu depan di belakangku. Aku berbalik dua kali. Kita baik-baik saja."

Eli mengangguk, mengangkat lipatan terpal yang menutupi ranselnya. Perkakas. Tali. Linggis. Sarung tangan tua.

Dia menyerahkan senter dan sepasang sarung tangan kerja tebal yang samar-samar berbau seperti oli motor dan getah pinus.

"Siap?"

"Tidak," akunya. "Tapi mari kita lakukan saja."

Mereka menyelinap di bawah pagar dan berjalan langsung ke lempengan itu.

Kelihatannya sama seperti sebelumnya—tenang, lapuk, masih terkubur di pinggirannya. Namun sekarang terasa berbeda. Seperti ada sesuatu di bawahnya yang tahu mereka akan datang.

---

Mereka bekerja dalam diam.

Gali. Bongkar. Berhenti. Dengarkan.

Mata sekop itu menggesek sesuatu yang padat—logam, bukan beton.

Ava mencondongkan tubuhnya, menyingkirkan tanah hingga jarinya menemukan tepi engsel yang berkarat.

Jantungnya berdebar kencang.

"Itu lubang palka," bisiknya. "Ada jalan masuk."

Eli berjongkok di sampingnya, menggerakkan jarinya di sepanjang jahitan. "Bantu aku mencungkilnya."

Mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka—gerutuan, keringat, dan udara dingin yang menyengat memenuhi paru-paru mereka—tetapi akhirnya palka itu terbuka dengan sendirinya.

Baunya tercium pertama kali.

Lembab. Tanah. Karat. Dan sesuatu yang lebih tua.

Ava terbatuk dan mengarahkan senternya ke dalam lubang.

Sebuah tangga, yang nyaris tak terlihat, mengarah ke dalam kegelapan.

"Katakan padaku ini bukan film horor," gerutu Eli.

Dia menatapnya. "Apakah film horor biasanya menampilkan ayah yang hilang dan izin palsu?"

"Adil."

Dia melangkah lebih dulu, mencengkeram jeruji besi seolah-olah dia telah melakukannya ribuan kali. Ava mengikutinya, setiap otot menegang, setiap derit bergema lebih keras dari seharusnya.

---

Di bawah, udaranya lebih dingin, tetapi tidak seseram yang ia duga.

Itu adalah terowongan.

Dinding beton retak. Pipa-pipa terbuka. Dan tulisan—cat putih pudar dengan tanda panah dan angka.

"Semacam terowongan pemeliharaan?" tanyanya.

"Mungkin. Atau tempat berlindung. Benda ini tidak ada di peta mana pun."

Mereka berjalan perlahan, lampu memantul dari permukaan, bayangan menari-nari di sudut-sudut.

Setelah dua puluh langkah, lorong itu terbuka menjadi sebuah ruangan.

Kecil. Persegi. Kosong—kecuali sebuah meja lipat dan sebuah kursi yang dimiringkan ke samping.

Kertas-kertas berserakan di lantai. Sebagian besar sudah lapuk. Beberapa kertas berlumuran tinta hingga tak bisa dikenali lagi.

Tapi ada satu hal yang menghentikan Ava.

Sebuah foto.

Hanya satu.

Tua. Pinggiran melengkung. Hitam dan putih.

Seorang pria berjas.

Ayahnya.

Jauh lebih muda. Berdiri di samping pria lain—seorang asing, tinggi dan kurus, matanya tertutup kacamata hitam.

Di belakang mereka, lokasi konstruksi yang sama.

Eli juga melihatnya.

"Ini buruk," katanya.

"Ya."

Dia mengantongi foto itu.

Saat itulah mereka mendengarnya.

Sebuah klik.

Logam melawan logam.

Lampu mereka berkedip ke arah suara itu.

Tetapi, benda itu tidak ada di depan mereka.

Itu di belakang.

Kembali ke terowongan.

Langkah kaki.

Bukan milik mereka.

---

Ava menarik lengan baju Eli dan mereka mundur ke sudut terjauh ruangan, mematikan lampu mereka.

Bernapas pendek. Jantung berdetak kencang.

Langkah kaki itu semakin keras. Tenang. Penuh tujuan.

Lalu… mereka berhenti.

Ava menyipitkan matanya, mencoba melihat siluet.

Seseorang berdiri tepat di balik pintu. Tepat di luar cahaya.

Menunggu.

Dan kemudian—begitu saja—mereka pergi.

Tak ada kata-kata. Tak ada pengejaran.

Baru saja… hilang.

Dia menunggu selama semenit penuh sebelum berbisik, "Kita harus pergi. Sekarang."

Mereka bergerak cepat, menelusuri kembali anak tangga, keluar menuju kegelapan malam.

---

Di luar, angin telah kembali.

Ia melolong melalui pepohonan seolah tahu ada sesuatu yang berubah.

Ava dan Eli terjatuh ke tanah di samping pintu, terengah-engah. Wajah mereka kotor. Jari-jari mereka mati rasa.

"Apa-apaan tempat ini?" dia terkesiap.

Dia tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada sesuatu yang lain.

Jejak ban.

Segar.

Dia menunjuk. "Ada seseorang yang sedang mengawasi."

Eli mengumpat pelan.

Ava merogoh sakunya dan mengeluarkan foto itu lagi.

Benda itu bergetar sedikit dalam genggamannya.

"Pria di sebelah ayahku itu… kurasa aku pernah melihatnya sebelumnya."

"Di mana?"

"Klipingan koran. Dari dewan zonasi tanah."

Ekspresi Eli menjadi gelap. "Menurutmu dia masih hidup?"

"Aku tahu dia begitu."

---

Kembali di tempatnya, perapian berkedip redup sementara Ava duduk bersila di lantai, foto di satu tangan, surat ayahnya di tangan lainnya.

Eli duduk di seberangnya, lututnya ditarik ke dalam.

"Saya tidak tahu seberapa dalam hal ini," katanya lembut. "Tetapi mereka telah membangun kebohongan demi kebohongan. Dan apa pun yang ada di sana... ini bukan hanya tentang tanah atau uang."

Tanpa berpikir, ia meraih tangan wanita itu. Memegangnya dengan lembut.

"Anda tidak harus melakukan ini sendirian."

Dia menatapnya—benar-benar menatapnya.

Ada kotoran di pipinya, rambutnya berantakan, tetapi tatapannya tajam.

Hangat.

"Aku tidak mau," katanya.

Untuk sesaat, beban itu terangkat.

Tidak hilang—melainkan dibagikan.

Dan itu membuat segalanya terasa sedikit lebih mungkin.

---

Di seberang kota, di sebuah kantor yang gelap, pria dengan bekas luka itu menatap cetakan foto yang sama yang ditemukan Ava.

Hanya salinannya yang tidak pudar.

Dan di belakangnya tertulis dengan tinta merah:

"Kubur semua yang berhubungan dengan Situs W. Tanpa kecuali."

Dia menyalakan korek api dan memegangnya di bawah tepian kertas.

Api merambati foto itu.

Dia menyaksikannya terbakar.

More Chapters