Cherreads

Chapter 12 - Bab 12 - Bayang-Bayang yang Menyatu

Reina tidak bisa tidur. Suara jantungnya berdetak lebih keras dari desir angin malam yang menyusup melalui celah jendela. Ia terkejut bukan main ketika para penjaga istana datang membawa Bhirendra, penuh luka dan belum pulih sempurna dan hendak menempatkannya di dalam kamarnya.

"Apa maksudnya ini?" serunya panik, berdiri menghadang pintu.

Tapi, Radeeva hanya menyilangkan tangan dan mendesah pelan, seolah sudah tahu akan mendapat reaksi seperti itu. "Sebagai Ksatria pelindung, dia harus tetap berada di dekatmu. Terlebih dalam kondisi seperti ini, kalian berdua sedang dalam masa pemulihan. Keseimbangan energi harus dijaga."

Reina nyaris menolak mentah-mentah, tapi kalimat selanjutnya dari Radeeva menghentikan niatnya.

“Lagipula, dia sudah menemuimu setiap malam selama ini, bukan?”

Reina tercekat. "Apa maksudmu...? Maksudmu, dia—"

Radeeva tertawa pelan, mengejek namun getir. "Kau pikir dia hanya mengetuk pintumu setiap pagi? Dia tidak akan memberitahu, tentu saja. Tapi begitulah dia. Keras kepala, dingin, dan menyebalkan. Tapi selalu... bertanggung jawab. Bahkan ketika tidak diminta."

Ada nada luka yang terselip di akhir kalimat itu, namun Radeeva menyembunyikannya dengan senyum yang tak sampai ke mata.

Malam itu, Reina tetap berjaga meski Radeeva memintanya untuk beristirahat. Pengobatan dari Balai Nirabhaya, pusat penyembuhan tertua di kerajaan, sudah cukup untuk memulihkan luka Bhirendra. Tapi sebagai manusia biasa, melihat darah dan luka robek sepanjang punggung pria itu membuat tubuhnya menegang dan pikirannya tak bisa diam.

Sementara itu, tubuhnya sendiri perlahan pulih. Entah karena kekuatan dari cincin Cakra Adhiwara di jarinya, atau karena semangat bertahan hidup yang mendadak tumbuh kuat. Luka-lukanya tak sedalam Bhirendra, tapi rasa nyeri di dadanya belum juga pergi. Mungkin bukan karena luka, melainkan karena rasa bersalah.

Menjelang pagi, saat Reina tengah membantu Bhirendra bangkit dari ranjang, pintu kamar mendadak terbuka dengan keras.

“Berhenti! Kau bukan tabib!” seru Radeeva dengan nada setengah mengejek. Ia menarik Reina menjauh dari sisi ranjang hingga perempuan itu terhuyung mundur beberapa langkah.

Bhirendra yang tadi hendak bangkit secara refleks, hampir melompat. Tapi ia menahan diri. Napasnya tertahan oleh luka dan... oleh kehadiran Radeeva.

“Kau jangan berlagak lemah. Luka sekecil itu takkan membuat napasmu hilang,” sindir Radeeva tajam, tangan bersedekap.

Bhirendra menatapnya muak, lalu berdiri perlahan. Tak menghiraukan amarah sang pangeran, ia mengambil dokumen dari tangan Radeeva begitu saja, sebuah gulungan peta kuno yang menunjukkan jalur perjalanan misi mereka selanjutnya.

Reina sempat mengira keduanya akan saling melempar sihir lagi. Radeeva tampak siap menghunuskan energi api dari jemarinya, namun Reina cepat menengahi.

"Berhenti! Tolong, kalian harus bisa bekerja sama. Demi misi ini... dan demi kita semua."

Suasana menegang, namun hanya sejenak. Radeeva mendecak pelan, lalu memutar tubuh dengan angkuh.

“Baik. Tapi hanya karena kau yang memintanya,” gumamnya.

Bhirendra tidak berkata sepatah pun. Ia hanya berjalan keluar kamar, membawa luka, peta, dan kebisuan yang tak bisa diterjemahkan.

Reina menghela napas panjang. Dunia yang ia masuki bukan hanya dunia baru dengan sihir dan dimensi, tapi juga penuh dengan rahasia, luka lama, dan dua pria yang seolah saling menarik dan menolak dalam tarikan takdir yang memusingkan.

Mentari belum sepenuhnya terbit ketika Radeeva berdiri di ambang pintu kamar Reina, kali ini tanpa ketergesaan, namun matanya menunjukkan keseriusan yang tak biasa.

"Bersiaplah," katanya singkat. "Hari ini kita akan menghadap Maharaja dan Dewan Agung. Mereka menunggu laporan terakhir mengenai persiapan kita."

Reina mengangguk tanpa kata, dan sesaat kemudian dua pelayan dari Menara Cahaya datang membawa lipatan pakaian yang terbungkus kain halus berhias simbol kuno. Gaun itu tampak berbeda dari pakaian para penjaga atau bangsawan pada umumnya. Warnanya perak pucat dengan kilauan samar yang berubah sesuai sudut pandang, seolah menyerap cahaya dan memantulkannya dalam bentuk esensi, sebuah aura yang terasa agung namun tidak mencolok.

"Ini khusus untuk anda," ujar salah satu pelayan. "Dari Menara Cahaya. Hanya yang telah dipilih yang boleh mengenakannya."

Ketika Reina mengenakannya, ia merasa seolah lapisan baru menyatu dalam dirinya, bukan hanya pakaian, tapi juga tanggung jawab yang mengikutinya. Setiap helai benang terasa seperti simpul antara dua dunia: dunianya yang lama, dan dunia yang kini menuntutnya untuk bertahan, atau binasa.

Aula Agung Istana Swastamita terasa jauh lebih megah dari terakhir kali Reina memasukinya. Barisan tiang kristal berukir sihir berdiri anggun memancarkan cahaya lembut. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan raksasa berlapis mantra, menggambarkan kisah peperangan dan perjanjian kuno antara dimensi.

Ketika Reina dan Radeeva melangkah masuk, sebuah sosok sudah berdiri di sisi tengah aula, tegak dan tak tergoyahkan. Bhirendra.

Ia mengenakan pakaian tempur serba hitam dengan aksen perak di bahu dan pinggang. Tanpa jubah kebesaran, tanpa mahkota, namun aura yang memancar dari dirinya terasa seperti badai yang dibungkam. Dingin, tenang, namun mematikan. Seolah malam sendiri menjelma dalam wujudnya.

Maharaja duduk di atas singgasana bertingkat tiga, dengan Dewan Agung di sisi kiri dan kanan. Para tetua dengan jubah panjang warna batu giok dan rambut memutih menatap mereka tanpa ekspresi. Ruangan itu sepi, namun penuh tekanan.

Radeeva melangkah maju dan membungkuk dalam hormat, disusul Reina yang menunduk dengan sopan namun tak lagi gentar.

"Paduka Maharaja, Dewan Agung yang mulia," ujar Radeeva lantang namun tenang. "Dengan ini kami melaporkan bahwa persiapan telah selesai. Sang Arunika telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam latihan tempur dan penguasaan sihir dasar. Dia telah mengaktifkan dua artefak kuno, dan berhasil bertahan dari konfrontasi pertama dengan makhluk dari sisi gelap."

Beberapa tetua tampak saling melirik. Beberapa lainnya mencatat dalam lembar sihir yang tergantung melayang di udara. Pandangan mereka menyapu Reina dari ujung kepala hingga kaki, menilai, menimbang, meragukan. Namun kali ini Reina tak lagi menghindari tatapan mereka. Ia berdiri tegak. Ia tahu bahwa takdirnya belum pasti, tapi satu hal telah ia putuskan: ia tidak akan mati hanya karena ketakutan.

Terlalu banyak yang telah terjadi selama tiga hari ini, darah, peluh, rasa sakit, dan kebingungan yang terus menghantam pikirannya. Namun semua itu perlahan membentuk lapisan baru dalam dirinya: keberanian yang lahir dari keterdesakan, bukan dari keyakinan penuh.

Aku tidak akan pulang dalam peti kayu, gumamnya dalam hati. Dan tidak akan menyerah hanya karena mereka menatapku seperti anak kecil yang tersesat.

Maharaja akhirnya bersuara. Suaranya dalam, tenang, namun mengandung kekuatan yang menggetarkan lantai aula. "Jika demikian, maka dengan ini Kerajaan Swastamita melepaskan kalian dalam tugas agung pengumpulan artefak. Perjalanan ini bukan hanya ujian bagi sang Arunika, tapi juga ujian bagi kita semua, apakah takdir berpihak, atau musnah bersama kesombongan kita."

Suara gong dari ujung aula terdengar menggema, menandai dekrit kerajaan telah ditetapkan.

Reina, Bhirendra, dan Radeeva menunduk serempak.

Meski masih menyimpan ganjalan terhadap cara para petinggi memperlakukannya, Reina tak bisa memungkiri satu hal: perjalanan ini kini resmi dimulai. Tidak lagi sebagai tamu, bukan sekadar gadis yang tersesat dari dunia lain, tetapi sebagai bagian dari alur besar yang belum ia pahami sepenuhnya.

Ketika mereka bertiga keluar dari aula, langit telah berubah warna. Sinar matahari menerobos kabut jingga, menciptakan bayangan-bayangan panjang di pelataran istana.

Mereka berjalan dalam diam. Masing-masing memikul beban, bukan hanya misi, tapi juga luka dan teka-teki yang belum sempat terucap dan Reina, untuk pertama kalinya, merasa bahwa dirinya tidak lagi berada di antara dua dunia. Ia berada di antaranya, terikat, terpilih, dan belum sepenuhnya milik yang mana pun.

More Chapters